Pikrianmerdeka.com, Jakarta – Indonesia nampak sedang bersiap menyongsong proyeksi puncak Bonus Demografi yang sudah di depan mata, yakni tahun 2030. Peristiwa langka sekali seumur hidup tersebut sebagai momentum strategis bagi perjalanan suatu bangsa, dimana jumlah warga usia produktif mendominasi.
Ketepatan pendayagunaan SDM usia produktif menentukan daya lenting suatu bangsa, ungkap Ketua Depinas SOKSI, Dina Hidayana dalam kesempatan ziarah kebangsaan ke Makam Pendiri SOKSI Prof Suhardiman dan putranya, Bobby Suhardiman pada rangkaian HUT SOKSI ke-64 sekaligus menyongsong Hari Kebangkitan Nasional di Evergreen Puncak Bogor, pada Jum’at (17/5/2024).
Dina Hidayana, yang dikenal sebagai Pakar Pertahanan dan Pangan ini mencontohkan beberapa negara yang berhasil memanfaatkan ketangguhan generasi muda produktif di masa Bonus Demografi, misalnya: Korea Selatan di kurun waktu 30 tahun (1960-1990) bertumbuh menjadi salah satu negara dengan perekonomian terkuat dan handal dalam teknologi dan industri karena menginvestasikan sebagian besar untuk pendidikan dan infrastruktur saat menyongsong fenomena ledakan warga usia 15-64 tahun.
“Lainnya, yakni Negara Tiongkok yang tumbuh pesat di akhir abad 20 buah dari optimalisasi bonus demografi, penguatan SDM melalui pendidikan dan pelatihan serta penguatan infrastruktur, menyebabkan Cina memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi 9%, juga beberapa negara lainnya tidak ingin melewatkan periode bonus demografi,” imbuhnya.
Dina mengatakan, Fenomena Bonus Demografi selalu bermakna ganda, menjadi peluang kemajuan di satu sisi serta sebagai ancaman merosotnya pertumbuhan ekonomi dan sosial di sisi satunya apabila tidak dimanfaatkan dengan baik
“Jika Pemerintah tidak menggunakan strategi dan alat ukur yang relevan, populasi produktif yang lebih dari 60% yang ada di kurun massa tertentu tersebut, akan meningkatkan laju pengangguran yang dalam jangka tertentu berkorelasi dengan tingkat kemiskinan, kriminalitas dan disintegrasi bangsa,” tambah Dina yang juga berprofesi sebagai Dosen tetap STIA MADANI Klaten ini.
Dina juga mengatakan, beberapa pekerjaan diprediksi akan hilang di masa depan, namun tidak berlaku untuk sektor pangan dan pertanian yang akan terus ada selagi manusia masih hidup dimuka bumi.
“Karenanya, harus ditekankan menumbuhkan skala industri pertanian yang sistematik dan komprehensif dengan melahirkan patriot-patriot pangan secara masif, baik di tingkat lokal maupun pusat yang terpadu, termasuk antar sub sektor dan sektor adalah sebuah keharusan bagi negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan SDM berlimpah,” tegas Ketua Umum IKATANI UNS ini.
Dina menyebut, Biro Pusat Statistik (BPS) Februari 2024 merilis jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,12%. Sementara disebutkan lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja adalah Pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar lebih dari 46%.
“Hal ini perlu sinkronisasi potensi antara ketersediaan SDM dan peluang kerja perlu dioptimalkan di Sektor Pangan dan Pertanian, artinya memasifkan lahirnya Patriot-Patriot pangan adalah keniscayaan,” jelasnya.
Lebihlanjut kata Dina, keberlimpahan sumber daya manusia produktif ini perlu dididik dan dibekali keterampilan memadai untuk menguatkan industri pangan secara massal, baik itu untuk konsumsi dalam negeri, tujuan ekspor maupun cadangan dalam menghadapi krisis pangan ataupun dinamika global
“Kekuatan agraris harus dijadikan penopang utama atau soko guru pembangunan, sebagaimana Teori Rostow yang menempatkan alur pertumbuhan suatu negara yang dimulai dengan stabilitas sektor pangan pertanian sebelum beranjak pada tingkat yang lebih maju, industri manufaktur atau jasa sosial lainnya,” urai srikandi muda asli Solo yang dikenal gigih dalam memperjuangkan sektor pangan dan pertanian sebagai fundamental.
Patriot pangan, berjuang untuk mewujudkan visi kemandirian dan kedaulatan pangan. Selain itu, patriot-patriot dimaksud bukan hanya alumnus kampus pertanian saja, namun seluruh aktor yang terlibat dan dilibatkan dalam upaya penguatan sektor pangan dari hulu sampai hilir, “ujar” Dina.
Patriot mengandaikan diri seperti adagium “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Investasi di sektor pangan tidak bisa singkat, terutama dalam merubah mindset para pelaku tradisional dalam beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan dan teknologi. Untuk Indonesia, kita masih perlu menerapkan teknik hibrid, yakni Modern dan Manual, mengingat melimpahnya ketersediaan SDM.
Komponen cadangan yang digagas oleh Kementerian Pertahanan RI melalui UU No 23/2019, salah satunya dapat diarahkan untuk membentuk Patriot-Patriot Pangan yang menjadi sumbu utama dari peradaban dan kemajuan suatu bangsa.
“Jangan sampai Bonus Demografi tersia-siakan karena kegagapan dalam melihat fokus prioritas dan visi bangsa ke depan serta perancangan strategi yang lebih fundamental,” pungkas Dina Hidayana, menutup.
Kontributor : Amhar