Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Aliansi para aktivis era 80-90an yang menamakan diri Kaukus 89 mendeklarasikan dukungan terhadap bacapres-bacawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.
Salah satu deklarator Kaukus 89 Fery Haryono Machsus menyebut, sejumlah aktivis 80-90 an yang tergabung dalam Kaukus 89 mendukung pasangan AMIN pada pilpres 2024. Mereka meyakini serta menaruh harapan besar pada pasangan calon ini bahwa keduanya akan menghadirkan perbaikan untuk Indonesia.
“Para aktivis menilai pasangan AMIN mampu membawa perubahan menyejahterakan masyarakat,” ungkap deklarator Kaukus 89 Fery Haryono Machsus di Sekretariat Perubahan jl. Brawijaya X, Kb. Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 19 September 2023.
Aktivis yang tergabung dalam Kaukus 89 membacakan manifesto pada acara Deklarasi Kaukus Aktivis 80-90 untuk Anies-Muhaimin (AMIN) di Jakarta, Selasa (19/9/2023) adalah..
Manifesto Kaukus 89
Setelah 78 tahun kemerdekaan dan 25 tahun reformasi, nasib rakyat tidak banyak
berubah. Hari ini kita menyaksikan jeritan rakyat, karena harga beras yang terus
merangkak naik. Rakyat kelas bawah sudah kesulitan membeli beras, bahkan untuk beras kualitas yang paling rendah.
Masalah beras dan pangan pada umumnya adalah soal fundamental bagi rakyat, ini soal hidup mati. Rezim Jokowi sudah berkuasa dua periode, sepuluh tahun, waktu yang seharusnya lebih dari cukup untuk mengangkat kesejahteraan rakyat, namun harapan itu tidak pernah terwujud.
Untuk menggambarkan kondisi kesejahteraan rakyat hari ini, kita bisa meminjam diksi yang biasa diucapkan Jokowi sendiri, bahwa kondisi sekarang sedang tidak baik-baik saja, artinya secara tidak langsung Jokowi telah mengakui, bahwa rezimnya memang gagal.
Bila kita ingat kembali salah satu frasa terkenal Bung Karno, kemerdekaan
adalah jembatan emas menuju kesejahteraan, kegagalan rezim Jokowi semakin tampak, yang membuat kita tak tega untuk membahasnya lebih lanjut.
Hari-hari ini kita juga menyaksikan sendiri bagaimana tindakan aparat dalam kasus
Pulau Rempang, saat warga menolak relokasi dengan melakukan aksi perlawanan, kemudian direspons aparat berupa tindakan represif dan penembakan gas air mata.
Tindakan kekerasan yang sama juga dilakukan bagi warga di Pegunungan Kendeng (wilayah Rembang dan Pati) dan Wadas (Purworejo), sekadar menyebut beberapa contoh kasus pelanggaran HAM di era Jokowi. Kita menyaksikan bersama, tindakan kekerasan negara di era Jokowi semacam duplikasi rezim militeristik Orde Baru.
Bagi generasi baru yang melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Negara, bisa melihat langsung, ketika aksi protes dalam kasus Munir, kasus penculikan aktivis, kasus Kendeng, kasus Wadas, dan seterusnya, tidak ada pejabat berwenang sekadar menghampiri, mobil dinas mereka hanya melintas di depan peserta aksi, dengan sirene strobo tetap berbunyi.
Tindakan pejabat yang terus membunyikan sirene strobo, adalah
gambaran paling riil dari rezim Jokowi terkait kasus HAM: dingin dan cenderung angkuh.
Bagaimana rezim Jokowi bisa dipercaya dalam penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu, seperti kasus Munir dan Wiji Thukul, bila pelanggaran HAM baru tetap saja berlangsung.
Kita tidak bisa berharap lagi pada rezim ini atas penuntasan pelanggaran HAM, ketika otak di balik penculikan Wiji Thukul dan kawan-kawan, justru masuk dalam elite lingkaran kekuasaan.
Belum lagi soal korupsi. Kata-kata yang paling keras sekalipun, rasanya tidak cukup untuk menggambarkannya, oleh karenanya kami lebih memilih tidak menggunakan kata umpatan, toh rakyat sudah bisa melihat sendiri. Kasus terbaru adalah korupsi jalan tol MBZ, dengan angka sangat fantastis, yakni 1,5 triliun.
Selain nominalnya yang jumbo, kasus korupsi jalan tol MBZ juga menjadikan kita malu sebagai bangsa, karena dana yang dikorupsi adalah hibah dari negara sahabat, bukan bersumber dari APBN
atau investasi swasta.
Ratusan halaman tidak akan cukup untuk menjelaskan lobang besar dan warisan buruk rezim Jokowi, untuk itu kita sudahi saja membahas soal itu. Tutup buku sudah soal rezim Jokowi. Kini telah terbit fajar harapan baru, yaitu pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang kini dikenal dengan tagline AMIN.
AMIN adalah optimisme baru. Dalam pandangan Kaukus 89, AMIN adalah yang paling pantas memimpin negeri ini, sejak tahun 2024. Bagi Kaukus 89, AMIN bukan lagi capres dan cawapres, mereka berdua sejatinya sudah Presiden dan Wakil Presiden, yang tinggal menunggu hari pelantikannya saja.
AMIN adalah perwujudan mimpi-mimpi aktivis generasi 80-an dan 90-an, tentang masa depan Indonesia yang lebih demokratis, berkeadilan, dan sejahtera, sesuai dengan visi pasangan Anies dan Cak Imin.
Dikarenakan faktor alamiah, mungkin waktu kami tidak panjang lagi, usia manusia terbatas, bahkan sebagian sahabat-sahabat kami sudah pergi untuk selamanya, antara lain Bambang Harri (Bandung), Amir Husin Daulay (Jakarta), Agus Lenon (Jogja), Kacik (Surabaya), Didit (Malang), dan seterusnya.
Dan kita masih dalam suasana berduka atas kepergian Mas Raharjo Waluyo Jati, yang baru berpulang belum lama ini. Apa yang kami lakukan hari ini, sekadar meneruskan cita-cita mereka dahulu, saat
masih bersama-sama dalam pergerakan melawan rezim otoriter Orde Baru.
Bila kami sekarang “turun gunung” itu juga berdasarkan panggilan nurani, seperti perjuangan kami di masa lalu. Jangan pernah sekalipun membayangkan, munculnya gerakan Kaukus 89 berdasar pamrih pribadi segenap eksponennya, semisal untuk mencari jabatan. Sama sekali tidak.
Bagi kami sudahlah cukup, bila kami masih diberi kesempatan menyaksikan anak cucu kami, generasi baru Indonesia yang sehat, cukup pangan dan nutrisi, pendidikan gratis sampai jenjang S-1, serta hidup di lingkungan yang hijau. (Amhar)