Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an.
Gerakan mahasiswa telah menjadi bagian penting dari sejarah Indonesia. Namun, seiring pergantian kekuasaan dan perkembangan zaman, semangat gerakan tersebut mulai meredup. Penurunan jumlah massa dalam aksi demonstrasi menunjukkan penurunan semangat dalam mengkritik kekuasaan. Keadaan ini akan membahayakan bagi tumbuhnya demokrasi, serta kontrol ataa jalannya keluasaan. Terlebih ditengah pemerintahan Jokowi yang kebijakannya kerap menimbulkan pro-kontra dan menyulitkan hidup rakyat.
Dibandingkan dengan era sebelumnya, kita melihat semangat yang menggebu-gebu. Di era Soekarno, mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menentang penindasan dan menyuarakan nasionalisme. Di era Soeharto, mereka melawan kekuasaan otoriter dan kebijakan ekonomi yang merugikan rakyat. Pada tahun 1998, semangat reformasi memuncak, dengan mahasiswa menjadi motor perubahan yang menumbangkan rezim yang telah lama berkuasa.
Faktor Menurunnya Aktivisme Mahasiswa
Penurunan aktivisme mahasiswa dan gerakan sosial terjadi di berbagai negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan Jepang. Faktor penyebabnya antara lain biaya pendidikan tinggi, polarisasi politik, krisis ekonomi, respons represif pemerintah, dan perubahan nilai-nilai sosial.
Di Indonesia, penurunan aktivisme disebabkan oleh fragmentasi gerakan, respons represif pemerintah, kondisi ekonomi dan sosial yang sulit, kurangnya kesadaran politik, dan kendala logistik dan organisasi. Untuk meningkatkan aktivisme, diperlukan pembangunan kesadaran politik, penguatan solidaritas antar-organisasi, dan advokasi untuk reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan progresif.
Alumnus Harus Kembali ke Kampus
Kepedulian para alumnus untuk kembali ke kampus-kampus adalah kunci penting dalam membangkitkan semangat kritisme mahasiswa dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan. Kehadiran mereka tidak hanya memberikan inspirasi dan dorongan moral kepada mahasiswa aktif, tetapi juga membawa pengalaman dan pengetahuan yang berharga dari medan perjuangan sebelumnya. Interaksi antara alumnus dan mahasiswa menciptakan lingkungan yang memupuk semangat perjuangan, memperkaya wawasan, dan memperluas jaringan kerja dalam memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Dengan kembali ke kampus-kampus, para alumnus menunjukkan komitmen mereka terhadap masa depan generasi mendatang dan memperkuat solidaritas dalam perjuangan bersama.
Sejarah telah mencatat peran alumni dalam membangkitkan kembali semangat mahasiswa. Kembali ke kampus untuk memberikan pandangan politik, berbagi pengalaman gerakan masa lalu, dan memberikan dukungan kepada mahasiswa aktif. Contoh nyatanya adalah pada Gerakan Alumni dalam gerakan mahasiswa 1998. Para alumni lintas angkatan dan idiologi mendukung Gerakan Reformasi 1998 dengan gerakan kembali ke kampus untuk mendukung mahasiswa dalam mewujudkan reformasi.
Kegiatan Alumnus di Kampus Semangat Baru
Dari berbagai sumber, bahwa para alumni dari berbagai kampus di dunia sering kembali ke almamater mereka untuk berbagi pengalaman dalam gerakan sosial dan politik. Misalnya, di Universitas Harvard di Amerika Serikat, mereka terlibat dalam seminar, diskusi panel, dan pelatihan aktivisme. Di Universitas Oxford, Inggris, acara alumni sering diadakan untuk memberikan ceramah, diskusi kelompok, atau mentoring kepada mahasiswa. Di Universitas Sorbonne, Prancis, forum diskusi, lokakarya aktivisme, dan pameran diadakan oleh para alumni untuk menginspirasi mahasiswa. Di Indonesia, seperti di Universitas Indonesia (UI), alumni terlibat dalam seminar, diskusi politik, dan aksi demonstrasi terkait isu-isu sosial dan politik. Agenda kegiatan aksi demonstrasi dapat berupa unjuk rasa, pertemuan massa, konferensi pers, dan lainnya.
Mahasiswa Agen Perubahan
Filsuf dunia, Paulo Freire, menggarisbawahi pentingnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Dalam karyanya yang monumental, “Pendidikan Kaum Tertindas”, Freire menekankan bahwa mahasiswa bukan hanya pelajar, tetapi juga aktor penting dalam melakukan kritik terhadap kekuasaan yang ada.
Ia menggambarkan konsep pendidikan yang memerdekakan kaum miskin dan tertindas. Freire mengkritik pendidikan konvensional yang menindas dan menjelaskan pentingnya pendekatan pendidikan yang memungkinkan partisipasi aktif dan pemahaman kritis dari siswa. Ia menekankan pentingnya dialog, kesetaraan, dan pembebasan dari penindasan. Buku ini menjadi dasar teori bagi gerakan pendidikan yang berfokus pada pemberdayaan dan perubahan sosial.
Penutup
Dengan memahami sejarah gerakan mahasiswa, pandangan filsuf dunia, dan contoh fakta dari berbagai negara, kita dapat melihat bahwa semangat perubahan tidak mati. Ia hanya sedang beristirahat, menunggu untuk dibangkitkan kembali oleh generasi penerus yang berani dan gigih. Semoga artikel ini menjadi pencerahan bagi kita semua dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan harapan banyak orang.
Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 26 Maret 2024, 17:20 Wib.