Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri “The Activist Cyber”.
Nasdem pasca 212 dianggap oleh mayoritas umat Islam Indonesia sbg Partai pendukung Penista Islam.
Namun, saat Nasdem deklarasikan Anies Baswedan sbg capres, tak terlihat lagi anggapan itu oleh mayoritas pendukung 212.
Nasdem, mampu melihat peluang lalu mainkannya dengan dan mendeklarasikan Anies sebagai Capres dari partai Nasdem. shg Nasdem menjadi Parpol yg tak lagi dimusuhi mayoritas umat Islam. Penulis menduga dijadikannya Anies sebagai capres dari Nasdem bukan karena elektabilitas dan kualitas, melainkan Anies dinilai sebagai figur yang dianggap mewakili umat Islam pendukung 212 / oposisi.
Setelah deklarasikan Anies Baswedan, maka Nasdem dianggap berhasil buktikan bahwa langkahnya dapat diterima oposisi, dan sekaligus sejarah pasca 212, bahwa Nasdem sebagai “pendukung” penista agama (Almaidah). Karena pasca deklarasi Anies, tak terlihat signifikan oposisi / Islam pro 212 mengkritik / menolak Nasdem yang telah mengusung Anies Baswedan.
Justru yang terjadi sebaliknya. Kelompok Islam 212 dan oposisi menyudutkan siapapun yang mengkritik Anies dan Nasdem. Mereka yang mengkritik Anies dianggap menghalangi langkah Anies Baswedan yang dianggap mampu dan akan lakukan perubahan besar atas berbagai kegagalan Pemerintah Jokowi.
Jika Nasdem tak dipersoalkan oleh umat Islam pro 212 dan sebagian oposisi, maka hal itu juga berlaku oleh Partai apapun, termasuk PDI-P, yang juga dianggap oposisi dan umat Islam pro 212 sebagai parpol “anti Islam pro 212”.
Selama Anies Baswedan bisa didukung menjadi capres oleh partai apapun, seperti tak menjadi soal. Penulis menilai bahwa hal ini tidak menjadi persoalan dasar idiolog. Namun soal kepentingan.
Jika dasarnya persoalan idiologi, maka tak mudah bagi Nasdem dapat diterima oleh kelompok yang pernah memusuhinya. Karena ini soal kepentingan maka yang terjadi adalah selama Capres yang dianggap baik oleh pendukungnya didukung maju sebagai Presiden, maka no problem.
Melihat gejala tersebut, maka yang terjadi adalah posisi menjadi oposisi melemah. Kritik keras terhadap jalannya kekuasaan yang menjadi tujuan utama, bisa dikompromikan oleh adanya dukungan Parpol kekuasaan terhadap Anies Baswedan sebagai Capres. Padahal kelompok kontra kekuasaan menganggap Parpol kekuasaan merupakan variabel dari gagalnya Pemerintah Jokowi.
Kemudian munculnya anggapan bahwa Anies Baswedan dapat mewujudkan perubahan yang diharapkan atas terjadi kegagalan Jokowi pun menjadi indikator oposisi melemah. Sebab tak ada kesepakan antara Capres, massa pendukung dan parpol pengusung secara kuat dan meyakinkan.
Disisi lain Capres Anies Baswedan tak menunjukkan kritik terhadap kekuasaan, sebagaimana pendukungnya telah meyakini bahwa Anies sebagai antitesanya Jokowi. Misalnya belum ada gagasan atau konsep konkrit secara konkrit oleh Anies terhadap model sistem politik kekuasaan, pembangunan pro rakyat, dll yang dilakukan oleh rejim Jokowi.
Seharusnya Anies Baswedan yang dianggap sebagai antitesa Jokowi mampu menterjemahkan harapan massa pendukungnya atas kelakuan kekuasaan selama melaksanakan pemerintahan hampir dua periode ini.
Realitas situasi politik saat ini adalah bahwa PDI-P, suka atau tidak suka ia adalah Partai yang paling merdeka. Sebab dia memiliki kursi 20% lebih di DPR. Sehingga bisa mencalonkan Capres-cawapres tanpa harus berkoalisi.
Dengan demikian bisa saja mengajak Anies Baswedan bergabung untuk urusan Pilpres 2024. Ingat, Nasdem saja bisa lakukan deklarasi Anies sebagai capres, tanpa kritik yang berarti dari oposisi.
Ingat ini semua bukan persoalan idiologi, namun jika melihat keadaan ini, maka Capres hanya soal kepentingan. Jika demikian, maka kedepan sulit akan terwujud perubahan seperti yang selama ini digaungkan diberbagai forum.