Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era90an.
Sebuah video pendek di media sosial memicu kita merefleksi secara mendalam tentang polemik pelanggaran HAM yang terus menghiasi perhelatan politik Indonesia, khususnya saat mendekati Pemilihan Presiden.
Komentar seorang netizen dalam video pendek itu mencerminkan kegelisahan berbagai pihak: “Mengapa tuduhan pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo Subianto selalu mencuat menjelang Pilpres?” Pertanyaan sinis namun realistis.
Contoh gambaran di media sosial tersebut tak terabaikan, karena mengekspos kecenderungan isu ini mencuat di tengah hiruk-pikuk perhelatan demokrasi. Analisis ini mencoba menjelaskan lebih rinci dan memberikan perspektif sejarah serta fakta konkrit untuk membuka cakrawala pemahaman tentang kontroversi sejarah kelam pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo Subianto.
Keseriusan Menuntaskan Masalah
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa kritik terhadap Prabowo Subianto tidak semata-mata bermula dari urusan politik semata. Kritik ini berkisar pada dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu (hilangnya sejumlah aktivis secara misterius pada tahun 1997 – 1998), dan menjadi isu yang kerap diangkat saat Pemilihan Presiden secara khusus dan disuasana umum lainnya.
Namun, kompleksitas persoalan ini tidak dapat direduksi hanya ke dalam ranah politik belaka. Ketidakpastian hukum dan kekurangan penanganan yang tuntas atas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi faktor utama yang memperpanjang perdebatan ini. Persoalan ini akan terus membelenggu bangsa ini dari tahun ke tahun dan dari pilpres ke pilpres, selama kepastian hukumnya tak dituntaskan. Sepertinya kita belum melihat persoalan ini krusial dan menjadi hambatan ketika kita akan melompat menjadi bangsa dan negara lebih maju.
Munculnya tekanan publik yang menuntut kepastian hukum yang sejalan dengan keinginan adanya keadilan bagi korban, namun dalam konteks pemilu, isu ini kadang dianggap sebagai alat untuk menghalangi aspirasi politik Prabowo. Pada satu sisi harapan adanya penyelesaian hukum, disisi lain melebar ke ranah politik pasca pilpres. Baik pelaku dan korban sejatinya dirugikan, keduanya terombang-ambing oleh ketidak pastian, pihak keluarga korban tak menerima fakta keadilan hukum, pelaku terhambat kariernya, dan citranya.
Adalah suatu kewajaran untuk menyuarakan pro dan kontra dalam kasus ini, namun kita juga perlu melihatnya dari berbagai sudut pandang. Kepastian hukum yang belum terpenuhi telah menciptakan atmosfer yang membingungkan dan menyulitkan bagi semua pihak baik yang terlibat juga masyarakat secara umum. Apalagi jika dikaitkan dalam konteks pilpres yang secara berulang terjadi ketersinggungan kubu pendukung Prabowo dengan kelompok yang inginkan penuntasan masalah. Situasi ini kerap menimbulkan ketegangan dan berpotensi mengancam stabilitas keamanan.
Megawati dan Keseriusan Pemerintah
Prabowo Subianto, dalam sepanjang kariernya, telah menjadi penerima reaksi publik yang intens. Dari dukungan hingga kontroversi, dirinya terus menuai beragam respon. Perlu diakui bahwa persoalan yang melibatkan Prabowo bukan semata-mata soal politik atau pemilihan presiden, melainkan krisis hukum di negara kita yang belum tuntas, khususnya penyelesaian pelanggaran HAM Prabowo Subianto.
Seharusnya, pada masa lalu medio 2004 – 2009 ketika Megawati menjabat presiden hingga berakhir jabatannya dan kemudian dalam pilpres selanjutnya (2009), ketika Megawati Sukarnoputri mengajak Prabowo pulang ke Indonesia dan mempertimbangkan untuk menjadikannya cawapres, momentum tersebut seharusnya dimanfaatkan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan Prabowo, agar kelak tidak menjadi hambatan karier Prabowo serta citra pemerintah dimasa mendatang, khususnya keluarga korban. Kesalahan terletak pada ketiadaan dorongan tegas agar kasus ini diungkap dan diselesaikan segera pemerintah saat itu hingga kini di masa pemerintahan Jokowi.
Terbelenggu Pada Sejarah Kalah
Penting untuk menyadari bahwa ketidakpastian hukum dan penundaan penanganan kasus tersebur adalah akar dari polemik panjang ini. Seandainya tindakan tegas diambil pada saat itu, kita mungkin tidak akan melihat berulangnya pro kontra seputar Prabowo seperti yang terjadi saat ini.
Kritik ini ditujukan pada Megawati Sukarnoputri, yang meskipun saat itu memiliki niat baik, tampaknya terjebak dalam paradoks. Pemanggilan Prabowo pulang ke Indonesia dsri Yordania dibarengi dengan ketidakberanian menyelesaikan masalah kelompok eks-PKI yang lari ke Eropa dan hingga kini masih menetap di Eropa Timur, dan sekitarnya. Dalam perspektif HAM, perbandingan antara Prabowo dan kelompok eks-PKI yang melarikan diri pasca-peristiwa 1965 menimbulkan pertanyaan yang cukup signifikan. Tinndakan pemanggilan pulang Prabowo tanpa proses hukum secara tidak langsung telah menyakiti perasaan keluarga korban penculikan, hal serupa juga dirasakan oleh keluarga eks PKI yang tak dapat berkumpul bersama keluarganya di tanah air.
Dugaan Pembiaran Masalah
Pengabaian dan penundaan penyelesaian masalah sejarah di Indonesia menyisakan luka yang belum sembuh. Persoalan ini bukan hanya menjadi benalu di setiap momen penting bagi bangsa, tetapi juga menjadi hambatan bagi kemajuan menuju perdamaian, keadilan dan kesejahteraan.
Dalam rangka menciptakan masa depan yang lebih baik, kita harus belajar dari masa lalu dan berkomitmen untuk menyelesaikan konflik yang masih meruncing. Mempertanggungjawabkan tindakan di masa lalu adalah langkah penting untuk menghindari lagi-lagi terjebak dalam kubangan yang sama di masa depan.
Prabowo dan keluarga korban penculikan terus menarik perhatian dalam dinamika pemerintahan kita. Keterlibatan Prabowo dalam pesta demokrasi 2009, 2014, 2019, dan yang terbaru pada 2024 menciptakan dilema di antara keluarga korban dan masyarakat Indonesia. Bagaimana kita dapat menciptakan narasi yang adil dan menyeimbangkan perspektif ini?
Selama ketidakpastian dan kurangnya keseriusan dalam menyelesaikan kasus-kasus penculikan aktivis, keluarga korban terus merasakan luka yang mendalam. Keberlanjutan permasalahan ini menjadi lebih rumit tatkala tokoh-tokoh politik, aktivis, dan masyarakat umum, dengan dukungan penuh, terlibat dalam mendukung Prabowo. Seolah, garis-garis yang memisahkan mantan Panglima Kostrad itu dengan masa lalu kelamnya menjadi samar.
Kesimpulan
Sebagai bangsa, kita dihadapkan pada tugas berat untuk menjembatani kesenjangan antara aspirasi demokrasi dan penyelesaian pelanggaran HAM. Data empiris dapat memberikan pencerahan, namun upaya konkret dari pemerintah dan Prabowo sendiri untuk membuka sejarah gelap ini perlu menjadi prioritas.
Mencari keadilan bukanlah menutup mata terhadap prestasi dan kontribusi positif yang mungkin dimiliki Prabowo. Namun, langkah-langkah tegas dan jelas harus diambil untuk mengatasi luka masa lalu dan memastikan bahwa pemilu tidak menjadi panggung yang mengaburkan perjalanan sejarah yang belum terselesaikan.
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 29 Februari 2024 – 18:27 Wib.