https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Mewaspadai Para Capres Berkoalisi Dengan Pemerintah, Seperti di Zimbabwe

Mar 4, 2024

Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era90an, Pendiri The Activist Cyber.

Salah satu langkah strategis Jokowi jelang berakhirnya masa jabatan dirinya sebagai Presiden RI 2019 – 2024 adalah mencari pengganti dirinya. Berdasarkan analisa dari banyak ucapan dan tindakan Jokowi sebagai kepala negara diberbagai kesempatan khususnya jelang pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 hingga saat ini jelang pengumuman hasil resmi perhitungan suara pemilu 2024, jelas dirinya sangat fokus dan berkepentingan terhadap pemimpin yang akan melanjutkan usai dirinya pensiun.

Meski hal itu bertentangan dengan demokrasi, Jokowi sepertinya tidak melihat hal lain kecuali ia berupaya memastikan kelangsungan program kerjanya dan menjaga wibawa serta kehormatan presiden dan keluarganya.

Meskipun strategi ini mungkin kontroversial, tujuannya adalah memastikan kelangsungan kebijakan yang telah diimplementasikan.

Contoh kejadian serupa dapat ditemukan dalam kasus-kasus di berbagai negara. Sebagai contoh, dalam sejarah politik di Philipina, Zimbabwe, dll, kepala negara yang hendak meninggalkan jabatannya melakukan manuver untuk memastikan penggantinya memiliki kesetiaan dan dukungan yang cukup. Untuk mencapai itu dikeluarkan berbagai kebijakan kontroversial yang memicu pro dan kontra di masyarakat.

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mengeluarkan keputusan kontroversial terkait kenaikan pangkat kehormatan jenderal kepada “pemenang Pilpres 2024” versi Quick Count, Prabowo Subianto. Hal itu dilakukan sekitar 20 hari menjelang pengumuman resmi pemenang pilpres 2024 oleh KPU pada 20 Maret 2024 mendatang.

Langkah Jokowi menunjukkan kecerdikan politik yang berdampak luas pada berbagai aspek sosial politik. Kebijakan Presiden tersebut bisa diartikan sebagai “politik pembusukan” kebijakan yang bertujuan membingungkan situasi politik, secara tidak langsung dapat merusak reputasi calon presiden penerus, Prabowo Subianto. Situasi tersebut menciptakan ketidakpastian, bahkan meningkatkan ketegangan di masyarakat, bahkan dapat menimbulkan konflik jika Prabowo tak bisa dilantik sebagai Presiden terpilih oleh akibat dugaan adanya politik pembusukan Jokowi tersebut.

Pemberian pangkat kehormatan oleh Jokowi kepada Prabowo mendorong sorotan pegiat dan lembaga HAM dalam negeri dan internasional terhadap langkah Jokowi, mengingat persoalan pelanggaran HAM masa lalu seputar penculikan aktivis tahun 1997 – 1998 masih melekat pada Prabowo. Luka lama kembali mengemuka, pangkat penghormatan itu mengingatkan publik dan aktivis HAM khususnya kembali terpancing adrenalinnya untuk mendesak lembaga hukum memproses hukum kepada Prabowo.

Lalu pertanyaannya apakah hal itu tidak akan merubah jadwal pengumuman hasilnperolehan suara Pemilu 2024 oleh KPU, serta acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada jelang akhir tahun ini. Tentu hal itu akan semakin memperkeruh situasi sosial dan politik ditengah persoalan pro-kontra pilpres 2024 serta krisis ekonomi dan iklim yang mengarah ekstrim.

Kemudian, apakah tindakan Jokowi tersebut hal yang disengaja untuk menutupi persoalan selama ia memimpin? atau bertujuan untuk menggagalkan pelantikan presiden baru periode 2024 – 2029, Prabowo Subianto menyoroti adanya permainan politik tingkat tinggi. Disisi lain strategi ini juga bisa menjadi cara untuk mempertahankan kekuasaan Jokowi, yang memungkinkan terjadinya kekacauan dan ketidakstabilan dalam proses transisi kekuasaan.

Contoh kasus serupa dapat ditemukan dalam sejarah politik global, di mana tindakan cerdik, licik dan kontroversial dari pemimpin yang akan berakhir masa jabatannya menjadi hal penting dalam dinamika politik yang luas yang terkadang seringkali sulit dipahami.

Kesamaan keadaan Zimbabwe dan Indonesia

Situasi di negara kita saat ini pernah terjadi di awal sebelum negara Zimbabwe mengalami masa genting pada awal tahun 2000-an. Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, setelah berkuasa selama bertahun-tahun, melakukan manuver politik untuk memastikan kelangsungan kekuasaannya. Pada tahun 2008, dalam konteks pemilihan presiden, terjadi kontroversi terkait hasil pemilu yang disebut-sebut merugikan lawan politiknya, Morgan Tsvangirai.

Mugabe kemudian menjalankan serangkaian kebijakan dan manuver politik yang kontroversial untuk mempertahankan kekuasaannya. Meskipun Tsvangirai memiliki dukungan mayoritas, Mugabe tetap memegang kendali Kekuasaan yang akhirnya Mugabe membentuk pemerintahan koalisi dan memberikan jabatan Tsvangirai sebagai perdana menteri.

Situasi ini mencerminkan bagaimana pemimpin yang berusaha mempertahankan kekuasaannya dapat menggunakan strategi politik yang kompleks, termasuk kebijakan kontroversial, untuk mencapai tujuannya. Dalam beberapa kasus, ini dapat mengakibatkan penggabungan kekuasaan atau pembentukan koalisi pemerintahan, seiring dengan kontroversi dan pro-kontra di kalangan masyarakat.

Pengalaman politik Zimbabwe dapat kita jadikan contoh dalam mengantisipasi situasi serupa. Hal lain diperlukan kejelian dan langkah antisipasi semua elemen masyarakat terjadinya pemerintahan koalisi akibat penyelewengan prinsip seperti di Zimbabwe. Tsvangirai yang merupakan rival Mugabe yang meraih suara terbanyak dalam pilpres melawan Mugabe, berhasil dilemahkan oleh Robert Mugabe dengan diberikan jabatan perdana menteri.

Hal tersebut perlu diwaspadai, sebab bagi-bagu kekuasaan dapat terjadi di negara manapun termasuk Indonesia. Apalagi Presiden Jokowi masih memiliki kekuasaan dan dukungan rakyat yang memungkinkan dapat melakukan berbagai hal, salah satunya membuat koalisi pemerintahan dengan melibatkan para calon capres dan kelompok oposisi lainnya sebagai satu strategi meredam amarah publik, seperti halnya Mugabe di negaranya saat itu. Hal ini mengingatkan pilpres 2019, dimana para pendukung Prabowo Sandi saat itu melakukan aksi demo didepan Bawaslu (21-22 Mei 2024) yang berakhir ricuh dan jatuh korban dipihak massa dan aparat. Para pendukung Prabowo Sandi akhirnya kecewa sebab Capres-Cawapres yang diperjuangkannya berkoalisi dalam pemerintahan Jokowi yang merupakan rivalnya saat itu.

Suasana kebatinan masing-masing kubu, khususnya yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilpres 2024 memiliki kesamaan dengan pilpres 2019. Dalam menghadapi keadaan politik seperti saat ini diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, supaya kejadian masa lalu 2019 tidak kembali terulang. Rakyat jangan lagi terjebak dalam euforia. Rakyat harus realistis dalam menyikapi keadaan agar tidak ditunggangi, dan dirugikan oleh kepentingan kekuasaan sempit akibat terobsesi pada pencitaraan dan janji-janji politik para capres-cawapres 2024.

Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 4 Maret 2024 – 08.09 Wib.