Oleh : Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 90-an.
Penulis menganggap bahwa pemilihan presiden 2024 tidak menarik karena semua kandidat terkait dengan rezim pemerintah yang berkuasa, meniadakan pilihan yang benar-benar representatif rakyat.
Keterkaitan erat capres cawapres tersebut dengan rezim kekuasaan menciptakan persepsi bahwa pemilihan tidak menyediakan pilihan nyata, karena kandidat dianggap terlalu terikat pada kepentingan rezim yang berkuasa saat ini. Dalam konteks ini, hubungan kandidat dengan rezim pemerintah Jokowi saat ini akan dianggap sebagai kelanjutan kebijakan yang ada, sehingga akan mengurangi keberagaman pandangan politik dalam pemilihan presiden yang akan digelar beberapa bulan kedepan, yaitu pada bulan Februari 2024, tahun depan.
Animo yang rendah terhadap pilpres 2024 ditunjukkan oleh adanya penolakan serta ketidakyakinan terhadap perubahan nyata. Publik merasa kandidat yang terkait dengan rezim pemerintah Jokowi lebih cenderung memprioritaskan kelompok atau partai pendukungnya daripada mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Koalisi partai yang telah mendominasi di pemerintahan untuk waktu yang lama sebagai parpol pendukung pemerintahan Jokowi secara nyata terjadi pada pilpres 2014 – 2019. Jokowi didukung oleh: PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI, Golkar, PAN, PPP dan PBB. Pilpres 2019-2024, Jokowi didukung kembali oleh: PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI, Golkar, PPP, Perindo, PSI. Gerindra, PAN, akan memunculkan kandidat-kandidat dalam Pemilihan Presiden 2024 yang berasal dari lingkaran pendukung kekuasaan Jokowi.
Fakta tak terbantahkan itu kembali terjadi, parpol kembali bermanuver di pilpres 2024 sebagai pengusung dan pendukung semua capres cawapres pilpres 2024 yang memiliki keterkaitan dengan rezim Jokowi. Hal ini semakin membuat keraguan pemilih akan terjadi perubahan besar. Hal ini terbukti pada upaya usulan hak angket dan berbagai usulan untuk memberhentikan Jokowi dari jabatan Presiden kandas di parlemen / DPR-RI gagal. Upaya tersebut tidak mendapat dukungan mayoritas dari seluruh anggota DPR yang merupakan kader parpol. Terkait ini penulis telah beropini di artikel sebelumnya tentang gerakan parlemen jalanan.
Rekam Jejak Capres Membuat Pemilih Pesimis
Dari keadaan dan fakta tersebut diatas dapat terlihat parpol pendukung Jokowi di Pilpres 2024 bermanuver dalam pasangan capres cawapres nomor urut 1: Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar didukung oleh Parpol Nasdem, PKB dan PKS. Nomor urut 2: Prabowo Subianto – Gibran, didukung oleh Parpol Gerindra, Golkar, PAN, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Prima dan Partai Garuda. Nomor urut 3: Ganjar Pranowo – Mahfud MF, didukung oleh PDI-P, PPP, Hanura dan Perindo.
Walaupun Partai Demokrat dan PKS menyatakan sebagai Partai oposisi, namun dalam perjalanannya tidak terlihat total menolak kebijakan pemerintah Jokowi baik di parlemen atau diluar Gedung Legislatif. Sehingga hal ini menambah variabel yang dapat meragukan publik terkait konsistensinya sebagai oposan.
Partai yang tergabung dalam koalisi partai pendukung kekuasaan yang telah memegang kendali pemerintahan selama beberapa periode, secara nyata munculkan kandidat capres cawapres yang memiliki keterkaitan erat dengan rezim pemerintahan Jokowi.
Anies Baswedan adalah mantan Menteri Mendiknas Pemerintahan Jokowi Periode 1, Gubernur DKI Jakarta era pemerintah Jokowi periode 2, dan mantan Jurkam Nasional Capres Cawapres Jokowi – Jusuf Kalla tahun 2014.
Muhaimin Iskandar: Mantan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Jokowi dan Ketum Partai PKB yang merupakan partai pendukung rezim Jokowi Periode 1 dan 2.
Prabowo Subianto: Menteri Pertahanan kabinet Jokowi Periode 2 dan Ketum Partai Gerindra pendukung rezim Jokowi Periode 2.
Gibran Rakabumi: Walikota Solo, Jawa Tengah dan merupakan Putra Sulung dari Presiden Jokowi.
Ganjar Pranowo: Mantan Gubernur Jawa Tengah, dan Kader Partai PDI-P pengusung dan pendukung rezim Jokowi Periode 1 dan 2.
Mahfud MD: Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Rekam jejak dari latar belakang seluruh capres cawapres 2024 tersebut menciptakan persepsi bahwa pemilihan hanyalah formalitas, serta kebijakan dan tujuan pemerintah kedepan tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.
Keadaan itu dapat menimbulkan apatis politik di kalangan pemilih, serta minimnya minat untuk berpartisipasi dalam pilpres, karena merasa pilihan mereka tidak akan membawa perubahan substansial dalam arah kebijakan pemerintah selanjutnya. Ini akan mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi dalam pemilihan dan merugikan vitalitas demokrasi.
Pilpres Harus Munculkan Kandidat Alternatif dan Aspiratif
Persepsi bahwa pemilihan presiden hanyalah formalitas karena semua kandidat capres cawapres memiliki keterkaitan erat dengan kebijakan dan tokoh-tokoh dari rezim pemerintahan Jokowi memicu ketidakpuasan dalam proses demokratis. Sehingga pilpres terkesan hanya akan melihara kelanjutan elit politik rezim Jokowi. Ini menandakan bahwa kebijakan dan kepentingan elite dipertahankan, tanpa memberikan ruang bagi suara dan aspirasi yang lebih luas dari masyarakat.
Akibatnya pemilih merasa bahwa capres cawapres 2024 tidak mencerminkan sosok yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat. Presiden yang dihasilkan nanti tidak mewakili keberagaman pandangan dan kepentingan masyarakat. Sehingga akan merugikan partisipasi warga dalam proses politik sebab suara rakyat tidak akan memiliki dampak yang signifikan.
Para capres cawapres 2024 yang merupakan bagian dari kekuasaan rezim Jokowi menciptakan konsolidasi kekuasaan dan memicu kekhawatiran tentang munculnya oligarki, yang mana kekuatan politik nantinya akan kembali terpusat pada segelintir elit yang memegang kendali. Maka pilpres 2024 akan dikatakan sebagai ajang pemilihan presiden yang gagal menghadirkan pemimpin alternatif yang mencerminkan keragaman opini dan kepentingan rakyat.
John Stuart Mill, filsuf utilitarianisme abad ke-19, mendukung ide bahwa demokrasi yang baik harus mewakili berbagai pandangan dan kepentingan. Ia menyoroti pentingnya pluralisme politik dan representasi yang lebih luas dalam proses demokratis. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan pilpres yang akan kita laksanakan tahun depan, namun pemikiran Mill menunjukkan nilai pada masyarakat yang didukung oleh pemilihan yang mencerminkan berbagai pandangan dan kepentingan.
Konsep ini sejalan dengan pemikiran banyak filsuf politik dunia yang menekankan pentingnya demokrasi yang dinamis, inklusif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Kalibata, Jakarta Selatan, 11 Desember 2023, 07:18 Wib.