Oleh: DR. Ferry J. Juliantono
Pengurus Pusat Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (PP IA-ITB) yang diketuai oleh Ir. Akhmad Syarbini beserta jajarannya menggelar diskusi dengan thema “Pemilu Berintegritas versus Penundaan Pemilu”, pada hari Selasa malam, 13 Desember 2022, menghadirkan pembicara DR. Syahganda Nainggolan, DR. Ferry Juliantono, dengan moderator Khairul Anas (Sekjend IA-ITB).
Sejak lama kita menganut faham Pemilu dengan tagline Luber dan Jurdil itu. Tetapi dalam kenyataannya rentetan Pemilu baru atau masih bertumpu pada “LUBER” dan amat disangsikan bisa terlaksananya Pemilu secara Jujur dan Adil. Ini masalah bangsa kita dari Pemilu ke Pemilu, kecuali pada Pemilu I tahun 1955 dan cukup bagus pada penyelenggaraan Pemilu 1999.
Integritas itu adanya di soal Jurdil bagi penyelenggara Pemilu:
1. Ada KPU yang sejatinya profesional dan tidak memihak.
2. Ada Bawaslu dan DKPP sebagai institusi pendamping dan penyeimbang
Lalu, seberapa kuat “daya tekan pengaruh” Bawaslu dan DKPP terhadap KPU?
Di sisi lain, ada Mahkamah Konstitusi yang mengolah dan mengadili perselisihan perkara Pemilu. Tapi, ya sama saja hasil yang akan mereka putuskan, kalau bahan-bahan yang diperkarakan dan menjadi bakal pertimbangan ketukan palu para hakim konstitusi bersumber dan lebih dipercaya dari sumber KPU dibandingkan bukti-bukti kecurangan yang diajukan si Pihak Penggugat / Peserta Pemilu itu. Alhasil, MK jadi pemberi stempel belaka, untuk melegalisasi persoalan hasil keputusan KPU agar tidak bisa diganggu gugat.
Ini sudah menjadi semacam tali-temali yang saling “mengukuhkan” bahwa apa yang diskenariokan oleh sebut saja “pihak di balik kekuasaan” adalah menjadi kenyataan. Harus begini jadinya, sesuai pesanan! Maka tak syak Penyelenggara Pemilu sepertinya hanya menjalankan kerja yang sudah “terfinalkan hasilnya”, dan bukan menunaikan kewajiban konstitusional yang berujung terciptanya martabat dan marwah bangsa.
Di titik inilah yang namanya Jujur dan Adil itu jadi sunyi-senyap! Pemilu pun rasanya jauh dari tema berintegritas.
Sementara, seperti banyak disebutkan para pengamat politik, kita boleh bersetuju bahwa ciri-ciri Pemilu Berintegritas itu antara lain, secara lebih bebas saya catatkan:
Pertama regulasi yang jelas dan tegas, sehingga penyelenggaraan dan hasil Pemilu itu valid, konkret, tanpa rekayasa, dan tidak menciderai hak suara pemilih atau berujung perselisihan.
Kedua, pemilih yang cerdas. Yang mereka tak lagi mau diiming-imingi apa pun tetapi benar-benar menentukan pilihan sesuai suara hati nurani.
Ketiga birokrasi yang netral yang memberikan ruang berdemokrasi bagi rakyat.
Keempat penyelenggara Pemilu yang kompeten dan profesional yang berkomitmen untuk membuat baik bangsa ini.
Kelima, peserta Pemilu berkualitas yang menempatkan Wakil Rakyat yang memiliki kompetensi, dan semua pihak harus patuh terhadap aturan main. Tidak lagi bermain mata dengan penyelenggara Pemilu.
Dari terpenuhinya kelima hal di atas, kata kuncinya adalah terhindar dan jauh tema politicking: kegiatan politik yang langsung atau tak langsung ditujukan kepada usaha mencapai kekuasaan pemerintah negara oleh suatu individu atau kelompok tertentu.
Apabila yang terurai ini memang “jauh panggang dari api” dan masih tetap menggejala situasinya seperti pemandangan yang lalu-lalu, ya, apa boleh buat: Mari kita bersetuju untuk Tak Usah Ada Pemilu.
Bagaimana caranya agar kita mencegah pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah terjadwalkan sedemikian rupa itu? Saya kira ITB tahu jawabnya!
Kaum cerdik-cendekia, para ulul albab, dan kaum yang sadar akan nasib dan kemaslahatan bangsanya agar segera berlepas diri dari “jebakan yang hampir serupa” ini harus ikhlas membangun jembatan hati, mendayakan pikiran yang cerdas untuk membuat gerakan moral demi memulangkan Indonesia ke nilai azalinya. Yaitu kita kembali menjadi bangsa merdeka yang santun, berkepribadian luhur, dan berkemandirian, yang mampu mengenyahkan kepentingan siapa pun yang bukan sebagai pemilik sah negara dan bangsa ini.
Dengan mempergunakan pendekatan tradisi Jawa, rasanya kita memang perlu kehadiran apa yang disebut Sang Ratu Adil. Dan dalam konteks sekarang yang namanya Ratu Adil itu sesungguhnya melekat di benak dan qalbu kaum cerdik-cendikia yang jumlahnya sedemian banyak itu.
Kalau semua kaum yang berpikir itu diam dan melakukan pembiaran terhadap dataran kondisional yang ada, itu artinya kita memang suka menjadikan bangsa kita ini, begini-begini saja.
BILLAHI FI SABILIL-HAQ.
Rumah Kebangsaan
Syarikat Islam
Jl. Taman Amir Hamzah No.4
Jakarta Pusat