https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Memahami Pemikiran Prof. Sarbini Sumawinata: “Revolusi Kebudayaan untuk Pembangunan”

Des 22, 2023 #Agusto Sulistio

Oleh: Agusto Sulistio, Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era 90an.

Dalam konteks kemajuan teknologi global dan persaingan ekonomi yang ketat, terjadi perubahan struktur ekonomi suatu negara dan pergeseran budaya masyarakat.

Teknologi mempengaruhi cara berproduksi dan berkomunikasi, sementara persaingan ekonomi global mendorong adaptasi untuk tetap bersaing. Hal ini dapat memicu perubahan perilaku masyarakat, termasuk nilai, norma, dan kebiasaan, seiring dengan transformasi ekonomi yang terjadi.

Terkait hal tersebut diatas penulis mengangkat pemikiran revolusioner kebudayaan dari tokoh, juga ekonom alm. Prof. Sarbini Sumawinata dalam refleksi 87 tahun usianya yang telah ditayangkan harian Kompas, hari Senin, 22 Agustus 2005.

Dalam refleksinya itu, dirinya mengakui bukanlah seorang budayawan namun ia menyerukan revolusi kebudayaan menuju kemajuan negeri ini dengan merombak pemahaman terhadap ideologi agama, dan sikap hidup. “Budaya kita terpuruk. Ini yang membuat kemerosotan sebagai bangsa. Lakukan revolusi kebudayaan, tinggalkan yang usang,”

Dari apa yang disampaikan oleh Prof. Sarbini tersebut, dapat diartikan bahwa
meningkatkan budaya masyarakat merupakan tantangan besar. Perubahan kebudayaan memerlukan upaya bersama dan waktu yang cukup panjang, sehingga diperlukan untuk memulai dengan edukasi, membuka dialog terbuka, dan mempromosikan nilai-nilai positif. Revolusi kebudayaan membutuhkan kolaborasi dari berbagai lapisan masyarakat untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan.

Menurut Prof. Sarbini seperti yang telah dikutip Kompas 18 tahun lalu, bahwa dalam ideologi, turun-temurun muncul sikap antikapitalisme tanpa merenungkan benar tidaknya sikap itu sekarang. Dunia tidak lagi seperti tahun 1848, saat Karl Marx menulis kerangka pemikiran dan analisis untuk menilai kapitalisme. Pergolakan besar terjadi. Revolusi industri, listrik, transportasi, dan komunikasi mengubah dunia dan kemanusiaan. Marx tidak mengalaminya. Teorinya bahwa dunia kelak dihuni orang-orang miskin (proletar) yang tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali badannya, oleh karenanya berontak, menghancurleburkan masyarakat kapitalis, tidak terbukti. Kapitalisme tidak runtuh, seperti prediksi Marx.

“Bukan kapitalisme berubah menjadi baik. Dunia yang berubah. Kapitalisme tidak mampu lagi melakukan eksploitasi karena monopoli tidak mungkin lagi, kompetisi begitu hebat,” ujar Sarbini yang lahir di Madiun, 20 Agustus 1918, dalam orasi “Revolusi Kebudayaan untuk Pembangunan” di Jakarta 22/8/2005.

Dari pernyataan itu dapat diartikan bahwa tersirat ada pandangan bahwa kapitalisme tidak lagi mampu melakukan eksploitasi secara efektif dalam konteks perubahan dunia. Alasan utama yang disebutkan adalah bahwa monopoli tidak dapat lagi terjadi, dan kompetisi dalam sistem kapitalis menjadi sangat kompetitif atau ketat dan sengit. Oleh karena itu, gagasan bahwa kapitalisme telah berubah menjadi “baik” lebih disebabkan oleh berubahnya dunia ekonomi sehingga situasi ini mengurangi kemungkinan eksploitasi ekonomi oleh kapitalisme.

Sayangnya, elite politik tidak -paham. Sikap antikapitalisme yang wujudnya anti-AS, anti-Barat, anti-orang kaya masih menjadi “jualan” elite politik. “Perjuangan ideologinya masih pemikiran orang miskin,” kata Sarbini yang awal bergulir reformasi (1998), dalam tulisannya “Perjoangan Kerakyatan” mengingatkan, menggulingkan Soeharto tanpa “mengubur” rezim dan sistem yang dibangun Orde Baru tidak membawa perubahan ke arah kemajuan bangsa. Reformasi saja tidak cukup, harus Revolusi.

Pandangan dalam beragama pun sama. Seolah ada musuh yang harus dihadapi bersama, diidentikkan dengan Barat, AS dan Yahudi. Selain sikap permisif terhadap pelanggaran, penyelewengan, dan ketidakdisiplinan bangsa sendiri. “Membuat Amerika dan Barat enggan meneruskan investasinya ke Indonesia,” ujar Sarbini yang turut mendirikan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan menjadi ketuanya (1958).

“Bekerjasama tidak perlu setuju atau jadi antek kapitalisme, Kita harus rasional. Ekonomi Indonesia tetap sosialis, bukan kapitalis. Tetapi perlu mereka untuk bangkit. Mereka yang punya teknologi, modal, dan peranti untuk maju. China yang komunis saja mau kerja sama dan luwes terhadap kapitalisme.”

Pemikiran Sarbini tersebut dapat diartikan bahwa bekerjasama tidak selalu berarti harus sepakat atau menjadi pengikut kapitalisme. Penting untuk tetap rasional dan menyadari bahwa meskipun ada kerjasama dengan pihak yang memiliki teknologi, modal, dan peranti untuk kemajuan, hal itu tidak berarti Indonesia harus sepenuhnya mengadopsi sistem kapitalis.

Contohnya, China, negara yang memiliki paham komunis namun tetap mau berkolaborasi dan fleksibel terhadap negara-negara kapitalisme. China telah membuka diri terhadap investasi asing, menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih terbuka, dan mengembangkan zona-zona ekonomi khusus. Ini menunjukkan bahwa kerjasama dapat terjadi tanpa mengganti sistem ekonomi utama suatu negara.

Sehingga diharapkan Indonesia dapat berkerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk kemajuan ekonomi, tetapi tetap mempertahankan identitas sosialis dalam sistem ekonominya.

Kesimpulan.

Dari apa yang disampaikan oleh Prof. Sarbini Sumawinata dalam orasinya tentang “Revolusi Kebudayaan untuk Pembangunan” untuk menuju kemajuan ekonomi tak perli merubah prinsip dasar ekonomi Indonesia yang sosialis menjadi kapitalis, walau telah terjalin kerjasama dengan negara-negara Kapitalis.

Menekankan harapan agar Indonesia dapat menjalin kerjasama ekonomi dengan pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk kemajuan ekonomi tanpa harus mengubah identitas sosialisnya. Hal ini mencakup kolaborasi ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya dari mitra kerja sama, dan mempertahankan landasan sosialis dalam sistem ekonomi Indonesia.

Contoh kolaborasi semacam itu bisa termasuk kerjasama investasi dengan negara atau perusahaan asing. Misalnya, Indonesia dapat menerima investasi dari negara dengan ekonomi yang kuat tanpa mengubah prinsip-prinsip sosialis dalam kebijakan ekonominya. Investasi tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor strategis, meningkatkan infrastruktur, dan menciptakan lapangan kerja.

Menjadi hal prinsip untuk melakukan perjanjian kerjasama yang adil dan saling menguntungkan, sehingga Indonesia dapat merasakan dampak positif dari investasi tersebut tanpa mengorbankan nilai-nilai sosialis. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat menjaga identitas sosialisnya sambil tetap memanfaatkan sumber daya ekonomi dari mitra kerja sama internasional.

Kalibata, Jakarta Selatan, 22 Desember 2023, 09:18 Wib.