PikiranMerdeka.com – Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM kian menuai protes berbagai kalangan publik, hingga aksi unjuk rasa Mahasiswa, Buruh, Masyarakat diberbagai wilayah terjadi.
Publik menganggap kebijakan Pemerintah naikkan BBM, semakin membuat beban hidup rakyat bertambah, yang sebelumnya tengah dirasakan oleh rakyat.
Terkait itu Aktivis 98 Andrianto dalam diskusi bertema “Subsidi BBM Rp 24,17 triliun dan Subsidi Obligor BLBI Rp 60 Triliun” di Universitas Moestopo, Jakarta/RMOL
Dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Pemerintah semakin membuktikan rezim Presiden Joko Widodo melupakan asas ekonomi Pancasila dan bergerak dengan paradigma ekonomi neo liberal, ungkap Andrianto, narasumber diskusi “Subsidi BBM Rp 24,17 triliun dan Subsidi Obligor BLBI Rp 60 Triliun” di Universitas Moestopo, Jakarta, pada haru Rabu, 7/9/2022.
Dugaan itu, kata Andrianto, diperkuat dengan alasan yang diberikan pemerintah saat memutuskan harga BBM dinaikkan karena dinamika harga minyak global.
“Dalam mazab neo liberal tidak di inginkan adanya subsidi, semua berlandaskan hukum pasar bebas,” ucap Andrianto, mantan aktivis Mahasiswa 98 yang sempat dipenjara politik dimasa orde baru.
“Di mana harga minyak dunia di tentukan di London Stock Escange dengan patokan minyak jenis Brent. Harga ini bisa naik-turun sesuai market demand-nya,” kata Andrianto menjelaskan.
Dia menengarai, pengurangan subsidi BBM juga disebabkan faktor tanggal jatuh tempo pembayaran utang negara yang jumlahnya juga tidak sedikit. Bahkan, belakangan pemerintah harus menambah utang untuk membayar utang.
“Istilahnya Berhutang untuk tutup jurang. Hutang jumbo akibat proyek infrastruktur yang tidak terkendali dan masuk akal seperti proyek IKN yang rasanya mustahil terwujud bilamana ekonomi sebuah negara sedang susah,” tambahnya.
Disisi lain, soal bantuan sosial atau bantuan langsung tunai yang disiapkan pemerintah, menurutnya, hal itu hanya akan menjadi solusi sesaat karena masyarakat akan berat menggung beban ekonomi saat harga BBM naik dan diikuti kenaikan harga komoditas kebutuhan pokok.
“Bansos yang nilainya cuman Rp 24 triliun buat 20 juta rakyat rasanya cuman seperti amphetamin, nikmat sesaat tapi melarat sesudahnya,” tegas Andrianto.
(agt/PM – Foto: ist)