Bukan kali ini penerapan Presidential Threshold 20% dipersoalkan banyak pihak.
Dari banyak informasi diberbagai media, bahwa banyak efek negatif yang ditimbulkan akibat penerapan PT 20%, selain Capres terjebak dalam kompromi politik yang dapat menjauhkan fungsi pemimpin kelak jika terpilih, hingga terjadinya korupsi yang sangat merugikan bangsa dan negara.
Kaum intelektual dan analis melihat pemberlakuan ambang batas pemilihan Presiden (Presidential Threshold) sebesar 20% sangat melanggar Konstitusi (UUD45). Hal ini juga menunjukkan sangat buruknya praktik konstitusionalisme di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa parpol-parpol pada ngotot mempertahankan Presidential Threshold 20%?
Jawabnya ternyata sangat mudah dan gamblang.
Parpol-parpol tersebut ternyata hanya memburu duit dan kursi semata. Mereka menjadikan partai politik hanya sebagai alat atau sarana untuk bisa mengumpulkan duit bagi kepentingan elit seraya memasung hak-hak konstitusional rakyat, dan anti-demokrasi.
Betapa buruknya praksis Konstitusionalisme di Indonesia era reformasi ini, sangat buruk, semua lembaga negara disfungsional dan demokrasi rusak oleh politik uang, kemunduran demokrasi makin dalam,
ujar Direktur LP3ES Abdul Hamid seperti dikutip Konfrontasi.com.
Tak mengherankan jika di parlemen, semua fraksi pendukung pemerintah seperti PDI Perjuangan, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura, termasuk PKS, ngotot agar presidential threshold tetap diberlakukan.
Hanya Gerindra yang meminta presidential threshold nol persen sementara Fraksi PAN dan PKB cenderung mendukung batas 5-10 persen.
Presidential threshold 20 persen sejatinya melanggar putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu serentak 2019.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mempertanyakan dasar hukum atas ambang batas pemilu presiden 20 persen itu.
Aktivis Malari (Lima Belas Januari), dr. Hariman Siregar dalam sambutannya pada peringatan 48 tahun peristiwa Malari, Sabtu (15/1/22) lalu menegaskan bahwa demokrasi telah dibajak oleh para kaum “pedagang”.
“Dan mereka memang betul-betul mengembalikan, misalnya lisensi kredit dan segala macam aturan/hukum dan mereka atur semua itu,” ujar Hariman, mantan ketua mahasiswa Universitas indonesia (UI) tahun 70an yang dituduh sebagai dalang Malari dan dipenjara politik dimasa Orde Baru.
Demokrasi saat ini, kata Hariman, telah rusak dan dibajak dan terkatung-katung tanpa rule of law, tanpa memiliki good governance.
Pada Aksi Aliansi Sejuta Buruh, 10 Agustus 2023 lalu, Rizal Ramli ditengah lautan massa aksi buruh menyampaikan betapa susahnya rakyat akibat banyak aturan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih menguntungkan kelompok tertentu, seperti UU Omnibuslaw.
Omnibuslaw adalah salah satu bukti UU yang jelas merugikan buruh dan pekerja Indonesia. UU itu resmi akibat pemimpinnya yang lebih memihak kelompok pemodal oligarki ketimbang rakyatnya.
“Solusi dari ini semua salah satunya adalah menghapuskan PT 20% menjadi PT 0%,” tegas Rizal Ramli, mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 70an yang dituduh melawan negara dan dipenjara politik (rutan Sukamiskin) dimasa Orde Baru.
Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif seolah telah menjadi disfungsional.
Anggota Komisi Hukum DPR, Fadli Zon, menyebut presidential threshold (PT) 20 persen telah memasung dan mempersempit demokrasi. Pasalnya, demokrasi hanya dimaknai secara prosedural dan mudah dimanfaatkan oleh oligarki modal.
Tiga Alasan Presdiential Threshold Tidak Konstitusional
Aktivis pergerakan, yang juga ekonom senior, Dr Rizal Ramli pernah menegaskan bahwa aturan presidential threshold tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
“Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga,” ujarnya kepada Indonews.id, di Jakarta, Jumat (13/8).
Pertama, katanya, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan. Jelas, aturan tersebut membatasi partai politik yang tidak memenuhi syarat ambang batas (20 persen kursi di DPR RI, dan 25 persen perolehan suara sah secara nasional) untuk mencalonkan seseorang maju dalam bursa capres.
Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib ini tidak punya cantolan kepada UUD 1945.
Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasional disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya.
Mantan Menko Perekonomian itu mengatakan threshold atau ambang batas selama ini hanya menjadi alat untuk memaksa calon kepala daerah, maupun calon presiden (capres) agar membayar upeti kepada partai politik.
“Threshold itu ‘sekrup pemerasan’, alat untuk memaksa calon-calon Bupati (Rp10-50M), Gubernur (Rp50-200M) dan Presiden (Rp1-1,5 Trilliun) membayar upeti kepada partai-partai. Inilah basis dari demokrasi kriminal,” cuit Rizal Ramli melalui Twitternya, @RamliRizal pada Sabtu (6/6).
(Agusto/PM – The Activist Cyber)