(Jelang Akhir Jabatan Presiden – 1)
Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR Semarang, Pendiri The Activist Cyber. (foto: ilustrasi).
Tak terlihat antusiasme jelang detik-detik dibukanya pendaftaran capres – cawapres oleh KPU pada tanggal 19 s/d 25 Oktober 2023, minggu lalu menjadi analisa tersendiri.
Sebelumnya beredar kabar dikalangan elit kekuasaan dan parpol, bahwa ditengah krisis.ekonomi, kekuatan modal “oligarki” menghendaki capres hanya diikuti oleh 2 kandidat saja. Ini dapat dimaknai sebagai efek krisis ekonomi sehingga perlu efisiensi anggaran. Karenanya pilpres 2024 dikehendaki hanya diikuti 2 kandidat, agar hanya satu kali pelaksanaan dan pemenang pilpres dapat langsung diputuskan. Terkait issue issue ini penulis kategorikan sebagai “Plan A”.
Namun faktanya KPU memutuskan bahwa Pilpres 2024 diikuti 3 capres: Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo – Mahfud MD, Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar. Ini secara tidak langsung, bahwa issue adanya kehendak oligarki inginkan pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua capres gagal. Terkait ini penulis kategorikan sebagai “Plan B”.
Namun demikian bukan berarti Plan A, issue kehendak oligarki bahwa pilpres 2024 hanya diikuti oleh 2 pasangan gagal. Jika issue ini benar, maka langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai upaya agar efisiensi anggaran yang dimaksud oligarki tersebut terwujud.
Peluang yang memungkinkan capres atau cawapres dapat digagalkan, ada pada cawapres Gibran Rakabuming. Persoalan Gibran tidak identik terkait issue kehendak oligarki bahwa pilpres 2024, harus diikuti oleh dua pasangan. Namun Gibran memiliki latar belakang persoalan tersendiri yakni terkait issue dinasti politik dan nepotisme.
Cawapres Gibran Rakabuming sebagai cawapres Prabowo menjadi persoalan, dan diduga sebagai bentuk Politik Dinasti. Gibran putra pertama dari Presiden Jokowi, serta keponakan Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman. Dalam sidang putusan MK Gibran lolos dari persyaratan usia sebagai capres. Hal ini diduga akibat cawe-cawe Jokowi serta upaya membuat politik dinasti.
Plan B: Apakah Posisi Gibran Aman?
Setelah Gibran dinyatakan resmi oleh KPU, pro kontra di masyarakat tak menghindarkan. Jokowi diangkap melakukan KKN, Politik Dinasti dan intervensi kepada MK.
Keputusan MK yang diketuai Anwar Usman sehingga meloloskan Gibran, menjadi sorotan berbagai unsur, antara lain dari kalangan tokoh, akademisi, praktisi, aktivis, dll disektor hukum dan politik. Alhasil, sidang MK MK tadi malam, Selasa, 7 November 2023 melakukan sidang putusan terkait etika para hakim MK.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
Ketua MKMK, Jimly Asshidiqqie, membacakan putusannya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (07/11), bahwa “menyatakan hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, independensi dan kepantasan dan kesopanan.”
Keputusan MK MK hanya terkait soal etiks Hakim, dan tidak menyentuh kepada keputusan. Artinya keputusan MK yang saat itu dipimpin oleh Anwar Usman masih berlaku. Artinya Gibran Rakabuming masih dapat melanjutkan aktivitasnya sebagai Calon Wakil Presiden, dari pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto. Hal ini penulis istilahkan sebagai “Plan C”.
Plan C: Keputusan MK MK dan Gibran Cawapres
Walau keputusan etik MK MK telah memberhentikan Hakim Anwar Usman, namun Anwar masih tetap menjadi Hakim MK, ia hanya diberhentikan sebagia Hakim Ketua Majelis MK.
Pro kontra posisi Gibran sebagak Cawapres masih terus terjadi, bahwa desakan agar Presiden Jokowi mundur terus menguat. Tentu keadaan ini akan berdampak pada reputasi Jokowi, Gibran, Prabowo. Keputusan MK MK akan menambah citra Jokowi dan Gibran semakin buruk dimata Masyarakat.
Disisi lain desakan tak hanya terjadi dikalangan masyarakat dan aksi demonstrasi di jalanan, namun parlemen pun beberapa waktu lalu telah berteriak agar segera dilakuka “Hak Angket” terkait dugaan Jokowi melakuka intervensi kepada MK dan KKN (Politik Dinasti).
Plan D: Hak Angket Jokowi Mundur
Anggota DPR-RI Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, tak lama Gibran lolos dari persyaratan usia sebagai cawapres dirinya melalui rapat paripurna DPR RI minggu lalu menginisiasi agar DPR segara menggunakan hak angket atas sikap politik Presiden Jokowi yang dinilai telah melanggar konstitusi. Hak Angket merupakan amanah dari Rakyat kepada Wakil Rakyat yang duduk di Parlemen, digunakan untuk memperbaiki sesuatu yang keliru menjadi benar.
Terkait desakan mundur Presiden Jokowi, tokoh nasional, Dr. Rizal Ramli jauh sebelumnya lewat berbagai pemberitaan telah banyak memberi kritik atas berbagai kebijakan Presiden Jokowi yang kerap menyimpang dari harapan rakyat dan konstitusi. Bahkan, mantan Penasehat ABRI era awal reformasi, dan menko ekonomi menyatakan bahwa MK saat ini ibarat Mahkamah Keluarga, sebab Ketua Majelis Hakim MK selain merupakan pamab Gibran dan adik ipar Jokowi, bersikap tidak profesional dalam memutuskan aturan batasan usia Capres. Menurut Bang RR, panggilan akrab Rizal Ramli, Jokowi terlihat jelas melakukan Politik Dinasti dengan meloloskan anaknya lewat keputusan MK, yang dipimpin oleh adik iparnya.
Situasi DPR saat ini semakin memanas, khususnya pasca Masinton memprotes keras sikap Jokowi. Dalam rapat paripurna minggu lalu, Masinton Pasaribu, Anggota DPR-RI, Fraksi Partai PDIP usulan Hak Angket atas sikap politik Jokowi yang telah melanggar konstitusi.
Usulan Mashinton mendapat penolakan yang cukup keras, khusnya fraksi Partai Gerindra.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, F.Gerindra, Habiburokhman, menyebut hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah alias legislatif dan eksekutif. Menurutnya, lembaga yudikatif tidak bisa menjadi objek hak angket.
Habiburokhman beranggapan bahwa upaya pengajuan hak angket atas putusan MK itu tak ubahnya memperkosa sistem hukum di Indonesia. Apalagi apabila usulan ini terkait pilihan politik.
Atas penolakan tersebut, bahkan setelah keputusan MK MK memberhentikan Anwar Usman, tak membuat Masinton berhenti memperjuangkan Hak Angket di DPR, dilansir dari Detik.com, Rabu 7/11/2023.
Dukungan terhadap upaya Masinton dan desakan publik terhadap Jokowi kian menguat, hal itu dapat dilihat dari aktivitas publik terkait perilaku Jokowi dan dibahas diberbagai lintas profesi, mahasiswa, aktivis, akademisi, politisi, profesional, dll.
Upaya agar Jokowi mundur dari jabatan Presiden yang dilakukan oleh banyak kalangan, dapat dimaknai sebagai reaksi murni publik atas sikap politik Jokowi yang dianggap telah melanggar konstitusi, tak semuanya sependapat, bahkan gerakan mendesak Jokowi mundur dinilai sebagian kalangan hanya dilakukan oleh kalangan elit. Namun fakta objektif terjadi reaksi publik atas sikap politik Jokowi terjadi di berbagai kalangan diberbagai kota besar, misalnya aksi demonstrasi Mahasiswa di Makasar, Medan, Semarang, Jawa Barat, Jakarta, dll.
Melihat fakta hukum yang terjadi dalam keputusan MK, dapat dinilai bahwa keputusan Hukum di Indonesia saat ini telah tergeser oleh keputusan politik. Maka tak heran Hukum terkesan hanya sekedar tulisan diatas kertas, hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Hukum yang saat ini telah tergerus oleh keputusan politik yang mengakibatkan kehidupan rakyat semakin tidak memiliki kepastian hukum, rakyat tak dapat hidup aman dan nyaman ditengah krisis ekonomi dan moral pejabat negara yang kian merosot.
Penurunan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan pemerintah, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik, menggerus Rule of Law dan Civil Society yang kuat. Karenanya dibutuhkan reformasi dalam sistem politik dan penegakan hukum. Membangun kepercayaan kembali antara masyarakat dan pemerintah, serta memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil tanpa pandang bulu, adalah langkah yang sangat penting dalam memulihkan tatanan politik dan hukum yang stabil dan berkeadilan. Selain itu, peran aktif masyarakat sipil juga dapat membantu mengawasi dan mendorong perubahan yang positif dalam sistem politik.
Akibatnya masyarakat yang seharusnya menjadi fungsi penguat civil society menjadi lemah tak berdaya mereka terjebak dalam Relawan Kandidat yang berkepanjangan, sehingga memberi kelonggaran terjadinya penyimpangan hukum, politik, korupsi, dll berjalan dengan aman dan jaya.
Mengahadapi situasi krisis politik saat ini hanya satu cara yang sangat memungkinkan dilakukan yaitu dengan mengembalikan fungsi dan memperkuat Civil Society, menciptakan Rule of Law yang adil, memiliki media yang berimbang, serta memastikan aparatur keamanan dan negara yang profesional adalah langkah-langkah penting dalam mengatasi krisis politik. Ini bisa membantu menciptakan landasan yang lebih stabil untuk tatanan politik yang sehat dan demokratis. Dukungan masyarakat sipil, media independen, dan penegakan hukum yang adil dapat menjadi pilar penting dalam upaya ini.
Jatuhnya Kekuasaan dari Luar Parlemen
Dari berbagai dokumentasi terpercaya, bahwa menekan Presiden untuk mundur di suatu negara melalui jalan lewat di luar parlemen pada umumnya melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil, militer, dan tekanan dari luar yang memaksa presiden untuk mengundurkan diri atau dijatuhkan dari jabatan.
Hal ini disebabkan akibat perilaku presiden yang dianggap melanggar konstitusi atau undang-undang, tetapi pemakzulan lewat parlemen tidak mungkin atau dianggap kurang efektif.
Dalam beberapa kasus, militer dapat memainkan peran penting dalam menekan presiden. Militer dapat mengambil alih kekuasaan atau mendukung tindakan lain yang mengakhiri pemerintahan presiden yang dianggap melanggar konstitusi.
Diberbagai negara demokrasi terjadi aksi demonstrasi besar-besaran dan protes rakyat yang diyakini sebagai cara efektif untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap kekuasaan. Langkah masyarakat sipil dan unjuk rasa massal kerap berujung pada mundurnya presiden dari jabatannya. Partai politik dapat memainkan peran dengan menarik dukungan mereka dari presiden yang bermasalah.
Intervensi internasional atau tekanan dari negara-negara lain dapat mempengaruhi tekanan kepada presiden, sehingga dapat mendorong terjadinya sanksi ekonomi atau tekanan diplomatik.
Hal itu terjadi pada Pemerintah Mesir, masa kepemimpinan Mahamed Morsi, ia akhirnya jatuh dari kekuasaan alibat tekanan dari luar parlemen.
Pada tahun 2013, Presiden Mohamed Morsi dijatuhkan dari jabatannya setelah militer mengambil alih kekuasaan setelah serangkaian protes besar-besaran oleh rakyat yang menuntut pengunduran dirinya. Meskipun Morsi terpilih melalui pemilu, protes dan tekanan dari militer dan masyarakat sipil menyebabkannya dijatuhkan dari jabatan. Ini adalah contoh di mana campur tangan militer dan protes rakyat mengakibatkan jatuhnya kekuasaan presiden dari luar parlemen.
Kalibata, Jakarta Selatan, 8/11/2023 – 10:09 Wib.