Eggi Sudjana, OST Jubedil dan Luka Kriminalisasi Hukum Era Jokowi

Agu 19, 2025

Nama Eggi Sudjana sudah lama hadir dalam peta politik Indonesia sebagai advokat, ulama, intelektual muslim, dan aktivis yang konsisten mengkritisi kekuasaan. Dibalik tokoh gerakan nasional dr. Hariman Siregar, Alm Buyung Nasution, dll, ia ikut mendirikan Indonesia Demokrasi Monitor (Indemo), sebuah forum yang sejak awal reformasi (tahun 2000) menjadi penopang pengawasan demokrasi.

Dalam kerangka intelektualnya, Eggi merumuskan konsep OST JUBEDIL, obyektif, sistematis, toleran, jujur, benar, dan adil, sebagai fondasi berpikir ilmiah dan bertindak etis. Bagi Eggi, siapa yang meninggalkan prinsip itu, akan terjatuh menjadi pecundang dan pengkhianat.

Ironi muncul ketika Eggi sendiri harus menghadapi kriminalisasi saat menjadi kuasa hukum Gus Nur dan Bambang Tri sekitar tiga tahun lalu, dan jauh sebelum munculnya Roy Suryo, Rismon dan dr. Tifa, yang beda tuduhannya atas dugaan ijazah palsu Jokowi juga cara menyelesaikannya. Eggi Sudjana lebih memilih melalui pendekatan yang tenang melalui jalur hukum.

Fakta hukum paling mendasar, yakni ijazah asli Presiden, tidak pernah ditunjukkan secara terbuka di persidangan, baik diawal Eggi mencari kebenarannya hingga secara sepihak sidang dinyatakan selesai oleh kuasa hukum Jokowi (Otto Hasibuan), padahal masih ada keputusan hukum negara bahwa polemik ini perlu dilanjutkan dalam sidang lanjutan, artinya belum ada keputusan tetap soal ijazah Jokowi asli atau palsu oleh pengadilan negara RI.

Sebaliknya, pihak-pihak yang mempertanyakannya justru diproses secara represif. Bambang Tri ditangkap, Gus Nur dipenjara.

Eggi pun diserang secara personal dengan tuduhan absurd dari buzzer pendukung Jokowi bahwa ia menerima dana dari George Soros. Fitnah ini tidak pernah terbukti, namun telanjur menjadi character assassination. Padahal asas praduga tak bersalah dijamin oleh Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 14 ayat (2) ICCPR.

Indonesia sebagai negara pihak ICCPR (ratifikasi melalui UU No. 12/2005) wajib menjamin keadilan hukum. Pasal 14 ICCPR menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil, terbuka, dan imparsial. Kriminalisasi politik jelas bertentangan dengan norma ini.
Fenomena kriminalisasi oposisi bukan hanya khas Indonesia. Di berbagai negara, praktek serupa pernah terjadi pada, Aung San Suu Kyi (Myanmar), berkali-kali dijatuhi tahanan rumah dengan alasan politik oleh junta militer, sebelum kemudian dunia internasional menekan agar ia dibebaskan.

Kemudian Nelson Mandela (Afrika Selatan), dipenjara 27 tahun dengan tuduhan subversif, tetapi kemudian direhabilitasi dan diakui sebagai pejuang demokrasi. Lech Lawesa (Polandia), aktivis buruh yang dikriminalisasi rezim komunis, tetapi kemudian memimpin transisi demokrasi dan menjadi Presiden.

Anwar Ibrahim (Malaysia), dua kali dipenjara karena tuduhan politik yang kontroversial, namun akhirnya direhabilitasi dan kini menjadi Perdana Menteri.

Semua kasus itu menunjukkan pola yang sama, hukum dipakai sebagai instrumen kekuasaan untuk menyingkirkan lawan politik. Namun, seiring perubahan politik, mereka yang pernah dikriminalisasi justru direhabilitasi dan bahkan menjadi simbol perjuangan demokrasi.

Amnesti Politik

Langkah Presiden Prabowo Subianto memberi amnesti kepada Gus Nur, Tom Lembong, dan Hasto Kristiyanto menunjukkan pengakuan politik bahwa kriminalisasi memang terjadi. Tetapi, mengapa Eggi Sudjana belum mendapat perlakuan serupa?

Padahal, asas non-discrimination dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR menegaskan:
“Setiap negara pihak berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak dalam kovenan ini kepada semua individu tanpa perbedaan apapun, termasuk pendapat politik.”

Maka, bila Gus Nur bisa direhabilitasi, seharusnya Eggi Sudjana pun memperoleh pengakuan keadilan yang sama.

Di titik inilah teori OST JUBEDIL Prof. Eggi Sudjana telah menemukan relevansinya. Politik tanpa obyektivitas akan melahirkan fitnah. Hukum tanpa sistematika akan menjadi alat represi. Kekuasaan tanpa toleransi akan melahirkan tirani. Bangsa yang kehilangan kejujuran, kebenaran, dan keadilan hanya akan melahirkan pecundang dan pengkhianat.

Sejarah dunia sudah menunjukkan, kriminalisasi politik hanya meninggalkan noda bagi rezim yang melakukannya. Tetapi, rekonsiliasi hukum dan keberanian memberi amnesti bisa menjadi jalan menutup luka lama.

Ditengah ketidak pastian hukum kini Eggi Sudjana tengah berada di luar negeri semata untuk proses pengobatan setelah jalani operasi sakit kanker yang telah lama ia derita. Namun demikian Eggi tetap mengikuti proses hukum yang sedang berjalan disaat kondisi kesehatannya memungkinkan ia kembali ke tanah kelahiran tercintanya Indonesia.

Jika Prabowo ingin meninggalkan warisan demokrasi yang sehat, maka Eggi Sudjana seyogyanya mendapat rekonsiliasi hukum. Karena hukum yang tidak Jubedil hanyalah tirani, sementara hukum yang obyektif, sistematis, toleran, jujur, benar, dan adil adalah syarat agar Indonesia terhindar dari kutukan sejarah.

Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosial dan aktif di InDemo.

Jakarta, Selasa 19 Agustus 2025, 04:27 Wib.