Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat sosmed, konseptor sound system transmiter GNPF 212, eks Ka.Dep Aksi & Advokasi PIJAR Semarang
Menjelang Pilpres 2024, isu tentang presidential threshold kembali mencuat. Sebab aturan ambang batas syarat pengajuan Capres-cawapres dianggap telah mencederai demokrasi, sebab hak konstitusional warga untuk dipilih dibatasi.
Sehingga kemudian para kandidat capres-cawapres, baik yang dinilai memiliki basis massa pendukung besar, maupun keci, ia harus berkompromi dengan parpol koalisi yang akan memberikan tiket menuju Pilpres 2024 mendatang.
Cara Mao Zedong kejar pembangunan, Rizal Ramli: Jokowi lakukan hal sama
Waspada, Rizal Ramli: rupiah melemah, inflasi makanan akan terus naik
Akibat itu muncul beragam pandangan dari banyak kalangan, bahwa capres yang maju lewat Parpol yang sepakat dengan aturan presidential threshold 20 persen, akan banyak terbebani oleh syarat aturan yang sebelumnya telah disepakati dalam kompromi sebelumnya.
Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan saat ini, dimana saat awal Jokowi setelah memenangkan Pilpres, dan resmi sebagai Presiden periode 2014 dan 2019, ia membagi kekuasaanya kepada partai koalisi pendukungnya, dll. Bahkan kabarnya, bagi-bagi kekuasaan sudah dilakukan sebelum pelaksanaan Pilpres.
Alhasil, capaian pemerintahan Jokowi, seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini. Kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan negara terasa tidak fokus kepada kepentingan rakyat. Padahal Rakyat yang memilihnya, saat pelaksanaan Pemilu, malah Parpol, dll yang didahulukan.
Pimpinan strategis yang ditunjuk Presiden untuk menjalankan pemerintahan, dianggap oleh berbagai kalangan akademisi, tokoh, pakar, pemerhati, dll muncul atas pesanan, dan bukan berdasarkan kemampuan, pengalaman, dan komitmen yang berpihak kepada rakyat dan konstitusi.
SATGASUS Merah Putih POLRI terlibat Mafia tambang!?
Polri tak serius reformasi, aktivis lintas angkatan, akan lakukan ini
Dalam situasi sekarang ini dimana Rakyat sudah antipati terhadap Rezim Jokowi maka Anies tentu merupakan sosok yang beruntung untuk keinginannya menjadi Presiden.
Karena dari semua nama-nama calon yang beredar hanya dia yang bisa dianggap bukan penerus Program Rezim Jokowi (meskipun sebenarnya juga belum tentu bukan penerus Jokowi).
Jika mayoritas Rakyat meyakini anggapan itu, maka keberuntungan ada pada diri Anies, dan tentu hal itu tak bisa ditangkal oleh apapun. Sebagaimana halnya Capres2 sebelumnya, melaju tak tertahankan, meski ada sebagian anggapan miring publik.
Pertanyaan kemudian, jika benar keberuntungan ada pada diri Anies, apakah itu juga merupakan keberuntungan Rakyak, dan kaum aktivis pergerakan?
Tentu akan jauh panggang dari api. Sebab kalaupun Anies terpilih sebagai Presiden maka dia adalah Presiden produk dari 20% Presidential Threshold.
Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita
Maka sudah pasti ia akan dibatasi oleh kepentingan Partai-partai pendukung 20% yang telah mencapreskannya.
Anggapan dan kenyataan yang akan terjadi kedepan pasti akan berbeda, jika memilih maju sebagai Capres melalui jalur PT 0%. Jeratan dan sanderaan kepentingan partai politik akan jauh lebih minim.
Nasi sudah menjadi bubur. Anies telah memilih bergabung dengan parpol yang setuju dengan PT 20%. Ia tidak memilih cara kaum aktivis pergerakan yang terus berjuang dan optimis.
Ketika Anies Baswedan memilih gabung dengan parpol yang diduga dibelakangnya adalah para kekuatan modal oligarki, maka disini kita sudah bersimpang jalan dengan dia.
Pilihan Anies secara strategi untuk wujudkan cita-citanya dapat dipahami, namun tidak bisa diterima sebagai prinsip perjuangan mewujudkan makna dan tujuan demokrasi.
Demokrasi yang dipilih oleh para pendiri bangsa negara ini, merupakan komitmen untuk mewujudan kehidupan sosial dan politik dalam berbangsa bernegara.
Memang benar adanya, bahwa faktanya sampai saat ini PT 0% belum terwujud, oleh sebab Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun sebelumnya berbagai cara upaya sudah dilakukan oleh para ahli UU, pemerhati, tokoh, aktivis pergerakan, dll.
*Sejarah Presidential Threshold di Indonesia*
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden berubah-ubah (Presidential Threshold, pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004, bertepatan dengan pertama kalinya Indonesia melangsungkan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung.
Saat itu presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Setelah Pilpres 2004, lima tahun kemudian Pilpres 2009 prosentase presidential threshold berubah.
Aturan Pemilu tertuang dalam UU Nomor 42 Tahun 2008. Bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.
Kemudian pada Pilpres 2014 besaran presidential threshold tak berubah, tetap mengacu pada UU Nomor 42 Tahun 2008.
Pada Pemilu 2019, presidential threshold kembali berubah, ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 222 disebutkan, bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pileh dilaksanakan serentak pada April 2019.
Sebelumnya, gelaran pilpres tahun 2004, 2009, dan 2014, pemilihan legislatif (Pileg) dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres.