*Oleh: Moh. Syafiq Khan.
Harmoko (Lahir, 7 Februari 1939 di Patianrowo Nganjuk, Jawa Timur – Wafat, 4 Juli 2021 di Jakarta) adalah menteri yang sangat dipercaya oleh Presiden Soeharto dan memegang berbagai posisi penting, termasuk Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) (1973-1983), Menteri Penerangan (1983-1997), Ketua Umum Golkar (1993-1998), dan Ketua DPR/MPR (1997-1999). Ia dikenal sebagai “Hari-hari Omong Kosong” karena dianggap sering berbicara tanpa substansi dan merupakan tangan kanan Soeharto yang represif, terutama dalam hal pembatasan kebebasan pers melalui pembredelan.
Presiden Soeharto (Lahir, 8 Juni 1921 di Sedayu, Bantul, Jawa Tengah – Wafat di Jakarta, 27 Januari 2008) menunjuk Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar untuk memperkuat partai tersebut dengan mengukuhkan metode represif khas rezim Orde Baru. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat kewajiban bagi pegawai negeri untuk memilih Golkar melalui Korpri (Korp Pegawai Negeri RI).
Sebagai Ketua Umum Golkar, Harmoko memperkuat partai tersebut dengan metode represif, seperti mewajibkan pegawai negeri memilih Golkar. Kampanye populer seperti Safari Ramadhan dan Kelompencapir (kelompok pendengar, pembicara, dan pemirsa) juga digunakan untuk menggalang dukungan, meskipun sering dianggap sebagai “omong kosong”. Hasilnya, Golkar selalu menang dalam pemilu, meskipun diduga dengan cara curang. Pada Pemilu 1997, Golkar meraih sekitar 70% suara, menunjukkan tingkat kecurangan dan represi yang tinggi.
Pada 1998, kondisi politik memanas dengan demonstrasi besar-besaran yang dipimpin mahasiswa dan rakyat. Ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru mencapai puncaknya. Demonstrasi ini, yang sering berujung pada kekerasan dan jatuhnya korban jiwa, akhirnya memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.
Meski Reformasi 1998 dianggap sebagai titik balik, masih terdapat manipulasi dan pengaruh dari elit lama dalam proses transisi. Reformasi yang diharapkan membawa perubahan signifikan sering kali terhambat oleh sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang tetap berusaha mempertahankan pengaruh mereka.
Peristiwa ini menggambarkan bagaimana kekuatan represif dan manipulasi politik berperan besar dalam mempertahankan kekuasaan Orde Baru hingga akhirnya runtuh di tengah gelombang protes rakyat yang menginginkan perubahan.
Harmoko dan Kampus Universitas Mataram
Cerita tentang Harmoko, orang kepercayaan Soeharto, sering kali tidak diceritakan secara mendalam karena fokus utama biasanya pada Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Namun, Harmoko memainkan peran penting dan berbalik melawan Soeharto saat Reformasi Mei 1998. Ada satu cerita menarik tentang Harmoko di Universitas Mataram (Unram) yang menggambarkan sinisme mahasiswa terhadapnya.
Pada awal tahun 1990, Harmoko, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan, mengunjungi kampus Unram untuk memberikan pidato. Para aktivis mahasiswa Unram, yang terkenal dengan sinisme mereka terhadap rezim Orde Baru, merencanakan aksi untuk mengolok-olok Harmoko. Rencana ini dirancang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak rektorat dan keamanan kampus. Bagi kami aktivis mahasiswa, Harmoko adalah manivestasi Soeharto. Mengingatkan kami saat demo “Menuntut Janji Orde Baru” di depan arena budaya Unram pada tahun 1989. Sehingga saat Harmoko datang inilah saatnya mengingatkan kembali kebobrokan orde baru yang semakin represif.
Pada hari kunjungan Harmoko, mahasiswa aktivis sengaja membiarkan kedatangannya tanpa melakukan demonstrasi penolakan. Rektorat dan aparat keamanan pun merasa tenang. Harmoko datang dengan pengawalan ketat, percaya bahwa tidak ada ancaman serius yang dihadapinya.
Pagi sebelum acara dimulai, para aktivis mahasiswa, yang sudah diberi bocoran rencana, memenuhi kursi di Gedung Serba Guna Arena Budaya Kampus Unram, terutama di bagian depan. Para dosen dan mahasiswa yang tidak mengetahui rencana ini hanya mendapatkan kursi di bagian tengah dan belakang. Harmoko, dengan penuh percaya diri, mulai memberikan pidatonya.
Namun, ketika Harmoko mulai berbicara, pemimpin komando mahasiswa (penulis), yang duduk di bagian depan, berdiri dan berjalan menuju keluar. Aksi ini diikuti oleh seluruh mahasiswa aktivis yang berada di bawah komando, meninggalkan Harmoko bicara di depan kursi-kursi yang kosong. Pihak keamanan, rektorat, dan dosen yang hadir kaget dengan tindakan tersebut, tetapi tidak dapat berbuat banyak.
Di luar gedung, komando kedua mahasiswa, yang menyamar sebagai siswa SMA untuk mengelabui aparat keamanan, berhasil merobek ban mobil Harmoko. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan lebih lanjut di antara petugas keamanan.
Aksi ini adalah bentuk sinisme dan ledekan mahasiswa Unram terhadap Harmoko dan rezim Orde Baru yang korup. Meskipun berisiko, para mahasiswa merasa bahwa tindakan mereka diizinkan oleh Sang Khalik. Keesokan harinya, mereka dipanggil oleh rektorat dan intel sospol, namun tidak ada tindakan serius yang diambil. Para aktivis puas dengan aksi mereka yang berhasil membuat Harmoko merasa malu dan kesal.
Harmoko dan Jatuhnya Soeharto serta Manipulasi Reformasi 1998
Harmoko, seorang menteri yang sering kali menggunakan frasa “menurut petunjuk Bapak Presiden,” menjadi simbol kekuasaan Soeharto. Kuasa Harmoko mencerminkan otoritas Soeharto, membuatnya tidak disukai oleh banyak pejabat Orde Baru, aktivis anti-Orde Baru, dan rakyat umum. Pada masa Reformasi Mei 1998, Harmoko yang menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, memperlihatkan permainan politik yang licik.
Pada Maret 1998, Harmoko mendukung pengangkatan kembali Soeharto sebagai presiden, meski hanya “omong kosong.” Ketika gelombang demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan rakyat meningkat, bahkan rumahnya dibakar di Solo, Harmoko berbalik menuntut Soeharto mundur. Soeharto, yang kehilangan dukungan dari militer, politisi, kabinetnya, oligarki, serta anggota DPR/MPR, akhirnya menyerah pada tekanan rakyat yang menginginkannya mundur. Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri, digantikan oleh BJ. Habibie.
Meskipun rezim Orde Baru runtuh, sisa-sisa kekuasaannya
Meskipun rezim orde baru runtuh, tetapi sisa sisa kekuasaannya (Roh nya) masih bertahan melekat dalam masa reformasi hingga sekarang. Banyak aktivis demokrasi yang sebelumnya menentang Orde Baru dengan cepat melupakan dosa-dosa masa lalu dan berkolaborasi dengan punggawa Orde Baru. Para pelaku kekerasan terhadap mahasiswa dan rakyat selama Reformasi tidak tersentuh hukum. Harmoko dan pejabat Orde Baru lainnya tetap aman dan menikmati kekuasaan dalam era Reformasi yang lebih korup dan amoral.
Soeharto sempat diadili, tetapi proses tersebut berakhir tanpa hasil nyata. Reformasi yang seharusnya membawa perubahan besar justru dimanipulasi oleh elite korup yang tidak bermoral. Masalah korupsi, utang, dan narkoba menjadi penyakit yang merusak moral bangsa. Struktur korupsi dan bisnis haram lainnya seperti judi semakin mengakar, menjadikan bangsa Indonesia semakin terpuruk dalam kemiskinan struktural.
Pemerintah dan berbagai lembaga yang dibentuk pasca-Reformasi untuk mengontrol korupsi, seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial, malah sering kali terlibat dalam praktik korupsi. Demokrasi yang dijalankan hanyalah kepalsuan, menguntungkan segelintir elite rente dan kapitalis oligarki. Sumber daya alam yang melimpah dijual kepada bangsa asing dan koruptor, meninggalkan rakyat dalam kemiskinan.
Bangsa ini menghadapi problema berat, korupsi, hutang, dan narkoba. Reformasi yang diharapkan membawa perubahan positif malah menjadi ajang manipulasi bagi mereka yang berjiwa korup. Pemerintah yang korup dan amoral telah merusak jiwa bangsa ini, menjadikannya bangsa kuli dan madat.
Kini saatnya kita bangkit melawan kebobrokan moral yang melanda bangsa ini. Kita harus membentuk kepemimpinan yang memiliki integritas moral, mengembalikan reformasi kepada fitrah revolusi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Reformasi harus menjadi penegakan hukum dan keadilan untuk semua.
Marilah kita haturkan doa bagi seluruh bangsa Indonesia, semoga selamat sejahtera dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Al-Fatihah, Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin. Mohon maaf lahir dan batin.
Tulisan ini mengenang perjuangan mahasiswa untuk menegakkan hukum, keadilan, dan demokrasi di negeri ini, khususnya bagi para syahid mahasiswa Indonesia saat Reformasi 1998.
Jakarta, 21 Mei 2024
*Penulis: Pelaku Sejarah / Mantan Ketua Presidium Senat Mahasiswa Universitas Mataram 1992/1993 dan Ketua Presidium Forum Alumni Universitas Mataram.
Editor: Agusto Sulistio