Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed.
Pengumuman resmi hasil Pilpres 2024 oleh KPU telah semakin dekat. Tanggal 20 Maret 2024 diharapkan menjadi titik penting bagi masa depan bangsa ini, di mana kita akan melanjutkan perjalanan bersama dengan pemimpin baru yang dipilih pada 14 Februari 2024 di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun, sayangnya, kekhawatiran akan dugaan kecurangan dalam proses pemilihan terus menghantui proses menuju masa depan yang cerah.
Ketegangan politik di Indonesia mencapai puncaknya menjelang pengumuman resmi pemenang Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dugaan adanya kecurangan dalam proses pilpres telah memicu ancaman akan aksi massa besar-besaran dari pendukung kubu 01, Anies-Muhaimin, dan kubu 03, Ganjar-Mahfud. Situasi ini telah menciptakan ketidakpastian dan kekhawatiran akan potensi kerusuhan di berbagai titik strategis di seluruh tanah air.
Isu Sentral
Ketidakpuasan dan perpecahan politik yang meluas mengancam stabilitas negara menjelang pengumuman resmi pemenang Pilpres 2024. Dua kubu utama, yang mewakili pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, telah menyatakan niat untuk melakukan aksi massa sebagai bentuk protes terhadap hasil pemilihan yang dianggap tidak adil. Hal ini mencerminkan kondisi politik yang tegang dan meningkatkan ketidakpastian terkait arah masa depan negara.
Para pendukung dari kubu 01 dan kubu 03 merencanakan untuk menggelar aksi massa besar-besaran di beberapa titik strategis, termasuk di depan kantor KPU, Bawaslu, DPR-RI, Patung Kuda (Monas), serta beberapa kota lainnya. Mereka menyerukan transparansi dan keadilan dalam proses pemilu serta menolak hasil yang diumumkan oleh KPU. Meskipun jumlah peserta yang akan turun ke lapangan masih belum pasti, tetapi tingkat ketegangan tetap tinggi dan kekhawatiran akan potensi kerusuhan masih menghantui.
Aksi Tolak Pilpres Awal Menuju Gerakan Besar
Faktor-faktor seperti penghormatan pada Bulan Suci Ramadhan, kelelahan politik, perpecahan di antara partai politik dan pendukungnya, serta penurunan kepercayaan terhadap efektivitas demonstrasi, mungkin akan mempengaruhi tingkat mobilisasi massa dalam aksi protes yang akan datang. Meskipun potensi mobilisasi massa tidak sebesar pada aksi serupa di depan Bawaslu pada tahun 2019, namun dampak dari aksi massa tersebut diyakini akan memiliki implikasi yang luas dan berkelanjutan.
Aksi massa yang dijadwalkan besok diperkirakan akan memicu gelombang protes yang meluas, terutama di tengah isu-isu terkait dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024. Jika pemerintah tidak mampu menangani persoalan ini dengan baik, gerakan protes ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga Oktober 2024, bahkan mungkin hingga tahun depan, 2025. Aksi massa yang berkelanjutan akan memiliki dampak yang luas dan mendalam, tidak hanya pada sektor ekonomi, tetapi juga pada investasi, stabilitas politik, dan berbagai aspek kehidupan masyarakat lainnya.
Pemerintah Harus Bijak Melihat Keadaan
Pemerintah telah menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil resmi Pilpres 2024 sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, yakni pada tanggal 20 Maret 2024. Dalam menghadapi situasi tersebut, pemerintah perlu menyiapkan diri untuk menjaga keamanan dan ketertiban, serta merespons aksi massa dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemerintah harus memastikan agar tindakan represif aparat keamanan tidak terulang seperti kejadian pada aksi massa 21, 22 Mei 2019, depan kantor Bawaslu, Jakarta Pusat.
Pemerintah dituntut untuk menyadari dalam menghadapi situasi seperti ini diperlukan pemantauan dan pengelolaan yang hati-hati. Dengan demikian, kesiapan pemerintah dalam menghadapi pengumuman hasil pilpres merupakan upaya serius untuk memastikan kelancaran proses demokrasi dan menjaga stabilitas negara dan keselamatan rakyat.
Aparat Keamanan Harus Berkaca Pada Kerusuhan Serupa di Venezuela
Venezuela mengalami kerusuhan berkepanjangan sebagai dampak dari aksi massa protes menyusul hasil pemilihan umum yang kontroversial pada tahun 2019. Situasi politik tegang terjadi setelah pemilihan presiden yang dipertanyakan keabsahannya, memunculkan tuduhan penipuan dan ketidakadilan. Juan Guaidó, ketua Majelis Nasional yang berhaluan oposisi, menyatakan dirinya sebagai presiden sementara, menolak kemenangan Nicolas Maduro.
Protes massal meluas di seluruh Venezuela, dengan tuntutan untuk pengunduran diri Maduro dan pemilihan umum yang adil. Namun, pemerintah menanggapi dengan tindakan keras, membubarkan demonstrasi, menangkap aktivis oposisi, dan menekan media kritis.
Kerusuhan berkepanjangan terjadi, dengan bentrokan antara pendukung Maduro dan pengunjuk rasa yang menuntut perubahan politik. Kekerasan politik terus berlanjut, menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat Venezuela dan isolasi internasional bagi rezim Maduro.
Pengalaman Venezuela menunjukkan bagaimana ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan umum yang dipertanyakan dapat memicu konflik politik yang berkepanjangan, terutama ketika pemerintah merespons dengan tindakan keras dan represif. Ini juga menyoroti tantangan dalam membangun konsensus politik dan menyelesaikan konflik melalui proses demokratis yang inklusif di negara-negara yang menghadapi ketegangan politik setelah pemilihan umum yang kontroversial.