Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber.
Pada panggung debat capres cawapres 2024, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka membawa topik yang menggetarkan hilirisasi investasi nikel. Seolah menjadi primadona tak tertandingi, investasi ini mencuri perhatian dan menghadirkan dinamika pro-kontra yang menyelimuti perbincangan publik. Meski begitu, jangan biarkan narasi sempit membingkai pemahaman kita, sebab kunci kebijakan ini terletak pada latar belakang dan manfaatnya bagi bangsa dan negara, tanpa merongrong kedaulatan rakyat.
Mengapa investasi nikel menjadi fokus Prabowo – Gubran? Bagaimana fenomena “nickel rush” merambah ke dalam rencana hilirisasi mereka? Dalam pengantar ini, kita akan membahas alasan di balik keputusan menggeser sorotan ekonomi ke sektor nikel. Apakah hal ini merupakan strategi cerdik untuk menghadapi tantangan global, ataukah ada pertimbangan politis yang lebih kompleks di balik layar?
Pada awal 2020, Indonesia kembali melarang ekspor bijih nikel, mengawali langkah untuk mendorong investasi dalam pengembangan industri pengolahan nikel. Bahlil, seorang pemangku kebijakan, mengungkapkan bahwa aliran investasi terbesar datang dari China, baik secara langsung maupun melalui perusahaan cangkang di Hong Kong dan Singapura. Bhima Yudhistira, seorang ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyoroti peran signifikan Singapura sebagai hub keuangan global yang secara konsisten menjadi pilihan utama investor, dengan investasi mencapai US$12,1 miliar pada 2023, menurut data BKPM.
Sementara Singapura mempertahankan posisinya sebagai kontributor utama, investasi dari China dan Hong Kong menempati peringkat kedua dan ketiga, masing-masing dengan angka US$5,6 miliar dan US$5,2 miliar pada tahun sebelumnya. Fenomena ini terkait dengan program hilirisasi yang diperkenalkan selama pemerintahan Jokowi, mencapai puncaknya pada 2022 dengan 30,1% kontribusi investasi asing, sebelum sedikit turun menjadi 28,6% pada tahun lalu.
Dampak Investasi Terhadap Industri Nikel Indonesia
Dengan aliran investasi yang masif, industri penambangan dan pengolahan nikel mengalami pertumbuhan pesat. Antara 2014-2023, produksi bijih nikel meningkat drastis sebesar 395%, mencapai 193 juta ton dari 39 juta ton, seperti yang dinyatakan dalam data resmi pemerintah. Pada periode yang sama, jumlah smelter nikel yang ada dan yang akan dibangun naik sebanyak 274,2%, dari 31 unit menjadi 116 unit. Bhima Yudhistira merinci fenomena ini sebagai “nickel rush” atau demam nikel, di mana perusahaan-perusahaan China berlomba-lomba untuk mengeksploitasi nikel setelah larangan ekspor bijih nikel mentah diumumkan, mendorong peningkatan investasi yang signifikan.
Investor Dominan dari China di Indonesia
Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengidentifikasi Tsingshan Holding Group sebagai produsen baja nirkarat raksasa yang menjadi wajah investasi China yang paling dominan di Indonesia. Tsingshan memasuki Indonesia setelah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Bintangdelapan Group pada Oktober 2013, sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping. Tsingshan terlibat dalam pembangunan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah, yang berhasil menarik investasi hingga US$20,9 miliar dalam kurun waktu 10 tahun.
PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang dikelola oleh Tsingshan, memiliki tiga klaster pengolahan nikel, termasuk produksi baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai kendaraan listrik. Tsingshan mengontrol 66,25% saham PT IMIP pada tahun 2023. Di samping itu, Tsingshan bersama mitra China terlibat dalam pembangunan Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, melalui PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Tsingshan memiliki 46% saham PT IWIP pada tahun 2023, bersama dengan mitra seperti Contemporary Amperex Technology, Zhenshi Holding Group, dan Huayou Holding Group.
Meskipun investasi China memberikan dorongan signifikan bagi hilirisasi industri nikel Indonesia, ada catatan penting terkait risiko ketergantungan pada investasi dari China. Faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi China yang melambat dan krisis properti dapat mempengaruhi arus investasi ke Indonesia, menciptakan tantangan ekonomi yang perlu dihadapi dengan kewaspadaan dan tindakan pencegahan.
Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 29 Januari 2024 – 21:38 Wib.