Oleh : Dr. Anton Permana (Foto: Ist).
Di tengah hiruk pikuk gempita politik Pilpres dan Pemilu, dan di tengah semakin brutalnya zionis Israel menggempur jalur Gaza Palestina, hari ini tepat tanggal 26 oktober 2023 saya alhamdulillah sudah tuntas menjalani sisa masa hukuman dari hasil vonis hakim dan kasasi 10 bulan. Atas “dakwaan” melanggar Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946 pasal 15.
Mulai masuk tahanan hari senin tanggal 14 agustus sampai hari ini. Kalau dahulu masa penahanan 7,5 bulan di rutan Bareskrim, saya merasakan full bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1442 H/2020 M, di Lapas Cipinang ini saya merasakan HUT RI dan HUT TNI dari balik jeruji. Dua fase momentum kehidupan spritual dan patriotisme yang saya rasakan dari balik jeruji penjara.
Namun anehnya, meski secara fisik badan terkurung, kebebasan akan kehidupan sehari-hari di rampas ? Justru di saat itu saya melihat kehidupan itu ibarat cakrawala luas, yang di dalam garis perjalanannya ada dua navigasi kehidupan bernama takdir dan nasib. Takdir sebagai bukti adanya kekuasaan absolute Allah SWT, Tuhan pencipta alam jagad raya ini yang tidak ada satupun manusia yang bisa menolaknya. Serta nasib, dimana di situlah titik pancar akan bentuk keadilan Tuhan terhadap perjalanan hidup manusia. Keseimbangan antara hukum kausalitas, atau sebab dan akibat dari sebuah konsekuensi perbuatan manusia itu sendiri.
Penjara ibarat etalase kehidupan yang cukup komplit dengan berbagai masalah, konflik, dan juga momentum titik balik kehidupan. Pilihannya kembali kepada kita, memaknainya seperti apa ? Rembulan atau Matahari.
Setidaknya ada beberapa catatan penting, yang menjadi out put dari kontemplasi fase saya berada di dalam penjara, yaitu :
- Sebutan sebagai tahanan politik (dan sekarang menjadi narapidana politik) adalah “pembeda” antara saya dengan para warga binaan pemasyarakatan (WBP) di lapas Cipinang ini.
Dan sebutan tapol/napol tersebut adalah sebutan yang di nasbihkan oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dari sejak saya bersama rekan yang lainnya (Dr Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat) di tahan di rutan Bareskrim.
Artinya, secara de facto ada pengakuan bahwa, “kami” adalah boleh di katakan bukan kriminal, pelaku kejahatan, tetapi orang yang masuk penjara akibat konflik politik dengan penguasa.
Dan hal ini lebih diperkuat lagi, dengan hasil vonis hakim yang menggunakan sebuah peraturan “jadul” era kolonial yaitu Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946. Dimana, peraturan tersebut murni 100 persen copy paste peraturan kolonial Belanda, yang di sahkan Presiden Soekarno setelah 7 bulan Indonesia baru merdeka. Tanpa ada DPR, MA, apalagi Komnas HAM.
Mirisnya lagi, peraturan ini tidak pernah di gunakan oleh Presiden Indonesia sebelumnya, termasuk Pak Harto yang kita tuduh otoriter. Hanya sejak rezim hari ini, peraturan “zombie” ini di hidupkan kembali.
- Ada kesalahan besar dari seorang penguasa, ketika memenjarakan rakyatnya dengan tujuan untuk membungkam dan memberikan efek jera. Justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Ketika seorang aktifis, ulama, pejuang, yang notabonenya adalah “the real patriotism”, mendapatkan perlakuan intimidasi dan kriminalisasi, justru akan semakin membangkitkan semangat perlawanan dan meningkatkan power (energi) daya dobraknya setelah menjalani hukuman.
Seperti dalam catatan sejarah bangsa kita ini. Ketika Soekarno, Moh Hatta, H Agoes Salim, Sutan Syahrir, di penjara baik Belanda dan Jepang, ketika melakukan perlawanan dan perjuangan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan ? Justru, setelah keluar penjara mereka semua menjadi tokoh bangsa yang lebih matang dan semakin berani.
Karena, ada hal yang saya yakin sama di rasakan oleh para aktifis korban kriminalisasi politik yaitu ; Justru perlakuan kriminalisasi dari kekuasaan itu yang menjadi “pembeda”, cahaya, dan sugesti secara psikologis bahwa : “ ohh ternyata saya benar, apa yang saya perjuangkan adalah kebenaran, makanya saya di penjara untuk di bungkam dan di teror ! “.
Sugesti psikologi ini, di tambah dengan suasana kebatinan yang jauh dari keluarga, tekanan lingkungan yang serba terbatas, menjadi “quantum” semangat perlawanan balik, dimana sugesti dan suasana kebatinan ini menjadi energi besar untuk melakukan proses inkubasi, melatih diri, untuk kedepannya lebih survival dan power full dalam menyampaikan kebenaran.
Apalagi khusus untuk perkara saya, dimana dua video saya tentang (TNI KU SAYANG, TNI KU MALANG dan SERUAN MOGOK NASIONAL MENOLAK RUU CIPTAKER), hari ini semakin terbukti secara fakta dan nyata tak terbantahkan. Kasus Sambo, Tedy Minahasa, dan Rempang adalah salah satu buktinya.
- Selain menjadi sebuah etalase kehidupan. Penjara juga ibarat “tower view”, tempat kita mengamati sebuah fenomena kejadian dengan lebih jernih dan komprehensif.
Kondisi dan sugesti kebatinan di penjara, menarik kita untuk berpikir lebih detail, tenang, tidak emosional, dan bijaksana. Berbeda apabila kita berada dalam kondisi bebas hambatan, apalagi menjadi pelaku langsung dari sebuah kejadian.
Artinya, suasana kebatinan penjara seakan memberikan energi lebih dan cahaya yang terang menderang sebagai penuntun (navigasi) dalam menganalisis sebuah objek kehidupan.
Jadi wajar, banyak para tokoh, aktifis, menghasilkan buku, karya tulis, kitab bahkan tafsir Al Qur’an seperti Buya Hamka di dalam penjara. Karena, secara otomatis alam bawah sadar seorang manusia akan menemukan titik ledaknya ketika ada sebuah penetrasi gelombang frekwensi masalah, membuka “Reticulo Activiting System” (RAK), yaitu pintu pembatas antara alam sadar (consuisman) dan alam bawah sadar (subconsuisman).
Manusia sebagai makhluk yang genius, akan tersugesti dan mengalami lompatan kecerdasan yang dahsyat apabila bisa menggunakan potensi alam bawah sadarnya (self power). Hal ini yang tidak di pahami oleh para penguasa setiap zaman. Sikap paranoid, arogansi dan totalitarian membutakan mata hati dan pikirannya dalam berkuasa.
- Bangsa Indonesia saat ini sungguh sangat dalam keadaan tidak baik-baik saja. Di tambah lagi karakter masyarakatnya yang sangat “naif”, sehingga wajar sejak dulu bergantian bangsa asing menjajah dan menjarah negeri ini.
Dinamika politik dalam negeri kita saat ini sudah sangat serius. Karena, ketika prilaku, etika, integritas, dan ketaatan akan hukum dari para pemimpin hari ini telah rusak parah. Di porak porandakan oleh ambisi kekuasaan pribadi, keluarga dan kelompok. Politik kekuasaan diatas segalanya. Norma, azas hukum dan etika moral di lindas tanpa rasa malu.
Pemimpin yang seharusnya jadi teladan dalam kebaikan, justru prilakunya tak lebih sama dengan para buzzer dan infuencer. Kemunafikan di bungkus begitu “cantiknya”. Pencitraan dan intimidasi adalah dua mata pisau sihir kekuasaan dalam memanipulasi opini dan keadaan. Semuanya terbalik dan kontradiktif. Ibarat “taik bulat kambing di katakan obat, obat di katakan taik bulat kambing”.
Keculasan dan kemunafikan yang terorganisir, telah berhasil untuk saat ini memporak porandakan tatanan nilai dan menggebuki para aktifis dan pejuangnya. Agama sebagai sumber kebaikan dalam bernegara, di sulap jadi ancaman negara atas nama radikalisme. Kerusakan negara hari ini terjadi karena ulah para pejabat, koruptor dan proxy oligarkhi, namun yang di caci maki dan di stigmakan penjahat adalah mereka para ulama, aktifis, akademisi yang mengkritik pemerintah.
- Penjara juga adalah, proses filter kita untuk memilah dan memilih puzzle-puzzle kehidupan, baik itu berupa pikiran ataupun persahabatan.
Ada kalanya, masyarakat dan lingkungan kita begitu antipati dan ketakutan dengan posisi kita dalam penjara. Jangan kan untuk membezuk, memberikan bantuan/sumbangan ? Untuk bertegur sapa di sosial media pun ada yang ketakutan. Apalagi bertemu. Ketakutan akan hilang jabatan, takut di cap oposisi, radikal, sangat menghantui pikirannya.
Namun ada juga, justru ketika kita di penjara ada sebuah penghormatan, rasa simpatik, dan dukungan. Yang memahami bahwa, kita di penjara karena sebuah perjuangan. Sebuah pengorbanan dan bentuk kecintaam kita terhadap nasib bangsa ini. Serta rasa tanggung jawab moralitas dan spritual ketika melihat ada kemungkaran terjadi di depan mata.
Makanya saya jadi paham ketika ada yang (mungkin tujuannya baik) , memberikan masukan untuk tiaraplah, rubah prilaku, yang intinya mengajak untuk lebih soft kooperatif dengan kekuasaan. Berhenti menjadi oposisi.
Dan tentu juga kita tidak bisa menyalahkan pandangan seperti ini. Karena yang membedakan antara seorang aktifis dengan manusia kebanyakan adalah pada nilai prinsip dan idealismenya. Dimana kemewahan dari seorang aktifis itu adalah “idealisme” itu sendiri. Dengan catatan, tetap paralel dengan kewajiban terhadap keluarga dan lingkungannya.
Hari ini adalah, hari kebebasan saya secara fisik untuk menghirup udara bebas di luar tembok dingin penjara. Hal yang utama terpikirkan bagi saya tentu adalah orang tua, keluarga anak dan istri.
Merekalah benteng utama dan terakhir kehidupan saya. Merekalah syurga dan juga matahari penyemangat kehidupan saya di dunia ini.
Saya tentu berhutang banyak dengan mereka, khusus buat istri ku tercinta. Yang dengan sabarnya tetap tegar berdiri, mengambil alih peran seorang Ayah di rumah mendidik anak-anak. Bersyukur saya pada Allah SWT, atas segala berkah, lindungan dan petunjukNYA.
InsyaAllah, hari kebebasan ini akan menjadi “quantum” bagi diri saya bersama rekan rekan seperjuangan lainnya untuk terus melanjutkan perjuangan. Karena ; “ Jeruji besi tak akan merubah burung rajawali menjadi burung nuri “. InsyaAllah.
Lapas Cipinang, 26 oktober 2023.
(Agt/PM)