Ket Gambar: Ilustrasi Turnamen Domino di Makassar/Foto: Google.
Oleh: Agusto Sulistio* – Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR Semarang era tahun 90an.
Di sebuah ruangan sederhana, para tokoh asal Sulawesi Selatan duduk melingkar. Tumpukan kartu domino berserakan di meja dlam suasana santai, tawa kecil, mengesankan pertemuan itu seperti kebersamaan biasa. Tak ada mikrofon resmi, juga protokol yang ketat. Hanya obrolan ringan, keakraban, dan permainan yang bagi sebagian masyarakat Bugis Makassar sebagai hiburan, dan menjaga persaudaraan.
Namun, sebuah foto dari momen beredar dengan ragam komentar “negarif”, yang bisa diartikan sebagai “framing” era jaman sekarang. Sehingga mengubah arti yang sebenarnya. Dua menteri Kabinet Prabowo Subianto, Abdul Kadir Karding dan Raja Juli Antoni tertangkap kamera sedang ikut bermain. Yang membuat publik heboh di samping mereka duduk Azis Wellang, nama yang sudah terlanjur dikenal sebagai tersangka pembalakan liar. Narasi negatif seketika bergulir, ada pejabat yang dianggap kompromistis, ada pemerintahan yang dipersepsikan menurunkan standar integritas.
Pertanyaannya, apakah persoalan ini sesederhana itu?
Secara hukum, mereka tidak melakukan pelanggaran. Tak ada pasal yang melarang seorang menteri duduk bersama tersangka, apalagi dalam forum sosial. Tapi dalam politik, persepsi bisa lebih tajam daripada fakta. Di sinilah mungkin letak kekhilafan Karding dan Raja Juli. Sebagai pejabat publik, mereka lupa bahwa kamera dan opini publik tak pernah tidur. Duduk semeja dengan seseorang yang tengah berurusan dengan hukum langsung bisa menimbulkan tafsir “kompromi”.
Khilaf lainnya ada pada komunikasi. Klarifikasi datang belakangan, ketika rumor sudah terlanjur menjadi santapan media. Padahal di era serba cepat (informatika digital berbasis internet), keterlambatan informasi sering lebih berbahaya ketimbang peristiwa itu sendiri.
Namun, publik juga perlu diajak melihat sisi lain. Raja Juli sudah mengaku, ia baru tahu status hukum Azis Wellang setelah berita itu ramai. Bagi komunitas Sulawesi Selatan, bermain domino adalah simbol kebersamaan, bukan ajang konspirasi. Dan hukum kita jelas menjunjung asas praduga tak bersalah, seseorang baru bisa disebut bersalah setelah ada vonis pengadilan. Maka, hadirnya menteri di ruang yang sama dengan tersangka tidak otomatis berarti melindungi kejahatan.
Filsuf dunia populer sudah lama membicarakan dilema semacam ini. Niccolo Machiavelli menulis bahwa pemimpin bukan hanya harus memegang kekuasaan, tetapi juga harus terlihat bermoral di mata rakyat. Artinya, kesalahan terbesar bisa jadi bukan pada tindakan itu sendiri, melainkan pada bagaimana tindakan itu ditafsirkan publik. Immanuel Kant bahkan lebih keras, pejabat publik, menurut ajaran moralnya, wajib berpegang pada prinsip universal yang tidak hanya benar secara hukum, tapi juga pantas secara etika. Dua menteri itu mungkin benar dalam hukum, tetapi kalah dalam etika simbolik.
Jika menoleh ke sejarah dunia, kita bisa belajar dari Franklin D. Roosevelt. Presiden AS itu sering mengundang tokoh kontroversial dalam jamuan santai. Kritik memang datang, tapi Roosevelt pandai mengemasnya sebagai ruang dialog sehingga publik justru melihat sisi negarawannya.
Sejarah Indonesia pun penuh contoh serupa. Soekarno kerap menggelar malam bridge di Istana, mengundang pejabat bahkan lawan politik. Banyak yang menganggapnya terlalu santai, tapi Bung Karno tahu, komunikasi personal sering lebih efektif daripada pidato resmi. Soeharto punya gaya berbeda, lapangan golf menjadi ruang lobi yang sering menimbulkan curiga, tetapi juga menjadi sarana memperkuat jejaring kekuasaan. Habibie, di masa singkatnya, justru dikenal membuka pintu istana bagi banyak kalangan, termasuk kelompok yang sebelumnya dikekang. Sedangkan Gus Dur? Ia menjadikan ruang tamunya sebagai tempat bercanda, bermain kartu, hingga berdiskusi lintas kelompok. Gaya santainya dikritik, tapi justru dari situlah lahir iklim demokrasi yang lebih terbuka.
Maka, kasus domino Karding dan Raja Juli sebaiknya tidak dilihat dengan kacamata hitam-putih. Mungkin mereka memang perlu lebih peka, perlu belajar bahwa etika publik menuntut kehati-hatian ekstra. Mereka juga harus sigap dalam komunikasi, agar tidak kalah oleh framing. Namun masyarakat pun harus menilai dengan jernih. Tidak semua kebersamaan bermakna kompromi.
Dan di sinilah sentilan terakhir perlu ditujukan pada Presiden Prabowo. Sejarah menunjukkan, setiap pemimpin punya gaya mengelola ruang informal. Tapi perbedaannya ada pada satu hal yakni kemampuan menjaga citra di mata rakyat. Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Gus Dur sama-sama dikritik, tetapi mereka tetap meninggalkan jejak politik yang kuat karena piawai mengelola persepsi. Prabowo tentu tak ingin pemerintahannya terseret isu sepele yang lahir dari ruang santai seperti meja domino. Ia harus tegas menetapkan pedoman etik bagi menterinya, agar rakyat tidak kehilangan kepercayaan, mengingat di era kemajuan tekhnologi modern rekayasa/hoax telah menjadi ancaman serius terjadinya perpecahan. Karena pada akhirnya, dalam politik, citra yang rusak lebih sulit diperbaiki daripada kartu domino.
Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu 7 September 2025, 15:54 Wib.
*Hp/WA Penulis: 0895351071504