PikiranMerdeka.com – Ketua DPR-RI, LaNyalla M Matalitti hadir sebagai keynote speaker dalam acara Sarasehan Kebangsaan yang digelar di Rumah Kebangsaan Syarika Islam di Jl Taman Amir Hamzah, Jakarta, Minggu (14/8/2022).
Dia mengingatkan, pengelolaan public goods yang sesungguhnya dan sesuai dengan Pancasila telah tercantum dalam UUD 1945 naskah asli.
Karenanya ia meminta agar UUD 1945 dikembalikan ke naskah aslinya, asannya amandemen keempat yang dilakukan pada 1999-2000 berimplikasi pada komersialisasi barang publik (public goods) yang bukan hanya melenceng dari semangat kemerdekaan tetapi tidak sesuai dengan ajaran Islam.
“Konsepsi tersebut sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam,” paparnya, dalam pidatonya yang berjudul Ekonomi Keadilan itu.
Nampak hadir sejumlah tokoh dalam kegiatan sarasehan yang dimoderatori Refli Harun itu, diantaranya cucu pendiri KH Wahab Chasbullah yakni Gus Aam, politisi Partai Gelora Dedi ‘Miing’ Gumelar, Presiden Pimpinan Pusat Syarikat Islam, Hamdan Zoelva, Sekjen Syarikat Islam, Ferry Juliantono, Ekonom Faisal Basri, dan pengamat politik Rocky Gerung.
LaNyalla melanjutkan bahwa penguasaan public goods kini hanya dikuasai segelintir orang atau kelompok tertentu. Padahal tujuan bangsa ketika memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam keadilan sosial.
Seperti misal Pasal 33 UUD 1945 dalam naskah asli masuk dalam Bab Kesejahteraan Sosial, yang tercangum pada Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3), bahwa norma dari penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara yang harus dikuasai negara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Namun faktanya kini dikomersilkan.
“Tetapi komoditas publik yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang di dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 naskah asli, sudah dihapus total sejak Perubahan UUD di tahun 1999 hingga 2002 silam,” ungkap senator asal Jawa Timur.
“Sehingga Pasal 33 bisa ditambah 2 ayat lagi, yaitu Ayat 4, yang kalimatnya tidak karu-karuan dari segi tata bahasa, sekaligus memberi ruang masuknya swasta ke ruang public goods, serta Ayat 5 yang standar,” tambah LaNyalla yang hadir didampingi senator asal Lampung, Bustami Zainudin dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin.
Ia pun mengingatkan bahwa dalam Islam komoditas kepemilikan publik atau public goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis yaitu air, ladang atau hutan, serta api, yaitu energi, baik mineral, batubara, panas bumi, angin, maupun minyak dan gas. Semuanya itu harus dikuasai Negara.
“Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersilkan menjadi commercial goods,” tegasnya.
Oleh karena itu LaNyalla sampaikan bahwa bangsa ini harus kembali ke penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang dihapus total saat amandemen. Tujuannya agar air, hutan, dan api atau energi yang menjadi infrastruktur penyangga kehidupan rakyat tidak dikomersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi.
“Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya,” ujarnya.
“Dari sini kita akan memahami mengapa Naskah Penjelasan di dalam UUD 1945 yang asli dihapus saat perubahan itu. Dari sini juga kita mengetahui negara memang sudah tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” kritiknya.
Dalam kesempatan tersebut, LaNyalla menawarkan peta jalan mengembalikan kedaulatan dan kesejahteraan Rakyat dengan cara mengembalikan UUD 1945 naskah asli, kemudian disempurnakan kelemahannya dengan cara yang benar. Bukan dengan mengobrak-abrik menjadi konstitusi baru yang malah menjabarkan ideologi liberal kapitalisme.
Dalam hasil penelitian akademik Profesor Doktor Kaelan dari UGM, pasal-pasal dalam UUD 2002 sudah tidak koheren dan sudah tidak menjabarkan lagi nilai-nilai Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm negara ini. Ini yang harus kita kembalikan,” pungkasnya.
Harapan LaNyalla, peta jalan kembali ke UUD 1945 itu bisa menjaga kekayaan alam negara ini, sehingga tidak dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer. “Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di bumi pertiwi ini. Bayi-bayi yang lahir di negeri yang sebenarnya kaya-raya ini,” ungkapnya.
(Agt-Dodo/PM)