(Berpura-pura itu menyakitkan)
Oleh: Agusto Sulistio, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR, Pendiri The Activist Cyber.
Pentingnya KPU menggelar pelaksanaan debat calon presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2024, tidak saja menilai gagasan dan program kerjanya, namun sejauh mana publik mengukur emosi calon Presiden dan wakil presiden Indonesia kedepan yang memiliki tantangan yang jauh lebih sulit dan kompleks.
Debat capres yang telah berlangsung tiga putaran, pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo – Mahfud MG, telah memberikan banyak hal kepada publik, sehingga publik dapat menilai masing-masing kandidat, khususnya menilai tingkat emosional dan gaya kepemimpinan para kandidat.
Pemimpin dengan karakter emosional yang tidak terkendali cenderung kesulitan mewujudkan demokrasi dan mencapai cita-cita bangsa dan negaranya. John Stuart Mill, dalam karyanya yang terkenal “On Liberty,” menyoroti pentingnya kebebasan individu dan peran pemerintah yang terbatas. Mill menekankan perlunya mencegah tirani mayoritas dan melindungi hak-hak individu dari intervensi otoriter.
Pendekatan rasional dan pemikiran yang matang menjadi fokus Mill untuk mendukung pembangunan masyarakat yang adil dan demokratis. Oleh karena itu, ada interpretasi bahwa sifat emosional atau temperamental seorang pemimpin dapat mengancam stabilitas demokrasi dan pencapaian tujuan masyarakat yang diinginkan.
Emosi tempramental yang tidak terkendali dari seorang pemimpin akan mengakibatkan pengambilan keputusan impulsif, kurangnya ketegasan, dan kesulitan dalam menangani konflik secara konstruktif. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan yang rasional, adil, dan mampu mengelola perbedaan pendapat dengan bijaksana untuk mencapai tujuan bersama.
Satu contoh pemimpin yang memiliki karakter emosional adalah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Selama masa kepemimpinannya, Donald Trump dikenal karena gaya kepemimpinan yang seringkali dideskripsikan sebagai emosional dan impulsif. Penggunaan media sosial yang intens, sering kali dengan pernyataan yang tajam dan tanpa filter, mencerminkan aspek karakter emosionalnya.
Pernyataan dan keputusan Trump kadang-kadang memunculkan kontroversi dan dapat menunjukkan dampak emosional pada pengambilan keputusan.
Salah satu contoh kebijakan atau tindakan yang sering dianggap mencerminkan sisi emosional dari Presiden Donald Trump adalah penggunaan media sosialnya, terutama di platform Twitter. Trump seringkali menyampaikan pendapat dan keputusan kebijakan melalui tweet yang cenderung tajam, kadang-kadang tanpa filter, dan terkadang berisi serangan personal terhadap lawan politik atau kritikusnya.
Sebagai contoh, tweet Trump yang mengkritik lawan politiknya, mengecam media, atau mengumumkan kebijakan seringkali disertai dengan gaya bahasa yang kuat dan penuh emosi. Penggunaan media sosial ini sering kali menjadi sumber kontroversi dan memunculkan debat tentang dampaknya terhadap komunikasi politik yang rasional.
Dampak pemimpin emosional.
Gaya kepemimpinan emosional Donald Trump memiliki dampak yang luas dan kompleks bagi Amerika dan rakyatnya. Salah satu contohnya meliputi:
Polarisasi Politik: Gaya komunikasi yang tajam dan kontroversial Trump melalui media sosial cenderung memperdalam polarisasi politik di Amerika. Hal ini kemudian memperburuk ketegangan antarpartai dan mempersulit proses kerjasama dalam pembuatan kebijakan.
Kontroversi Kebijakan: Keputusan kebijakan Trump yang seringkali diumumkan secara impulsif atau emosional dapat memicu kontroversi dan perdebatan yang intens. Misalnya, larangan perjalanan untuk beberapa negara Muslim atau kebijakan imigrasi yang kontroversial.
Hubungan Luar Negeri: Komentar atau kebijakan Trump melalui media sosial atau pernyataan publik seringkali dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan diplomatik dengan negara lain. Ini berdampak pada citra Amerika di tingkat internasional.
Dampak pada Institusi dan Kepercayaan Publik: Gaya kepemimpinan yang emosional dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan. Terutama ketika keputusan dan pernyataan dianggap impulsif, tanpa pertimbangan matang, atau kontroversial.
Perubahan Kebijakan yang Cepat: Kebijakan yang seringkali berubah atau diumumkan tanpa persiapan yang matang dapat menciptakan ketidakpastian di kalangan bisnis dan masyarakat. Keputusan yang bersifat emosional dapat memicu fluktuasi pasar atau reaksi yang tidak terduga.
Mobilisasi Basis Pendukung: Di sisi lain, gaya komunikasi emosional Trump juga dapat berhasil memobilisasi basis pendukungnya. Pemberitaan langsung melalui media sosial memungkinkan dia untuk langsung berkomunikasi dengan basisnya, menciptakan keterhubungan emosional yang kuat.
Dampak ini sangat luas dan tergantung pada perspektif masing-masing individu di dalam dan di luar Amerika Serikat.
Beberapa pemikir politik dan filsuf dunia telah menyuarakan keprihatinan terkait dampak kepemimpinan emosional terhadap sistem demokrasi dan hak asasi manusia.
Para filsuf dunia dan pemikir politik seperti, John Stuart Mill, Alexis de Tocqueville, atau bahkan Plato telah menunjuk atas pentingnya rasionalitas, pertimbangan yang matang, dan pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis. Jika seorang pemimpin terlalu dipengaruhi oleh emosi pribadi atau impuls, hal ini dapat membahayakan integritas dan stabilitas sistem demokrasi.
Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu 7 Januari 2024, 23.45 Wib.