Peluang Pengembangan Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia
Fadjar Dwi Wishnuwardhani
26 Maret 2024
Permasalahan Tata Kelola PMI
A. PMI Non-Prosedural
B. Biaya Penempatan
C. Pelindungan
D. Pemberdayaan
DASAR HUKUM PERLINDUNGAN SEBELUM BEKERJA BAGI PMI
Konsideran
Bahwa negara wajib membenahi keseluruhan sistem perlindungan bagi pekerja migran
Indonesia dan keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan harga diri sebagai
bangsa mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja;
Pasal 1
- Perlindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi
kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia dan
keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan
kegiatan sebelum bekerja, selama bekeda, dan setelah bekerja dalam aspek hukum,
ekonomi, dan sosial. - Perlindungan sebelum bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan
perlindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan
Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia
Pasal 6 (1)
Setiap Calon Pekerja Migran Indonesia atau Pekerja Migran Indonesia memiliki hak:
d. memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja.
DASAR HUKUM PERLINDUNGAN SEBELUM BEKERJA BAGI PMI
Pasal 8
(1) Pelindungan Sebelum Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a
meliputi:
a. pelindungan administratif; dan
b. pelindungan teknis
(2) Perlindungan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling
sedikit meliputi:
a. kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan; dan
b. penetapan kondisi dan syarat kerja.
(3) Perlindungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit
meliputi:
a. pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi;
b. peningkatan kualitas CPMI melalui pendidikan & pelatihan kerja;
c. Jaminan Sosial;
d. fasilitasi pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia;
e. penguatan peran pegawai fungsional pengantar kerja;
f. pelayanan penempatan di layanan terpadu satu atap penempatan dan
perlindungan Pekerja Migran Indonesia; dan
g. pembinaan dan pengawasan.
DASAR HUKUM PERLINDUNGAN SEBELUM BEKERJA BAGI PMI
Pasal 12
(1) CPMI wajib mengikuti proses yg dipersyaratkan sebelum bekerja.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses yang dipersyaratkan diatur dengan Peraturan
Kepala Badan.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perlindungan Sebelum Bekerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai 19 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab:
e. memberikan Perlindungan PMI sebelum bekerja dan setelah bekerja;
Pasal 41
Pemerintah Daerah kabupaten/ kota memiliki tugas dan tanggung jawab:
e. memberikan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah
bekerja di daerah kabupaten/kota yang kewenangannya;
PP NOMOR 59 TAHUN 2O2I TENTANG PELAKSANAAN PELINDUNGAN PMI
(4) Informasi sebagaimana diatur pada ayat (3) huruf a meliputi:
a. hak dan kewajiban Pekerja Migran Indonesia dan anggota Keluarganya;
b. lowongan kerja, jenis pekerjaan, Pemberi Kerja, lokasi lingkungan kerja, dan kondisi kerja;
c. program, cara mengakses, dan mekanisme klaim untuk Jaminan Sosial;
d. prosedur migrasi yang resmi meliputi syarat, tata cara, dan tahapan migrasi aman
e. biaya penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. kerentanan PMI terhadap perdagangan orang, sindikat narkotika, bahaya radikalisasi, dan
gangguan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi perempuan serta kesehatan jiwa;
g. hukum dan budaya di negara tujuan penempatan;
h. Perjanjian Penempatan dan Perjanjian Kerja;
i. daftar P3MI dan Mitra Usaha yang terbaru;
j. daftar negara yang menjadi tujuan penempatan dan negara yang dilarang;
k. mekanisme pengaduan dan pelaporan baik di dalam negeri dan di luar negeri;
l. prosedur di LTSA Pekerja Migran Indonesia; dan
m. standar gaji.
Penetapan Kondisi dan Syarat Kerja
Pasal 5
(1) Dokumen penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan
fotokopi buku nikah;
b. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang
diketahui oleh kades/lurah;
c. sertifikat kompetensi kerja;
d. surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan
psikologi;
e. paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat;
f. visa kerja;
g. Perjanjian Penempatan; dan
h. Perjanjian Kerja
2) BP2MI atau pejabat fungsional pengantar kerja atau petugas yang ditunjuk oleh dinas
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan melakukan
verifikasi kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan psikologi
bagi Calon Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur
dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan
Kelengkapan dan Keabsahan Dokumen Penempatan
Pasal 6
(1) Penetapan kondisi dan syarat kerja dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja.
(2) Kondisi dan syarat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. Besaran dan tata cara pembayaran upah;
b. Jam kerja dan waktu istirahat;
c. Hak cuti;
d. Jaminan Sosial dan/atau asuransi; dan
e. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
Pemberian Sosialiasi dan Diseminasi Informasi
Pasal 7
1) Pemberian sosialiasi dan diseminasi’ informasi kepada pencari kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a paling sedikit memuat mengenai pasar kerja luar negeri, tata
cara penempatan, kondisi dan syarat kerja luar negeri.
2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh LTSA Pekerja Migran
Indonesia.
3) Dalam hal LTSA Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 belum
terbentuk, pemberian informasi dilakukan oleh Dinas Daerah KabupatenlKota dan/atau BP2MI.
4) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan melibatkan Pemerintah
Desa.
5) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring atau
luring.
Pasal 8
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berasal dari:
a. Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan;
b. Mitra Usaha di negara tujuan penempatan; dan/atau
c. Calon Pemberi Kerja.
(2) Informasi yang berasal dari Mitra Usaha dan calon Pemberi Kerja di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus diverifikasi oleh
Atase Ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk di negara tujuan
penempatan.
Peningkatan Kualitas Calon Pekerja Migran Indonesia melalui Pendidikan dan Pelatihan Kerja
(Pasal 9)
(1) Dalam peningkatan kualitas CPMI melalui pendidikan dan pelatihan kerja (Pasal 4 ayat (3))
huruf b dilaksanakan melalui:
a) standardisasi kompetensi pelatihan kerja serta sistem pendidikan dan pelatihan kerja
berbasis kompetensi sesuai dengan jenis pekerjaan yang akan dilakukan;
b) revitalisasi dan optimalisasi balai latihan kerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
c) pengalokasian anggaran pendidikan dan pelatihan kerja pada anggaran pendapatan
belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah; dan
d) penyediaan sarana dan prasarana pelatihan kerja yang layak bagi PMI.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, PemProv dan/atau PemKab/Kot sesuai dg kewenangan.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat bekerja sama dg lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah
dan/atau swasta terakreditasi.
(4) Penyelenggara pendidikan dan pelatihan kerja pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) harus memiliki tenaga
pendidik dan pelatih yang kompeten.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan CPMI
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri
Jaminan Sosial
Pasal 10
(1) Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf c dilaksanakan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional.
(2) Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Jaminan Sosial
kesehatan dan Jaminan Sosial ketenagakerjaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jaminan Sosial kesehatan Pekerja Migran
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dengan Peraturan Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kesehatan.
(4) Jaminan Sosial ketenagakerjaan Pekerja Migran Indonesia dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fasilitasi Pemenuhan Hak Calon Pekerja Migran Indonesia (Pasal 11)
(1) Pemerintah memfasilitasi pemenuhan hak Calon Pekerja Migran Indonesia
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pelayanan penempatan;
b. pelayanan informasi pendampingan dan bantuan hukum;
c. pelayanan informasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan kerja;
d. pelayanan informasi Jaminan Sosial;
e. penyeleirggaraan pendidikan dan pelatihan kerja; dan
f. pendampingan dan bantuan hukum.
(3) Pelaksanaan fasilitasi pemenuhan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia sejak terdaftar di Dinas Pemerintah
KabupatenlKota sesuai dengan Perjanjian Penempatan.
Penguatan Peran Pegawai Fungsional Pengantar Kerja
Pasal 12
(1) Penguatan peran pegawai fungsional pengantar kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (31 huruf e dilakukan melalui:
a. pemberdayaan pegawai fungsional pengantar kerja di setiap layanan
penempatan luar negeri; dan
b. peningkatan kualitas dan kuantitas pegawai fungsional pengantar kerja
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penguatan peran pegawai fungsional pengantar
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Peran KSP
Berdasarkan Perpes 83 Tahun 2019, KSP memiliki tugas dan fungsi untuk
pengendalian Program Prioritas Nasional dan Isu Strategis serta Komunikasi Politik.
- PMI mendapatkan
perhatian khusus Bapak
Presiden - Verivikasi Lapangan/Audiensi
- Koordinasi Lintas KL
PEMBEBASAN BIAYA PENEMPATAN
(Peraturan Kepala BP2MI no. 9 tahun 2020)
Penyusunan peraturan perundang-undangan terkait PMI perlu
mempertimbangkan kedaulatan hukum negara tujuan penempatan.
Misalnya: Pembebasan biaya penempatan dibatasi pada biaya-biaya yang
hanya muncul sebagai akibat dari proses migrasi ke negara tujuan penempatan
yang secara international common practice tidak dapat dibebankan pada CPMI,
seperti: agency fee, tiket transportasi ke negara tujuan penempatan, visa
kerja,dan sebagainya. Sedangkan biaya-biaya yang melekat pada pribadi CPMI
sebagai pencari kerja, seperti: biaya pembuatan paspor baru, pelatihan/sertifikat
kompetensi kerja, SKCK, premi BPJS TK, dan sebagainya.
Kemampuan daerah untuk pelatihan dan sertifikasi ini sangat minim karena
keterbatasan anggaran.
Kemendagri dapat menetapkan aturan yang mewajibkan pelatihan CPMI bagi
Pemda sehingga terdapat keseragaman pelaksanaan pelatihan CPMI oleh
seluruh Pemda yang ada di Indonesia.
Fasilitas KTA/KUR ini cair di belakang sehingga untuk biaya di depan CPMI harus
memiliki uang di awal, termasuk untuk biaya pelatihan, biaya hidup untuk
melakukan proses penempatan, dll.
Terkait dengan fasilitas KUR/KTA yang ditawarkan bank, bunga yang ditawarkan
relatif tinggi.
Kebijakan KTA/KUR ini tidak implementatif di lapangan karena pihak bank masih belum
sepenuhnya siap.
Memastikan pelaksanaan aturan turunan tersebut bisa sinkron dengan kesiapan atau
ketersediaan APBN/APBD.
Ada pengawasan dari Pemerintah Pusat yang bisa menjamin atau memaksa pemerintah
daerah menjalankan amanat UU 18/17.
Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai aturan turunan tersebut
Kewajiban zero cost sulit sejalan dengan hukum di beberapa negara penempatan.
Terhadap biaya penempatan ini, idealnya harus ada fairness distribution, antara pemberi kerja
dengan PMI itu sendiri. Oleh karena itu program KTA//KUR sulit untuk diimplementasikan di
beberapa negara tertentu.
Pemberi kerja di negara penempatan berkeinginan untuk beralih ke pekerja dari negara lain.
Pemberi kerja di negara penempatan mengkhawatirkan jika pemberi kerja sudah
menanggung semua kemudian PMI tersebut pindah kerja.
Uang yg dikeluarkan di awal oleh pemberi kerja tersebut akan dipotongkan dari hak gaji
pegawai setiap bulan nya.
Belum semua infrastruktur siap mengakomodir peraturan maupun kebijakan
penempatan PMI.
Kebijakan KTA/KUR dianggap membebani PMI sehingga kurang sejalan dengan
semangat UU 18/17.
Perbankan hanya dapat memfasilitasi KTA/KUR untuk beberapa negara
penempatan saja.
Pada dasarnya perbankan hanya dapat menjangkau negara-negara dimana
sudah memiliki coverage branch perbankan yang bersangkutan.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada tahun 2020, tercatat jumlah
WNI di luar negeri sebanyak 3.011.202 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 90% adalah
Pekerja Migran Indonesia (PMI). Oleh karena itu permasalahan perlindungan WNI di luar
negeri mayoritas adalah permasalahan PMI, terutama PMI NON PROSEDURAL.
Mengingat anggaran maupun sumber daya ini terbatas apabila kasus permasalahan
PMI NON PROSEDURAL semakin tinggi maka ini akan menjadi beban negara
Upaya preventif dari hulu adalah yang diperlukan untuk dapat menekan kasus
permasalahan PMI NON PROSEDURAL di luar negeri.
Dorongan PMI Illegal/Non-Documented
REAL CHALLENGES
Perlindungan PMI Sebelum Bekerja VS PMI Nonprosedural
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada tahun 2020, tercatat jumlah
WNI di luar negeri sebanyak 3.011.202 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 90% adalah
Pekerja Migran Indonesia (PMI). Oleh karena itu permasalahan perlindungan WNI di luar
negeri mayoritas adalah permasalahan PMI, terutama PMI NON PROSEDURAL.
Mengingat anggaran maupun sumber daya ini terbatas apabila kasus permasalahan
PMI NON PROSEDURAL semakin tinggi maka ini akan menjadi beban negara
Upaya preventif dari hulu adalah yang diperlukan untuk dapat menekan kasus
permasalahan PMI NON PROSEDURAL di luar negeri.
USULAN PEMBENAHAN
Pendekatan multi stakeholder terkait antara lain di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian,
hubungan luar negeri, law enforcement, unsur masyarakat, media, dll., antara lain sebagai
berikut:
● Pembenahan regulasi domestik agar prosedur bekerja ke luar negeri ini bisa mudah, cepat,
dan kompetitif dibandingkan dgn mekanisme non-prosedural sehingga WNI memilih
bekerja di luar negeri scr prosedural.
● Pendekatan diplomasi dengan negara penempatan agar PMI non-prosedural ini dapat
dikontrol.
● Pengetatan pembuatan visa termasuk pengetatan pada saat interview meliputi tujuan
negara bepergian, kondisi kesehatan, tempat tinggal di negara tujuan, kondisi rekening,
coverage asuransi, dll.
● Pengontrolan yang ketat di pintu keberangkatan terhadap pihak-pihak yang terindikasi
akan bekerja ke luar negeri namun tidak sesuai prosedur bekerja ke luar negeri tentu ini
harus dicegah.
Data yang terintegrasi antar K/L terkait sehingga dapat diketahui apabila WNI
itu ke luar negeri dengan izin selain bekerja namun dalam jangka waktu
tertentu tidak segera kembali artinya memang ybs memiliki indikasi untuk
bekerja secara non-prosedural.
● Perlu adanya sanksi imigrasi bagi WNI yang melanggar hukum di luar negeri,
misalnya sanksi pembatasan paspor, pelarangan kembali ke negara tertentu,
dll. Harapannya, ini dapat memberikan efek jera pada PMI yang bersangkutan
untuk tidak mengulangi hal yang sama.
● Edukasi/literasi kepada masyarakat dengan menggandeng akademisi, NGO,
swasta yang relevan, maupun media juga penting agar masyarakat
memahami apabila berangkat ke luar negeri tidak sesuai prosedur, ilegal,
maupun melakukan pelanggaran hukum di luar negeri maka akan ada
konsekuensi hukum berdasarkan hukum di luar negeri yang bisa jadi jauh lebih
berat dibandingkan dengan hukuman yang ada di Indonesia.