https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Kepemimpinan Jokowi dan Perbaikan Sistem Kepartaian

Jul 10, 2024 #Asrianty

Oleh: Asrianty Purwantini (Mba Dodo) – Aktivis era tahun 80an.

Kepemimpinan Presiden Jokowi sering jadi sorotan dan kritik dari berbagai kalangan, terutama dalam hal hukum dan ekonomi. Contoh nyata dari persoalan ini bisa dilihat dari pelemahan KPK yang berujung pada menurunnya efektivitas pemberantasan korupsi, serta hutang negara yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Banyak yang berpendapat bahwa kerusakan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah akibat dari kebijakan dan tindakan pemerintah yang kurang tepat. Tapi, tanggung jawab atas situasi ini tidak sepenuhnya berada di pundak Jokowi saja, tetapi juga partai-partai politik pendukungnya.

Misalnya, pada bulan September 2019, DPR yang didominasi oleh partai-partai pendukung Jokowi mengesahkan revisi Undang-Undang KPK yang dinilai banyak pihak justru melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Revisi ini, yang dianggap terburu-buru dan minim partisipasi publik, membuat KPK kehilangan sebagian besar kewenangannya, termasuk dalam hal penyadapan dan penuntutan. Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, dan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memerangi korupsi pun merosot.

Sebagai contoh konkret mengenai banyaknya pelaku korupsi yang berasal dari partai politik, kita bisa melihat kasus yang terjadi pada Maret 2021. Juliari Batubara, seorang politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), terbukti melakukan korupsi dana bantuan sosial Covid-19. Juliari menerima suap sebesar Rp 17 miliar terkait pengadaan paket sembako untuk masyarakat terdampak pandemi. Meski terbukti bersalah, partai politik tempatnya bernaung tidak melakukan evaluasi yang tegas, sehingga kejadian serupa terus terulang. Kasus ini menunjukkan lemahnya internal kontrol dan evaluasi di partai politik, yang akhirnya merugikan rakyat.

Contoh lainnya dari Partai Golkar. Pada Desember 2020, mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, yang juga politikus dari Partai Golkar, divonis bersalah atas kasus korupsi proyek pembangunan PLTU Riau-1. Idrus Marham terbukti menerima suap sebesar Rp 2,25 miliar. Meski ada vonis ini, partai tempat Idrus bernaung juga tidak melakukan evaluasi yang signifikan, sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap sistem internal partai politik.

Selain itu, ada juga contoh dari aktivis yang terlibat korupsi setelah bergabung dengan partai politik. Pada tahun 2018, Adi Prayitno, seorang mantan aktivis mahasiswa dan anggota Partai Amanat Nasional (PAN), terlibat dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Kebumen. Adi Prayitno terbukti menerima suap sebesar Rp 2,5 miliar terkait proyek pembangunan sekolah di Kabupaten Kebumen. Kasus ini menunjukkan bagaimana idealisme yang dulu dimiliki seorang aktivis bisa terkikis setelah terjun ke dunia politik.

Partai-partai politik yang mendukung Jokowi seharusnya introspeksi dan ‘taubatan nasuha’. Mereka perlu lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara daripada mengejar keuntungan pribadi atau jabatan. Partai politik seharusnya jadi tempat pembinaan calon-calon pemimpin bangsa yang berkualitas dan berintegritas. Sayangnya, banyak oknum di partai politik yang justru terlibat kasus korupsi, merusak citra partai dan menurunkan kepercayaan publik.

Contoh konkret dari undang-undang kepartaian yang perlu direvisi adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Undang-undang ini kurang tegas dalam mengatur mekanisme sanksi bagi partai politik yang anggotanya terlibat korupsi. Selain itu, aturan mengenai transparansi keuangan partai juga masih sangat minim. Jika undang-undang ini tidak segera direvisi, dampaknya adalah partai politik akan terus menjadi sarang bagi pelaku korupsi, dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik serta sistem demokrasi akan semakin merosot.

Dari pengalaman dan pengamatan selama puluhan tahun sebagai aktivis, terlihat bagaimana idealisme aktivis sering kali tergerus setelah mereka masuk ke dunia politik. Banyak aktivis yang dulu berjuang demi kebenaran dan keadilan, kini kehilangan idealisme dan jadi ‘pendekar bisu’. Kata Bang Hariman Siregar (tokoh Malari 1974), “Aktivis adalah panggilan hati.” Aktivisme bukanlah profesi untuk mencari keuntungan atau jabatan, melainkan panggilan untuk berjuang demi rakyat dan bangsa.

Untuk itu, perlu adanya revisi undang-undang kepartaian agar partai-partai bisa jadi garda terdepan yang benar-benar membela kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Partai politik harus kembali ke fungsi dasarnya sebagai tempat pembinaan calon-calon pemimpin yang berintegritas dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat. Selain itu, partai politik harus transparan dalam keuangan dan tegas dalam menjatuhkan sanksi kepada anggotanya yang melakukan pelanggaran, terutama korupsi.

Harapan perubahan ini diharapkan bisa segera terwujud. Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya pandai berjanji, tetapi juga mampu mewujudkan janji-janji tersebut demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat.

End.