Oleh: Radhar Tribaskoro
Rusia: Diplomasi Harga Pas
Sejak 2008, Vladimir Putin menegaskan bahwa ekspansi NATO ke timur adalah ancaman eksistensial bagi Rusia. Tuntutan yang ia sampaikan konsisten: Ukraina tidak boleh bergabung dengan NATO, Ukraina harus netral, dan Ukraina harus terbebas dari kelompok neo-Nazi. Ditambah lagi, wilayah yang telah direbut Rusia dalam konflik tidak akan dikembalikan—sebuah “kenyataan medan tempur” yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tuntutannya.
Diplomasi Rusia berbentuk harga pas: tidak lebih, tidak kurang. Apa yang disuarakan di ruang publik sama dengan yang ditegaskan dalam meja perundingan. Putin menolak menutupi tujuan strategisnya dengan bahasa diplomatis yang berlapis-lapis. Inilah yang membuat Rusia tampak kaku, bahkan digambarkan sebagai tuli dan buta dalam perundingan Istanbul. Namun, dari perspektif Moskow, konsistensi adalah kebenaran—sebuah kepastian yang menjadi basis legitimasi.
*Barat: Diplomasi Inflasif*
Sebaliknya, Barat cenderung membungkus kepentingan strategis dengan narasi normatif: demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia. Narasi ini bersifat inflasif, diperluas hingga melampaui fakta dasar. Ada sebagian kebenaran di dalamnya, tetapi selalu dilapisi persepsi, framing, dan retorika moral.
Ketika NATO memperluas keanggotaannya, alasan yang dipakai bukan dominasi geopolitik, melainkan “perlindungan negara kecil dari ancaman Rusia.” Ketika Amerika Serikat mendukung kudeta 2014 di Ukraina, narasinya adalah “revolusi rakyat demi demokrasi,” meskipun dari sisi Rusia hal itu jelas intervensi yang meruntuhkan pemerintahan sah. Dengan cara ini, Barat tidak menawarkan harga pas, tetapi menambahkan “bunga naratif” yang membuat posisi tawarnya tampak lebih kuat.
*Pola Diplomasi Masa Depan*
Pertanyaannya: apakah perbedaan ini hanya khas konflik Ukraina, atau akan menjadi pola diplomasi global ke depan?
Ada tanda bahwa pola ini akan berulang. Rusia dan Tiongkok cenderung menyampaikan diplomasi harga pas, berbasis kalkulasi keras kepentingan nasional dan fakta di lapangan. Sebaliknya, Barat terus mengandalkan narasi normatif untuk memperluas legitimasi internasional, meski acap kali narasi itu melampaui realitas. Dengan begitu, dunia multipolar ke depan akan diwarnai benturan dua gaya diplomasi: satu yang keras dan lugas, satu lagi yang lentur namun sarat inflasi retorika.
*Sikap Tegas Indonesia*
Indonesia, dalam menghadapi dunia multipolar, tidak boleh terjebak pada narasi inflasif Barat, tetapi juga tidak harus ikut serta dalam garis keras “harga pas” Rusia. Praktik diplomasi Indonesia dalam beberapa isu global memberi gambaran menarik:
1._Laut Cina Selatan._
Indonesia tidak masuk sebagai pihak klaim, namun menegaskan kedaulatan di Natuna. Sikap kita harga pas: tidak menerima sembarang klaim historis Tiongkok yang melanggar UNCLOS, tapi juga tidak terjebak narasi “ancaman Tiongkok” ala Barat. Konsistensi ini memperlihatkan pola Rusia, tetapi dengan bahasa yang lebih halus.
2._Palestina._
Dalam isu Palestina, Indonesia menggabungkan keduanya: harga pas berupa konsistensi dukungan pada kemerdekaan Palestina sesuai konstitusi, tetapi juga menggunakan narasi normatif HAM, keadilan, dan anti-apartheid. Inilah salah satu contoh di mana Indonesia tampil sebagai honest broker—konsisten sekaligus moral.
3 _. Perang Ukraina._
Indonesia menolak invasi Rusia, tetapi tidak menjerumuskan diri ke narasi inflasif Barat yang menyalahkan satu pihak. Dalam G20 Bali, Indonesia berhasil membawa Zelensky dan Lavrov dalam forum yang sama, lalu mengedepankan narasi “perdamaian dan solidaritas global.” Di sini terlihat bahwa diplomasi kita tidak kaku seperti Rusia, namun juga tidak mengulang retorika inflasif Barat.
*Penutup*
Diplomasi harga pas Rusia memberi pelajaran tentang konsistensi, sementara diplomasi inflasif Barat menunjukkan kekuatan narasi dalam membangun legitimasi. Dunia ke depan kemungkinan besar akan terus diwarnai benturan dua gaya ini. Indonesia perlu bersikap bijak: menjaga kepentingan nasional dengan konsistensi, seperti dalam kasus Natuna; memperkuat legitimasi moral dengan narasi normatif, seperti dalam isu Palestina; dan tampil sebagai penyeimbang aktif, seperti dalam forum G20 terkait Ukraina.
Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam pertarungan dua gaya diplomasi dunia, tetapi bisa tampil sebagai kekuatan yang menawarkan jalan tengah: diplomasi yang harga pas sekaligus bermakna normatif, diplomasi yang konsisten sekaligus memberi legitimasi moral.
Cimahi, 27 Agustus 2025
(Do, Agt/PM)