https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Kesetiaan Rizal Ramli

Sep 8, 2023 #Rizal Ramli

Oleh: Woworuntu Manalo

Kemandirian ekonomi versi Soekarno. Ekonomi kerakyatan Mohammad Hatta. Ada dalam jiwa konstitusi kita. Pada keduanya, Rizal Ramli memberi nafas kekinian. Dan, ujian sesungguhnya bagi intelektual adalah ketika mereka diberi kekuasaan.
 
Sudahlah terlalu sering kita saksikan. Orang yang kita muliakan, masuk kekuasaan, lalu memakai rompi oranye tersangka. Orang yang kita harapkan bernyali, masuk kekuasaan, lalu seperti hidup di kesunyian. Pelit bicara, untuk tidak menyebutnya membisu di hadapan kecurangan. Orang-orang yang berilmu, yang namanya diimbuhi ringkasan sekian gelar, tapi musuh utama dari kecerdasan itu adalah diri mereka sendiri. Watak yang terbius oleh segala hal yang serba mengoda. Uang dan pangkat.

Dua puluh lima tahun, semenjak Orde Baru tumbang pada 1998, kita memang sudah menikmati banyak kemewahan. Buah dari reformasi, yang direbut dengan babak belur dan kematian. Kebebasan pada banyak lini kehidupan. Dunia pendidikan kita seperti berlari. Dari ketertinggalan. Dari kegugupan kita di hadapan negara maju. Dan demi semua itu, kepada sekian pemimpin sesudah masa haru biru itu, kita patut membungkuk menghaturkan: terimakasih.
 
Tapi kita juga menyaksikan barisan orang yang kita percaya, termulia sekolahnya, termaha gelarnya, terduduk menunggu nasib di kursi terdakwa dengan muka bodoh. Terdengar seperti menyindir memang. Tapi miris saja rasanya. Masuk sajalah ke mesin pencari. Lalu ketik berapa jumlah professor – meski jumlah yang berhati baik sungguh jauh lebih banyak – yang terseret ke ruangan Yang Mulia. Karena mengeruk uang kita. Karena korupsi. Yang dibangku kuliah diajarkan bukan saja sebagai tercela tapi juga sebagai laku terdungu.

Dan cobalah kita cerna juga data berikut ini: hingga tahun 2021, dari 1298 koruptor di Indonesia, sekitar 86 persen adalah lulusan perguruan tinggi. Data ini sungguhlah ramai diberitakan media massa kita pada Oktober 2021. Terdengar seperti mengejek tapi, juga penuh rasa cemas.
Data ini memang bisa dibaca dengan beragam cara. Kalau kita letakkan angka itu dalam data lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya sekitar 17 juta orang, secara persentase cuma sekitar 0,00001 persen. Artinya berjuta sarjana lain masihlah berwatak luhur. Dan kepada mereka inilah kita menaruh mimpi. Tentang masa depan anak dan cucu.

Tapi bila kita letakkan laku seribu lebih para sarjana itu pada daya rusak terhadap sistem dan bangsa, jika gagal dihentikan, dia bisa mewarisi watak. Juga kepada anak cucu kita. Lagipula, sungguh patutlah kita mengira bahwa para sarjana itu tentu mungkin punya kedudukkan lebih tinggi di perusahaan, swasta atau milik negara, pada birokrasi, pada kekuasaan, ketimbang lulusan jenjang di bawahnya.
 
Pada kemungkinan itulah mereka lebih punya wewenang, lebih berilmu meriasi pembukuan, menghitung angka, menyiasati peraturan, kemampuan berjejaring, jurus berkelit, dan dengan asumsi itu mereka lebih mungkin menjadi pemandu sekaligus pelukis yang membentuk wajah suram negeri kita dan lulusan jenjang dibawahnya adalah barisan pengekor.

Memang mungkin benar juga bahwa lulusan perguruan tinggi belumlah tentu intelektual by definition, tapi setidaknya mereka lebih memiliki potensi intelek untuk berpikir nalar ketimbang lulusan putih abu-abu. Dengan semua asumsi itu, maka pelajaran budi pekerti bersama ilmu pengetahuan yang lain, terasa begitu penting diinjeksi kembali masuk ruang sekolah hingga bangku kuliah kita, bahkan hingga jenjang terakhir.

Kaum cerdik pandai yang masuk kekuasaan lalu melakukan korupsi, masuk penjara, serta pulang membawa gelar terakhir sebagai mantan napi, yang bersemedi di dalam kekuasaan dan diam melihat aneka kecurangan, yang menginfus logika pada kekuatan buruk, itulah yang disebut oleh intelektual Prancis Julian Benda sebagai betrayal of intellectual. Pengkhianatan kaum intelektual. Ilmu dibaktikan demi diri dan sekutu yang buruk, yang bikin wajah negara jadi terlihat begitu nestapa.

Seribu lebih kaum terdidik yang tersuruk ke jeruji besi itu datang dari beragam profesi. Birokrat, professional, pengusaha, dosen, serta juga para wakil rakyat yang kita pilih dengan penuh mimpi di tempat yang paling keramat serta paling intim antara kita dengan proses demokrasi: bilik suara.
 
 
Tapi wajah buruk itu, tentulah tidak sanggup membunuh mimpi kita. Sebab masih begitu banyak tokoh, intelektual yang tulus, dan lantang menunjuk orang-orang yang gemar menumpang di kecurangan, serta berbakti sekuat-kuatnya untuk kita. Dan, sejarah kita juga mewarisi begitu banyak tokoh yang pantas digugu dan ditiru. Kita sebut beberapa saja. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, serta begitu banyak nama dari generasi para founding fathers.

Dari generasi sesudahnya kita juga diwarisi sekian sosok yang layak dijadikan suluh. Kita sebut beberapa saja. Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Baharruddin Lopa, dan kita bisa memperpajang daftar ini hanya dengan memeriksa jejak. Jejak bicara pada perbuatan. Jejak kata pada laku.
 
Rizal
Pada masa kita ini juga banyak. Para sosok setia itu. Tugas kita adalah memberi mereka jalan. Kita tentu bisa menulis sekian tokoh itu. Dan jika tulisan ini membahas tentang Rizal Ramli, itu semata karena dia adalah satu dari sedikit tokoh yang hidupnya terbilang paling meliuk dan apinya tetap menyala. Yatim piatu. Lantang di jalanan. Dikerangkeng di jeruji besi. Terbang jauh ke negeri orang. Pulang membawa gelar doktor. Masuk kekuasaan dan tetap berseru tentang keganjilan, meski oleh karena itu dia memikul hujatan para pembenci.

Rizal yatim semenjak belia. Tumbuh bersama kakek dan nenek. Himpitan ekonomi seperti menjadi roda pemutar hidupnya. Dia menjadi penterjemah semenjak berseragam putih abu, dan itu tidak saja menuntut kecerdasan tapi juga kesetiaan, dari godaan gaya hidup untuk remaja seusia pada masa itu. Tabungan dari menekuni kata itulah yang disetorkan Rizal saat pertama kali masuk di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di kampus itu Rizal menjadi aktivis. Masuk penjara karena menyingkap wajah asli kekuasaan yang dibedaki angka, lalu sekolah hingga meraih gelar doktor ekonomi di Amerika Serikat, menjadi peneliti yang kritis, aktif dalam gerakan civil society, menulis banyak buku juga di halaman surat kabar, menjadi Kepala Bulog – badan yang pada masa lampau diberitakan media massa menggerus banyak hal yang kita tanakkan ditungku api -, menjadi menteri yang kursinya diimpikan sekian orang, sekian jabatan lain yang diimpikan pada hari tua, serta hingga hari ini kita tetap melihat seorang Rizal yang datang dari masa silam. Terbuka. Kritis. Menonjok mereka yang mencurangi kita.

Pada jaman yang serba “dijari” ini, sudahlah begitu gampang kita menelusuri jejak sesorang. Juga jejak Rizal Ramli. Dari pikiran, dari gagasan dia tentang kita, yang membentang sepanjang usia, pada berbagai buku, materi ilmiah, surat kabar, layar telivisi, hingga cericitnya di lini massa hari-hari ini, yang entah kita sukai atau tidak. Lalu dari situ memeriksa tindakannya. Bukankah jejak adalah residu hidup, yang dari sana kita bisa menentukan seseorang layak dilupakan atau dirindukan.
 
Politik
Meski tak pernah bergabung dalam partai politik apapun, Rizal sesungguhnyanya punya jejak yang benderang dalam politik Indonesia. Kita mundur ke 45 tahun silam. Ketika Rizal masih menjadi mahasiswa di ITB, kampus yang melahirkan banyak pejuang kemerdekaan sebesar Soekarno, ilmuwan cerdas seperti Bacharuddin Jusuf Habibie, pakar teknologi, pengusaha, bankir, wartawan, dan juga begitu banyak para aktifis.

Rizal muda aktif di Dewan Mahasiswa. Itu tahun 1978, ketika kekuasaan Orde Baru berotot besi. Bersama sejumlah kawannya, dia aktif memprotes kebijakan politik yang otoriter, yang melumpuhkan daya kritis, kecurangan mengelola negara, serta perselingkuhan antara politik dan kekuatan uang. Rizal ikut memimpin para mahasiswa bergerak ke jalan kota.


Tapi itulah jaman, di mana berbisik saja bakal sampai juga ke telinga kekuasaan yang gampang marah.

Kekuasaan yang baperan, dan anak-anak muda ini malah berpekik di jalanan. Sudah tentulah itu bersiko. Bersama sejumlah kawannya Rizal ditangkap. Nasib mereka disandiwarakan di ruang pengadilan. Untuk ujungnya diangkut ke bilik bui di Sukamiskin.


Rizal dan sejumlah kawannya yang disurukkan ke jeruji besi itu, tidak hanya memiliki nyali, tapi juga peta masalah, kritikan terhadap liberalisasi, serta bentangan gagasan tentang masa depan bangsanya. Gagasan anak-anak muda ini sangat rinci dan begitu terang diuraikan dalam Buku Putih Perjuangan Mahasiwa 1978. Rizal ikut menulis di situ.

Buku itu cepat berpinak. Melaju ke banyak negara. Dalam delapan bahasa. Adalah Benedict Anderson seorang Indonesianis, professor dari Cornell University, tempat sejumlah intelektual Indonesia menimba ilmu, yang menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Inggris. Ben Anderson menyebut betapa pentingnya buku ini, sebab kata dia, itulah untuk pertama kali kritik terhadap pemerintahan Orde Baru disusun secara sistematis (Anderseon &Ecklund 1978).

Selepas dari penjara, Rizal sempat ke Jepang. Lalu berangkat ke Boston di Amerika Serikat. Di sana dia merampungkan jenjang S2 dan doktoral dalam bidang ekonomi. Sembari tekun di bangku kuliah, dia terus mengasah ketajaman pikiran dengan menulis di sejumlah media massa, nasional dan internasional. Juga menulis sejumlah kajian ekonomi yang penuh angka dan data.

Pulang ke Indonesia, bersama sejumlah kawannya Rizal mendirikan Econit, sebuah lembaga yang pada masa itu jitu menganalisis nasib ekonomi, jeli menghitung dampak ekonomi dari setiap kebijakan yang diproduksi dari ruang politik. Jika hari ini kita sering mendengar Rizal bicara soal neoliberalisme, itu bukan sesuatu yang muncul karena ruang demokrasi memberinya kesempatan untuk bercericit.


Kritik terhadap liberalisasi sudah disuarkan Rizal semenjak kuliah, ketika demokrasi dikurung otoritarianisme dan otot mengepal kepada setiap kepala yang kritis.

Dua puluh enam tahun silam, bersama seorang kawannya dia menulis buku tentang Agenda Aksi Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia. Buku itu ditulis 1997. Ketika ekonomi Indonesia sedang demam, dan International Monetary Fund(IMF) datang membawa resep, yang ditentang keras Rizal pada saat itu, karena kata dia, resep itu bakal melecut penyakit baru. Dan kemudian kita tahu, demam ekonomi itu memantik kisruh sosial politik.
Masa murung itu sudah jadi sejarah, dan hari ini kita hidup di masa demokrasi. Tapi liberalisme dengan nomenklatur baru neoliberalisme, tetaplah berkemungkinan mengurung ekonomi, mengurung politik, dan pada akhirnya mengurung kita. Rumusan persaingan bebas, kata Rizal, tentulah menyulitkan rakyat yang miskin modal dan pengetahuan.

Persaingan juga, lanjut dia, sesungguhnya tidak benar-benar bebas, oleh karena pada kebebasan itu terbuka jalan perselingkuhan antara politik dan uang, yang memungkinkan regulasi lebih berpihak kepada pemilik modal.
Ongkos politik yang begitu mahal, katanya, memberi jalan bagi pemilik uang menanam saham dalam proses politik, lalu memetik deviden dari proyek dan juga dari kebijakan. Dominasi uang dalam politik, kata Rizal, tidak hanya mengebiri demokrasi dari substansial menjadi sekedar prosedural, tetapi juga punya kemungkinan, “Menuntun orang kepada perilaku koruptif. “


Dalam sebuah tulisan pada laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditayang tanggal 17 Februari 2023, yang berjudul Waspadai Politik Uang, Induk dari Korupsi, Amir Arief-Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi KPK – menggarisbawahi apa yang disebutnya sebagai investive coruption alias investasi untuk korupsi, yang berhulu dari mahalnya biaya politik itu. Donasi dari berbagai pihak bukanlah makan siang gratis, tapi datang bersama harapan imbal balik. Gantian traktir.
Bahaya dominasi uang dalam proses politik, sudah sering dikaji, dan diteliti oleh para ilmuwan kita. Gagasan dan juga kecemasan mereka, bertaburan di media massa, buku, dan berlembar-lembar materi riset. Buku Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014 (Edward Espinall /Mada Sukmajati-2015), memberi gambaran kepada kita tentang bagaimana patronase dan klientelisme bekerja dalam pemilihan para calon anggota legislatif. Patronase itu datang dalam wujud pembelian suara, sumbangan natura, aneka layanan sosial, serta pemakaian uang publik demi meraih suara.

Survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Pemilu tahun 2019, menemukan betapa kerusakan itu merembes ke lapis bawah. Merembes kepada kita-kita yang memilih. Survei itu menemukan bahwa banyak pemilih yang memandang pesta demokrasi kita sebagai “ajang bagi-bagi rejeki.” Dari survei itu ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta Pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih pemberi uang. Sementara 37 persen responden yang menerima, mengaku mempertimbangkan akan memilih para pemberi.
Dalam sebuah webinar bertajuk Sekolah Demokrasi, yang digelar LP3ES-KITLV-Undip, dan PPI Leiden Juni 2022, yang bertajuk Mendorong Kelahiran Pemimpin Alternatif Hasil Pemilu 2024, politik uang ini dinilai telah merusak demokrasi kita. Peneliti KITLV Leiden, yang juga seorang guru besar Amsterdam University, Ward Berenschot, memaparkan bahwa tantangan demokrasi di Indonesia masih seputar tingginya tingkat korupsi, partai politik, dan juga oligarki.

Oligarki dan politik. Dan bahaya bila keduanya bersekutu, sesungguhnya sudah lama diingatkan oleh Rizal Ramli. Sebab bila keduanya bersekongkol, daya keruknya lebih dalam. Keuntungan finansial dari pertalian itu, kata dia, belumlah seberapa besar. Yang paling jumbo diraup bila oligarki bisa mempengaruhi kebijakan. Inilah yang disebut Rizal sebagai bisnis kebijakan, yang sesungguhnya juga menyangkut hidup kita, anak, dan cucu.

Tapi kita semua menyadari bahwa politik memang memerlukan ongkos. Itu sebabnya, jauh sebelum orang ramai berkeluh kesah soal bahaya oligarki yang mendanai politik, Rizal Ramli sudah mengusulkan agar negara ikut membiayai partai politik. Pada sebuah acara di Jakarta tahun 2013, dia mengusulkan agar negara mendanai partai lewat undang-undang tentang keuangan partai politik, seperti yang dilakukan sejumlah negara demokrasi. Keluar masuk uang bisa pula diaudit.
Dengan begitu negara punya tangan untuk menjangkau partai politik. Kalau sebuah Partai politik endemik korupsinya, kata Rizal yang pernah menjadi penasihat ekonomi Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) DPR-RI itu, maka negara berhak membubarkannya. Banyak negara memilih jalan ini. Jerman, misalnya, mendanai partai politik lewat Undang-Undang Keuangan Partai Politik. Dana dari negara itu mencegah dominasi pemilik modal dalam politik.
Pada webinar Sekolah Demokrasi itu, selain soal korupsi dan oligarki, para ilmuwan yang hadir sebagai pemateri, juga memaparkan sekian hal yang menyulitkan demokrasi di Indonesia. Termasuk kesenjangan ekonomi. Kesenjangan itu sungguh memungkinkan demokrasi yang kita anggap suci itu, gampang terpeleset menjadi pasar jual beli suara.

Dari sekian tokoh nasional kita, barangkali Rizal adalah satu dari sedikit yang paling sering bicara soal kesenjangan ekonomi ini. Kita bisa berselancar di jagat maya dan mencari tahu semenjak kapan dan seberapa sering dia bicara tentang kesenjangan, tentang sebab, tentang sekian bahaya yang mengintip dibaliknya, dan tentang sekian upaya menekan tingkat kesenjangan itu.  
 

Jatuh cinta pada Albert Einstein semenjak belia, semula Rizal hendak mengikuti jejak pria kelahiran Jerman itu, yang disebut dunia sebagai sebagai fisikawan terhebat sepanjang masa. Demi mengikuti jejak Einstein, Rizal masuk di jurusan Fisika ITB.
Meski kemudian dia memutar kemudi dengan menekuni bidang ekonomi, kecintaannya pada fisika dan juga matematika, memungkikan Rizal terbiasa dengan teori dan hitungan yang bagi kebanyakan kita terbilang rumit. Orang yang senang matematika, kata Rizal, “Terbiasa mencari jalan keluar.”

Ilmu ekonomi yang dipelajari dari ruang kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat, serta berbilang tahun menekuni dunia penelitian, mengasah ketajamannya dalam menyelami makna dari susunan angka, rinci membaca bilangan dari himpunan data, membaca arah, menghitung dampak dari sebuah kebijakan terhadap landscape ekonomi, melihat baik buruk, lalu menemukan jalan keluar.
Jika kita ingin menyelami pikiran Rizal tentang ekonomi, kita harus mundur kembali ke tahun 1978. Buku Putih, yang ditulis bersama sejumlah kawannya dan diluncurkan di Gerbang Kampus ITB pada 16 Januari 1978 itu, secara terbuka mengkritik strategi pembangunan, yang disebut oleh anak-anak muda ini bukan saja tersesat, melimitasi partisipasi, tapi juga menaruh rakyat di ruang tunggu. Menunggu tetesan yang dijanjikan pertumbuhan. Pada model ini, nasib rakyat sulit melompat.

Pada ruang politik yang didominasi kapital, pemerataan yang diamanatkan konstitusi, berkemungkinan menjelma menjadi bahan bualan paling abadi. Prinsip selfishness yang dibawa kapitalisme, jika berkelindan dengan persaingan yang tidak sehat, bakal memperlebar kesenjangan, dan berpeluang memantik persoalan sosial, serta sungguh mungkin berakhir menjadi malapetaka politik.
 
Dari kejauhan masa silam itu, Rizal dan kawan-kawannya mengintrodusir ekonomi konstitusi. Yang asal muasalnya diramu dari gagasan Soekarno tentang ekonomi berdikari, dan ekonomi kerakyatan, terminologi yang dipakai Mohammad Hatta pasca kolonial. Gagasan mulia dua pendiri bangsa itulah yang dirumuskan secara benderang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar kita. Rizal memberi nafas kekinian dari gagasan dasar dua pendiri bangsa itu, dan memberi tekanan kemuliaannya bagi manusia, yang tidak begitu terlihat dari prinsip individualistik kapitalisme.


Indikator ekonomi kerakyatan, kata Rizal, adalah human development index/indeks pembangunan manusia. Mengukur status gizi, kesehatan yang terekam dalam usia harapan hidup, status pendidikan, prevalensi penyakit, yang semuanya diukur secara kuantitatif. Angka pertumbuhan ekonomi yang lazim dipakai dalam rumusan konvensional, kata dia, menyembunyikan sisi tergelapnya; ketimpangan distribusi pendapatan. Melajunya angka pertumbuhan bisa bersamaan dengan melajunya indeks rasio gini, angka yang dipercaya sebagai rujukan bagi ketimpangan distribusi pendapatan.

Dalam berbagai kesempatan Rizal kerap kali menyuarakan soal ketimpangan ini, sebab bagi dia, ketimpangan yang kian lebar kerapkali meninggalkan masalah sosial, yang bisa berujung pada kirsuh sosial. Dengan memacu human development index, itu seperti memvaksin rakyat dengan segenap hal yang diperlukan untuk berkembang. Kemampuan itulah, asal akses terhadap kesempatan dan sumber daya terbuka, yang akan memperkecil ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Rizal sungguh yakin bahwa upaya menekan ketimpangan itu adalah salah satu cara terbaik meminimalisir masalah sosial. Itulah sebabnya, ketika dipercaya menjadi Menteri Kordinator Perekonomian oleh Presiden Gus Dur, orang yang disebut Rizal sebagai guru kehidupannya, tim ekonomi yang dipimpin Rizal berusaha sekuat tenaga menekan ketimpangan itu.


Semenjak era Orde Baru, indeks rasio gini kita selalu tinggi. Pemerintahan Abdurrahman Wahid berhasil menekan angka indeks itu menjadi 0.31 persen dari 0,37 persen pada tahun 1999. Secara sederhana bisa dipahami bahwa makin mendekati nol angka indeks itu, distribusi pendapatan ekonomi makin merata. Anda bisa melakukan riset sendiri, jika ingin membandingkan ketimpangan pada setiap pemerintahan, termasuk sesudah masa Gus Dur itu, hingga tahun lalu. Cobalah cerna angka-angka itu.
Rizal meyakini bahwa salah satu sebab melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan itu, lantaran proses ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, serta kebijakan yang terkadang lebih menguntungkan pemilik modal. Liberalisasi ekonomi, kata Rizal, menyulitkan kita menjalankan amanat “kemandirian” dari Soekarno, dan “kerakyataan” dari Hatta.  

Mungkin itulah sebabnya, Rizal terhitung cukup sensitif dengan segala hal yang datang dari lembaga asing, seperti International Monetary Fund (IMF). Ketika ekonomi Indonesia sedang demam tahun 1998, beberapa ekonom diundang pemerintah membahas soal kerjasama dengan IMF. Rizal ikut diundang. “Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan akan makin buruk kalau IMF diundang masuk,” kisah Rizal kepada wartawan di kemudian hari, Minggu 18 April 2021 di Jakarta.

Sikap keras terhadap IMF itu terus berlanjut setelah Rizal dipercayakan oleh Gus Dur menjadi Menko Perekonomian. Dia mengkritik keras cara kerja lembaga itu. Dalam wawancara dengan stasiun TVRI yang bertajuk Dialog Percepatan Ekonomi Bersama Presiden Abdurrahman Wahid, Selasa 3 Juli 2001, Gus Dur memastikan bahwa kerjasama dengan IMF tidak perlu dihentikan, tapi lembaga itu harus diperbaiki. IMF, kata Gus Dur, kelewat kaku dalam memulihkan krisis. Kekakuan itu, kata Rizal, datang dalam wujud tekanan, termasuk mengarahkan regulasi yang belum tentu senapas dengan prinsip dasar kita sebagai bangsa, termasuk kemandirian yang digagas Soekarno.

Dan kita masih ingat ketika Rizal didapuk oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kordiantor Bidang Kemaritiman dan secara terbuka menyebutkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan menjadi sulit oleh karena apa yang dia sebut sebagai pengpeng. Penguasa sekaligus pengusaha. Tentu Rizal tahu bahwa Presiden Jokowi mulia dan berhati tulus, tapi orang-orang yang merangkap sana sini itu berkemungkinan mendorong kebijakan tidak lagi sepenuhnya untuk kita.

Rizal juga mengkritik keras, sejumlah proyek yang digeber meski simulasi angka terlihat kurang masuk akal. Begitu duduk di kursi menteri, dia mengejutkan kita lantaran secara terbuka menyebutkan proyek listrik 35 ribu megawatt bakal merugikan Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Mungkin bukan soal substansi kritiknya, tapi pada posisi Rizal yang menjadi seorang menteri, Menko pula, tapi secara terbuka menyampaikan sesuatu yang oleh setiap penghuni kekuasaan lazim dianggap tabu.
 
Tapi Rizal memang selalu berpikir out of the box. Di luar segala hal yang lazim itu. Karena masalah kita sudah akut dan menurut Rizal tak bisa lagi memakai solusi yang lazim. Jika dia berpekik, dia sesungguhnya sedang mengundang perhatian kita semua, akan sebuah bahaya yang menunggu di depan. Tapi kita mungkin sudah terbiasa juga dengan kelaziman, lalu menyebut Rizal sebagai pembuat kegaduhan, dan kita abai menyelam lebih dalam dari hitungan angka yang dia suguhkan.

Target sebesar 35 ribu megawatt itu, kata dia, tidak realistis. Terlampau tinggi serta bakal tinggi pula beban keuangan yang dipikul oleh perusahaan negara itu. Angka yang realistis, kata Rizal, adalah 17 ribu hingga 18 ribu megawatt. Dan bila pemerintahan Jokowi sanggup membangun 17 ribu megawatt, itu sudah prestasi yang terbilang luar biasa, sebab lanjutnya, “Dalam sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hanya mencapai 10.200 megawatt.”
Apakah Rizal keliru berhitung? Atau asal bicara? Tidak sulit menjawab pertanyaan ini. Masuk saja ke jagat mesin pencari. Ketik kata kunci yang spesifik: PLN terlilit utang. Kita akan disajikan urutan indeks berita tentang beban utang perusahaan pelat merah itu. Dari situ kita bisa menilai Rizal keliru atau tidak.

Pada Rabu, 27 September 2017, media massa nasional ramai memberitakan soal peringatan Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani, bahwa PLN terancam bangkrut jika tarif listrik tidak dinaikkan. Penyebabnya, kata Sri Mulyani, karena PLN memiliki banyak utang baik dari perbankan, obligasi, ataupun lembaga keuangan internasional untuk membiayai program 35 ribu megawatt. Pernyataan itu disampaikan setahun lebih setelah Rizal berhenti menjadi menteri, Juli 2016.

Kita tentu masih ingat juga dengan kehebohan soal Garuda, yang oleh sekian orang disebut sebagai kegaduhan, lantaran dari dalam kekuasaan Rizal bicara secara terbuka. Soal rencana pembelian pesawat A350. Kita mungkin terperanjat karena Rizal menyampaikan kritik itu hanya berselang sehari setelah dia dilantik menjadi Menko Kemaritiman, 12 Agustus 2015.

Sebagaimana PLN, sentilan Rizal soal Garuda juga ramai ditulis media massa kita. Sebuah media massa nasional, menulis dengan judul: “Gebrakan” Pertama Rizal Ramli: Garuda Indonesia Didesak Batalkan Pembelian Airbus A350. Media itu mengutip cerita Rizal bahwa sepekan sebelumnya dia bertemu Presiden Jokowi dan kepada atasannya itu, Rizal meminta tolong agar memperhatikan layanan.
Rizal sungguh mencintai Garuda dan kepada wartawan dia menegaskan, “Saya tidak ingin Garuda bangkut, karena sebulan yang lalu dapat pinjaman 44,5 miliar dollar untuk rencana pembelian pesawat A350.” Rizal keberatan lantaran rencana itu kurang taktis. Pesawat jenis itu, lanjutnya, “Hanya cocok untuk penerbangan Jakarta ke Amerika Serikat,” sebagaimana dikutip media itu dalam berita tanggal 13 Agustus 2015.


Rute internasional itu, lanjutnya, kurang menguntungkan bagi Garuda lantaran keterisian hanya 30 persen. Angka itu sulit melompat lantaran rute ini dikuasai Singapore Airlines, Emirates, Qatar Airlines dan sekian maskapai yang keuangannya kinclong dengan layanan premium. Lebih baik, kata Rizal, Garuda fokus dulu pada penerbangan domestik dan regional. Jika pada kedua pasar ini sudah kuat, Garuda bisa ekspansi ke pasar internasional.
 
Rencana pembelian Garuda A350 itu kemudian memang batal, diganti dengan pesawat jenis lain. Tapi Rizal sesungguhnya bicara tentang manajemen dan strategi pengelolaan bisnis. Entah di dengar atau tidak, yang kita baca dari halaman media massa sekian tahun sesudah itu, adalah cerita tentang Garuda yang tersengal dihimpit hutang. Diambang kejatuhan, sebelum kemudian diselamatkan oleh Menteri Badan Usaha Negara (BUMN) yang baru, Erick Thohir, lewat renegosiasi hutang, sebuah langkah yang disarankan dan disanjung oleh Rizal Ramli.

Kita mungkin terkadang tidak suka dengan cara Rizal menyampaikan sesuatu. Cara terbaik memahami dia adalah dengan menyelami substansi, juga situasi kontekstual dari setiap kata-katanya. Dia sering bilang, “Jika tikus sudah memasuki sawah, maka berpekik dari hamparan padi adalah cara yang paling mungkin untuk memberi efek kejut.” Memburu dengan sekuat tenaga, selain berkemungkinan merusak padi, mereka sudah terlatih berlindung, terlatih bersembunyi hingga lubang yang tak pernah kita bayangkan.

Ya, tentu saja hak kita untuk tidak setuju. Atau tidak suka dengan cara Rizal Ramli itu. Tapi mungkin juga banyak yang suka. Kita yang tidak suka mungkin jenggah dengan dampak kegaduhannya. Tapi mereka yang suka, mungkin memahami cara itu ketimbang tidak melihat kebenaran.

Bukankah rombongan burung emprit, yang bersembunyi mematuk padi dalam keheningan, bakal terbang lari begitu pemilik sawah berpekik mengusir?

Rizal memang pribadi yang langka. Juga unik. Dia adalah orang yang merendah suaranya, berhenti sejenak, tertegun, ketika berbicara tentang orang-orang yang dikalahkan oleh kecurangan. Tapi suaranya sontak meninggi ketika dia bicara soal Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi (KKN), penyakit yang disebut Rizal membuat bangsa kita sulit melompat lebih tinggi. Jika bicara tentang orang-orang yang menumpang dikecurangan itu, yang kita lihat adalah Rizal yang datang dari masa lampau. Nonjok abis.

Dan jika hingga hari ini Rizal masih merawat kesetiannya, itu mungkin bukan hanya demi menghormati masa lalunya sendiri, menghormati sekian sahabatnya dari masa 1978, menghormati gagasan Soekarno dan Hatta dari hampir 78 tahun silam, tapi itulah mimpinya tentang kita hari ini, mimpinya tentang masa depan anak dan cucu kita.

TIDORE, 1 Juni 2023

(Agt/PM – The Activist Cyber)