Geng Bandung, Satukan Suara untuk Perubahan

Nov 5, 2025

Bandung, 4 November 2025 — Ratusan aktivis dari berbagai generasi dan latar belakang masyarakat sipil berkumpul di kawasan Terusan Pasteur, Bandung, untuk mendeklarasikan “Geng Bandung”, sebuah forum lintas kelompok yang bertekad memperkuat suara kritis dan partisipasi publik dalam mengawal arah bangsa.

Suasana pertemuan berlangsung terbuka dan penuh semangat. Beragam pandangan disampaikan secara gamblang, mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik nasional. Meski kritik tajam diarahkan pada situasi saat ini, sebagian besar peserta masih memberikan kepercayaan dan ruang bagi Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan perubahan yang dijanjikan.

Fokus utama kritik para aktivis tertuju pada upaya menghentikan praktik korupsi dan perampokan kekayaan negara, terutama yang dianggap masih berkelindan dengan kepentingan kekuasaan di era sebelumnya.

Dalam forum tersebut hadir Delfero, kakak kandung Delpredo, aktivis muda yang kini ditahan akibat dugaan penghasutan melalui media sosial pasca kerusuhan akhir Agustus lalu. Para aktivis menilai, penahanan terhadap suara kritis di era keterbukaan saat ini merupakan langkah mundur.

“Delpredo hanya membuka posko bantuan hukum dan advokasi agar massa aksi punya perlindungan. Kalau ini dianggap penghasutan, maka siapa pun dari kita bisa jadi korban berikutnya,” ujar Delfero.

Mereka pun menyerukan pembebasan bagi ribuan penggiat media sosial yang masih ditahan karena aktivitas berpendapat.

Presiden KBMI, Wahidin, menyoroti kondisi ekonomi yang belum membaik pasca setahun pemerintahan Prabowo.

“PHK masih terjadi di mana-mana. Di sisi lain, perampasan lahan seperti di kawasan PIK-2 bukannya selesai, malah lautnya kini ikut ditimbun,” ungkapnya.

Tokoh nasional Syahganda Nainggolan menambahkan perspektif strategis tentang relasi kekuasaan dan rakyat. Ia menilai, hubungan antara Prabowo dan kalangan aktivis seharusnya bersifat kemitraan, bukan hegemoni.

“Pasca reformasi, kekuasaan dikuasai oligarki yang pura-pura mengabdi pada rakyat. Negara digunakan untuk merampok kekayaan publik. Korupsi kini bisa puluhan kali lipat lebih besar dibanding era Suharto,” tegas Syahganda.

Namun ia juga mengakui adanya pergeseran paradigma yang sedang diupayakan Prabowo—dari negara yang menjadi alat oligarki menuju negara yang berpihak pada rakyat.

Filsuf Rocky Gerung menegaskan kembali hakikat demokrasi sebagai kontrak sosial antara rakyat dan penguasa.

“Kontrak sosial bisa dibatalkan oleh protes sosial. Kita perlu menguji apakah setahun pemerintahan Prabowo sudah cukup memenuhi janji itu,” katanya.

Rocky mengusulkan masa evaluasi tambahan 10%, sebagai bentuk tenggat renegosiasi terhadap janji-janji politik Prabowo.

Aktivis senior LBH, Dindin S. Maolani, menilai waktu Prabowo kian sempit untuk mewujudkan visi “kembali kepada rakyat.”

“Sinyal-sinyal positif sudah ada, tapi belum menjadi kenyataan. Karena itu perlu tekanan publik agar visi itu benar-benar dijalankan,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh mahasiswa Bandung Ilyas mengecam keras warisan kebijakan rezim sebelumnya yang dinilai merugikan bangsa.

“UU Cipta Kerja telah menjadikan Ibu Pertiwi bukan hanya dilacurkan pada Amerika, tapi juga banyak negara lain. Sudah saatnya kita bangun ulang negara yang usang,” pungkasnya.

Lahirnya Geng Bandung

Seruan pembentukan “Geng Bandung” muncul dari tokoh buruh Arif Minardi, yang dikenal pernah memimpin ribuan buruh PT. DI konvoi motor ke Jakarta.

“Saya percaya Prabowo punya niat baik. Tapi jangan hanya mendengarkan Geng Solo. Kini harus juga mendengar Geng Bandung. Kalau dengan cara baik tak didengar, kita siap turun dengan kekuatan massa besar,” tegas Arif.

Tokoh senior Jumhur Hidayat menambahkan peringatan keras soal daya tahan rakyat menghadapi pelemahan ekonomi.

“Selama 10 tahun terakhir, rakyat sudah seperti kebanjiran airnya hampir sampai mulut. Jika tak segera ada pemulihan, kita bisa tenggelam dalam instabilitas sosial,” ujarnya.

Lintas Generasi, Lintas Sektor

Pertemuan yang digagas Paskah Irianto dan Apipudin ini dihadiri ratusan aktivis dari berbagai universitas di Bandung, termasuk UPI, ITB, POLBAN, UIN, UNPAS, dan kampus lainnya, serta berbagai organisasi seperti AMS, Walhi Jabar, Hedjo Institute, Forum Dangiang Siliwangi, GOBSI, Gaspermindo, dan Eksponen 66 hingga Aktivis 98.

Turut hadir pula akademisi, peneliti, seniman, budayawan, komunitas kasundaan, hingga simpul-simpul buruh dan perempuan.

Deklarasi “Geng Bandung” pun ditutup dengan semangat solidaritas lintas generasi sebagai panggilan moral untuk menjaga idealisme gerakan rakyat, agar suara keadilan tetap menyala di tengah perubahan zaman.

(Agt/PM)