https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

KEPENTINGAN NASIONAL KEPENTINGAN SIAPA?

Nov 16, 2023

Oleh: Radhar Tribaskoro

Denny JA menulis lagi. Ia kembali membela “yang bayar”. Ia mengatakan bahwa sikap Jokowi yang meninggalkan kebijakan partainya dalam pilpres adalah hal yang lumrah. Seperti diketahui, partai PDIP telah mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sementara Jokowi memutuskan merestui keberadaan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto. Jokowi telah melawan kebijakan partainya, lumrahkah itu?

Denny JA mengatakan bahwa perbedaan seorang tokoh politik dengan kebijakan partainya adalah hal yang biasa dalam demokrasi. Hal itu terjadi di AS dan tidak menjadi aib. Dalam hal ini Denny JA mengutip sebuah frasa (yang tidak pernah terbukti disampaikan oleh) John F. Kennedy, bahwa “Kesetiaanku kepada partai berhenti ketika kesetiaanku kepada negara dimulai.” Melalui frasa di atas Denny ingin membangun kesan bahwa Jokowi meninggalkan PDIP adalah demi kepentingan bangsa. Benarkah demikian?

Kepentingan Negara yang Mana?

Tetapi siapa yang sesungguhnya setia kepada negara? Siapa bisa memastikan keputusan Jokowi mengusung Prabowo-Gibran adalah demi kepentingan negara? Gibran adalah putra Jokowi sehingga tidak ada yang salah ketika banyak orang menduga bahwa Jokowi mendukung Probowo-Gibran demi kepentingannya sendiri.

Bukan kali ini saja Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri. Ketika Gibran harus memby-pass keputusan akar rumput PDIP agar bisa dicalonkan menjadi walikota Solo, Jokowi menawari FX Hadi Rudyatmo (Ketua DPC PDIP Solo) jabatan Wakil Menteri PUPR dan kandidat terpilih PDIP Ahmad Purnomo jabatan komisaris utama BUMN. Secara umum cara Jokowi mengisi jabatan-jabatan pemerintahan sesuai dengan kepentingan pribadinya terjadi di sepanjang pemerintahannya. Bisa dipastikan bahwa banyak posisi di pemerintahan dan BUMN telah diisi sebagai kompensasi atas pemenuhan kepentingan Jokowi pribadi. Prinsip meritokrasi di pemerintahan pada era Jokowi sudah menguap entah kemana.

Dalam sistem demokrasi, apakah Presiden tidak boleh memiliki kepentingan pribadi? Apakah keputusan presiden tidak boleh ingkar sama sekali dari kepentingan negara dan rakyat?

Kepentingan Pribadi vs Kepentingan Negara

Presiden memiliki kepentingan pribadi adalah fakta. Selama presiden itu manusia, ia mempunyai kepentingan pribadi. Persoalannya adalah bagaimana presiden merealisasikan kepentingannya sendiri, sementara ia memegang jabatan tertinggi di suatu negara yang harus mendahulukan kepentingan (seluruh) rakyat dan negara, di atas kepentingan-kepentingan lainnya.
Sebagai contoh, mengangkat kawan politik ke dalam jabatan publik tidak dilarang oleh demokrasi, namun kontroversial karena berpotensi konflik kepentingan. Itulah yang terjadi ketika Jokowi merestui pengangkatan iparnya Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Anwar Usman nantinya akan terjebak dalam konflik kepentingan.

Demokrasi mengijinkan kabinet diisi oleh kawan politik karena kabinet merepresentasikan kelompok politik yang memenangkan pemilu. Namun mengisi jabatan di kementerian dan BUMN semata oleh kawan politik bersifat kontroversial. Seperti diketahui birokrasi dan BUMN adalah representasi dari keahlian (Max Weber, 1947), oleh karena itu keduanya juga merepresentasikan meritokrasi. Setiap lembaga memiliki sistem meritokrasinya sendiri, sebaiknya presiden tidak mengganggu sistem itu.
Namun sistem demokrasi tidak kontroversial dalam hal korupsi kekuasaan. Menurut definisinya korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok (Susan Rose Ackerman, 1999). Maka ketika Jokowi menawarkan jabatan Wamen kepada FX Hadi Rudyatmo sebagai kompensasi atas pencalonan anaknya Gibran sebagai calon walikota Solo, Jokowi jelas telah melakukan tindak korupsi. Ia telah menyalah-gunakan kekuasaannya (alokasi jabatan) untuk kepentingan pribadinya.

Dalam demokrasi Presiden diharapkan untuk selalu mendasarkan keputusannya pada kepentingan negara dan rakyat. Ini merupakan prinsip dasar dalam kepemimpinan demokratis yang bertujuan untuk melayani kepentingan publik, menjaga keadilan, dan memastikan pemerintahan yang baik.
Bagi penguasa sangat penting untuk memisahkan urusan pribadinya dengan urusan negara. Presiden, seperti pejabat publik lainnya, diharapkan tidak menggunakan posisi dan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi atau keluarga. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan dan korupsi, yang dapat merusak kepercayaan publik dan integritas sistem demokrasi. Presiden harus berpegang teguh pada prinsip integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Merealisasikan kepentingan pribadi atau keluarga melalui kekuasaan jabatan umumnya dianggap sebagai tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Lebih dari itu perilaku korup dan nepotisme itu mudah menular. Ikan membusuk dari kepalanya, kata Cicero politikus Romawi. Ketika presiden membentuk dinasti politik, maka semua gubernur, bupati, walikota dan politikus Indonesia akan mengikuti jejaknya. Dan demokrasi di Indonesia pun akan mati.
Bukankah dinasti politik itu telah terjadi dimana-mana? Jokowi hanya mengikuti jalan orang-orang sebelum dia.

Klan Politik vs Dinasti Politik

Klan atau keluarga politik bisa dibilang lumrah di negara demokrasi. John dan Robert Kennedy mungkin terinspirasi oleh kepiawaian berpolitik ayah mereka, Josep Kennedy. Demikian juga inspirasi dyang diberikan oleh Bush Sr kepada anak-anaknya Jeb dan Bush Jr. Tidak ada halangan bagi anak untuk mengikuti jejak orangtuanya. Klan politik adalah biasa.

Dinasti politik berbeda dengan klan politik. Kaum demokrat menolak dinasti politik karena dinasti (secara terminologis terkait dengan kekerabatan di dalam sistem kerajaan) mempergunakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) untuk memberikan karpet merah bagi anak dan kerabat penguasa. Kasus Gibran Rakabuming Raka misalnya, dapat dikategorikan sebagai manuver dinasti politik dimana tiket cawapres diperoleh melalui aneka bentuk penyalah-gunaan kekuasaan (korupsi), kolusi (persekongkolan dengan ketum-ketum partai0 dan nepotisme (perubahan aturan batas usia capres/cawapres oleh Ketua MK yang adalah paman Gibran).

Secara ringkas klan politik berbeda dengan dinasti politik, karena bila dinasti politik memberikan jabatan publik kepada anak dan kerabat dengan cara instan maka klan politik masih mewajibkan anak/kerabat bekerja keras untuk mendapatkan jabatan itu. Kuatnya tradisi demokrasi dan etika di internal partai politik sangat penting untuk menghindari terbentuknya dinasti politik.

Praktek dinasti politik Jokowi melahirkan pandangan yang ambivalen atas peranan Megawati (PDIP). Di satu sisi keteguhan Megawati menolak pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo meneguhkan reputasi Megawati dalam mengawal demokrasi Indonesia. Namun di sisi lain restu Megawati atas pencalonan Gibran dan Bobby (anak dan menantu Jokowi) sebagai calon walikota di Solo dan Medan, memudarkan reputasi itu.

Namun saya yakin pemilih Indonesia tidak akan ambivalen dalam menyikapi politik dinasti Jokowi. Keluarga Jokowi harus disingkirkan dari kancah politik Indonesia, sebagai bukti komitmen kita kepada pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepostime.

(Agt, Do/PM)