(Refleksi atas Keterlibatan Intelijen dalam Politik Indonesia).
Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era90an.
Skandal Watergate tetap menyala dalam memori sejarah pemilihan presiden Amerika Serikat. Richard Nixon, Presiden AS ke-37, terpaksa mundur dari jabatannya pada tahun 1974 akibat peristiwa ini. Diberi nama Watergate dari hotel di Washington DC, skandal ini melibatkan perusakan kantor pemenangan partai demokrat oleh politisi sayap partai republik yang menyusup sebagai pencuri.
Klimaks skandal terjadi ketika Presiden Nixon terlibat dalam upaya menutupi kejahatan tersebut. Salah satu tahanan, Mc.Cord, bersaksi mengenai tekanan dari petinggi Partai Republik untuk diam. Media meliput skandal ini secara besar-besaran, dan para pelaku dihukum penjara. Namun, satu tahanan mendapat hukuman berat setelah menolak berbicara, memunculkan opini tentang ancaman dan tekanan pada tersangka.
Di Indonesia, bulan lalu, peristiwa Hotel Salak menyiratkan kemiripan pola kecurangan. Meski berbeda secara substansial dan dalam waktu yang berjarak, keterlibatan intelijen dalam politik menjadi benang merah. Pidato Presiden Joko Widodo di depan Rapat Kerja Nasional relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, mengungkapkan informasi intelijen TNI, Polri, dan BIN tentang keadaan partai politik peserta pemilu 2024.
Meskipun diakui sebagai bagian dari keamanan nasional, keterlibatan intelijen dalam ranah politik menimbulkan kontroversi. Koalisi yang terdiri dari berbagai lembaga hak asasi manusia mengecam tindakan Presiden Jokowi, menilai partai politik dan masyarakat sipil tak seharusnya menjadi sasaran pemantauan intelijen.
Ketua PBHI, Julius Ibrani, menegaskan bahwa intelijen seharusnya fokus pada keamanan nasional, bukan politik dan masyarakat sipil. Pernyataan Presiden dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk tujuan politiknya.
Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat keamanan negara demi tujuan politik. Persoalan ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap berbagai undang-undang, termasuk UU Intelijen dan UU HAM.
Peristiwa Hotel Salak bisa menjadi dasar untuk impeach Presiden Jokowi oleh partai politik di parlemen. Terlebih jika merujuk pada hubungan dekat antarpartai yang bersaing dalam pilpres 2024. Sebuah langkah serius dapat mengakibatkan perubahan dalam peta politik nasional.
Ironisnya, beberapa partai politik masih ragu-ragu. Hal ini mungkin karena takut akan pengaruh dan peran Jokowi yang kuat. Namun, sikap ragu-ragu ini dapat membuat publik kecewa dan meragukan integritas partai-partai koalisi.
Jika parpol pendukung nomor 1 dan 3 benar-benar serius dalam melakukan impeachmen, itu dapat menjadi langkah menuju perubahan politik yang sesungguhnya. Tapi, jika ragu-ragu terus berlanjut, peta politik Indonesia mungkin akan menghadapi dinamika yang tak terduga. Dengan demikian, situasi seperti Watergate yang memaksa Nixon mundur dapat menjadi cermin bagi peristiwa Hotel Salak dan dapat mempengaruhi perjalanan politik Indonesia ke depan.
Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 29 Januari 2024 – 14.55 WIB.