Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Penegakkan hukum di negeri ini berada di titik nadir. Hari-hari belakangan ini kita sama-sama menyaksikan kecenderungan penegakkan hukum (termasuk pembuatan/revisi peraturan dan perundang-undangan) dilakukan oleh dan untuk kepentingan politik, bukan untuk supremasi hukum itu sendiri.
Karena disandarkan pada selera kepentingan politik itu, akhirnya penegakkan hukum dilaksanakan dengan cara tebang pilih kasus dan sangat selektif, termasuk dipaksakan untuk mengancam pihak-pihak yang kritis. Hukum pun menjadi senjata politik. Spirit Republik yang mengamanahkan penegakkan hukum secara berkeadilan pun telah dikhianati.
Situasi tersebut membuat bangsa Indonesia khawatir, terutama soal lahirnya kepemimpinan yang otoriter, di mana prasyarat utamanya telah terpenuhi, yakni menggunakan hukum untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok dan golongannya semata.
Parahnya lagi, sebagaimana ditegaskan Sukidi, Pemikir Kebinekaan, di harian Kompas (13/6), jika aturan atau hukum yang tersedia tak sesuai dengan kepentingan dirinya, aturan atau hukum itu diubah dengan cara yang secara teknis legal, tetapi sebenarnya bentuk tindakan eksploitasi konstitusional secara kasar.
Berangkat dari pemikiran di atas, Nurcholish Madjid Society (NCMS) menggelar Diskusi Publik dengan tajuk “Hukum sebagai Senjata Politik” diselenggarakan pada Rabu, 19Juni 2024. Bertempat di Graha STR Lt. 4, J. Ampera Raya No. 11, Jakarta Selatan.
Direktur Eksekutif NCMS, Fachrurozi Ma’id menilai topik tersebut penting untuk didiskusikan di tengah perilaku para elit negeri yang cenderung menggunakan hukum untuk kepentingan politik sendiri, melakukan pembusukan hukum untuk kepentingan elektoral, dan mengesampingkan etika demi keperluan politik pribadi.
Melalui kajian hari ini, NCMS berharap pemikiran dan suara jernih para akademisi dalam diskusi hari ini menjadi inspirasi publik sekaligus mampu menggugah kesadaran masyarakat agar tetap menyuarakan suara kritis seraya menggaungkan kebenaran.
Dan di saat bersamaan, para elit mampu siuman agar kembali bekerja untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk diri dan golongannya semata.
“Terkhusus bagi aparat penegak hukum agar memiliki integritas dan mampu menegakkan hukum secara benar-berkeadilan demi supremasi hukum itu sendiri,” pungkas Direktur Eksekutif NCMS.
Sementara itu dalam palarannya, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, menegaskan keprihatinnya pada situasi hukum di negeri ini dengan kondisi pembusukan terjadi di berbagai bidang.
Dia tambahkan, parahnya lagi, pembusukan itu kudu dilakukan oleh lembagalembaga tinggi negara, seperti Mahkamah Konsitusi dan Mahkamah Agung sama-sama mengeluarkan putusan bermuatan nepotisme, mengatasnamakan kepentingan kaum muda.
“Sementara Parlemen sedang merumuskan berbagai revisi peraturan perundangan yang berpotensi melemahkan demokrasi dan membatasi hak asasi manusia,” ujar Sulistyowati Irianto.
Dengan nada serupa, Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyebut moralitas, etika, dan integritas merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin di Indonesia.
“Tetapi etika di negeri ini hari-hari ini menjadi tantangan ketika banyak elit politik dan pemimpin negeri mempertontonkan perilaku yang minus etika,” jelasnya.
Bagi Romo Magnis, gagasan tentang etika dan cara hidup bernegara yang benar harus terus digaungkan ke publik agar masyarakat, terutama para elit politik, memiliki panduan moral yang etis dalam berperilaku dan memimpin negeri.
Kontributor : Amhar