Perjuangan mendobrak pelaku kejahatan seksual yang ‘berlindung di balik hukum adat’

Jul 21, 2022

Keterangan foto: Velmariri Bambari, satu-satunya aktivis perlindungan perempuan dan anak yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual di Lembah Bada, Kabupaten Poso.


Editor: Agusto (Agt/PM – Sumber, foto: BBC)

PikiranMerdeka.com –  Kekerasan, pelecehan seksual kepada wanita terjadi sejak lama. Hal yang mendasari perilaku tersebut tidak saja karena soal kualitas moral seseorang semata, namun banyak hal yang melatarinya, misalnya hukum adat, dogma, minimnya pengetahuan warga dan ketakutan pada suatu hal.

Salah satu contoh perjuangan pendampingan terhadap korban kekerasan perempuan yang dilakukan oleh seorang aktivis perlindungan perempuan, seorang Ibu di Sulawesi.

Ia bernama Velmariri Bambari, seorang ibu rumah tangga dengan kondisi fisik kakinya yang kurang sempurna, satu-satunya pendamping korban kasus kekerasan seksual di Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Dirinya berjuang mendobrak hukum adat demi memenjarakan pelaku kejahatan seksual sekaligus mencari keadilan bagi para korban.

Dengan kruk penopang tubuhnya agar dapat berdiri tegak untuk berjalan, Velmariri Bambari begitu gesit menemui para Majelis Adat di kampungnya, tugas yang sulit, tetapi harus dilakukannya.

Velma, nama sapaannya, berupaya membujuk para anggota Majelis Adat untuk menghapus denda ‘cuci kampung’ yang dijatuhkan pada keluarga korban kekerasan seksual, menurut hukum adat.

Sanksi adat ‘cuci kampung’ dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan yang dianggap telah mengotori nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi masyarakat setempat.

Kekerasan seksual, di wilayah ini kerap kali dilihat sebagai perbuatan zina, sehingga baik pelaku maupun korban kejahatan seksual dijatuhi sanksi adat yang sama.

“Sudah menjadi korban, anak-anak ini harus didenda,” kata Velma, yang baru saja berusia 42 tahun.

Upaya Velma dalam pendampingan para korban terhitung berani. Seorang diri, perempuan yang mengaku taat pada adat ini “mendobrak” aturan-aturan yang sejak kecil menjadi nilai penting dalam hidupnya.

Raut wajahnya nampak memerah marah saat menjawab telepon dari Polsek, “ya, saya segera kesana.”

Tak lama dari itu, ia keluarkan sepeda motor dan memacunya ke Polsek Lore Selatan, yang terletak tak jauh dari rumahnya di Desa Gintu, Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Kruk digenggamnya dengan erat selama motor melaju.

Tiba di Polsek, Velma menghampiri korban dugaan kekerasan seksual yang duduk meringkuk di kursi plastik yang disediakan.

Ibu dan bibi korban, yang menemani pelaporan itu, terisak dan menangis histeris. Kejadian tersebut baru dilaporkan beberapa jam yang lalu.


“Pak, boleh kami ke belakang?” tanya Velma kepada petugas yang mencatatkan laporan itu.

Di halaman belakang Polsek Lore Selatan, remaja 13 tahun itu mendekap erat Velma, sambil terisak tanpa henti. Sementara Velma membisikkan kata-kata untuk menguatkan koban.

Ini adalah kasus kesembilan yang akan ditangani Velma dan perkara kekerasan seksual ketiga yang terjadi pada tahun ini di Lore Selatan.

Kasusnya kini ditangani oleh Polres Poso, dan korban untuk sementara tinggal di lokasi rahasia demi keselamatannya.

Sang ibu, sebut Velma, mengatakan bahwa pelaku terus mengirim pesan singkat bernada ancaman kepada korban.

Hingga Juli 2022, terdapat 26 kasus kekerasan seksual di Kabupaten Poso tahun ini, menurut situs Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Velma mendampingi dua di antaranya, yang terjadi di Lore Selatan.

Kedua korban yang didampingi Velma itu masih anak-anak. “Satu di antaranya anak difabel berusia 15 tahun,” kata Velma.

Ini membuat dia sangat marah. Nalarnya tak mampu lagi mendeskripsikan kejahatan yang dilakukan pelaku yang berusia 60 tahun.


Atas tindakannya dalam lakukan pendampingan korban kekerasan seksual dibawah usia, Velma menjadi orang yang pertama dihubungi, jika ada laporan warga ke Polsek Lore Selatan, ucapnya.

Ini terjadi sejak 2018, ketika Velma memperkenalkan diri sebagai aktivis perlindungan perempuan di desanya.

Empat tahun sebelumnya, pada 2014, Velma bergabung dengan Institut Mosintuwu, sebuah organisasi nirlaba di Poso.

Selain menggelar pelatihan perlindungan anak dan perempuan – yang diikuti Velma selama tiga tahun – organisasi ini juga berfokus pada upaya perdamaian dan keadilan pada saat konflik dan pascakonflik di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya.

Sebuah kejadian menggugah nuraninya sebelum dia bergabung dengan Instistut Mosintuwu. Di desanya, terjadi peristiwa pemerkosaan.

“Anak itu diperkosa, lalu putus sekolah, para pelaku dikenakan sanksi adat tapi tidak dipidanakan,” jelas Velma.

Velma yang kala itu mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, merasa tidak berdaya.

“Saya tidak punya pegangan [bekal pengetahuan] kala itu,” katanya.

Setelah menempuh pelatihan, Velma memberanikan datang ke Polsek Lore Selatan untuk pertama kali dalam hidupnya pada 2018.

Polisi meneleponnya untuk mendampingi korban kekerasan seksual yang tengah melapor.

Di kantor polisi, Velma mengaku terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi kepada korban saat pemeriksaan.

“Saya hidup dalam masyarakat adat, pertanyaan tentang itu [perkosaan] adalah tabu bagi saya yang juga seorang ibu.

“Apalagi ditanyakan kepada korban yang masih anak-anak,” kata Velma. “Korban pemerkosaan itu baru berusia 15 tahun.”

Tak hanya mendampingi korban ketika proses penyusunan berita acara pemeriksaan oleh polisi, Velma juga hadir hingga hakim memutuskan pelaku bersalah di pengadilan.

Tidak berhenti di situ, hingga kini Velma juga masih mendampingi para korban yang kasus hukumnya telah diputus pengadilan.

*Pelaku ‘berlindung di balik hukum adat’*

Ada potensi pelaku kejahatan seksual memiliki impunitas dalam hukum adat, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi.

“Adat tidak menjadikan pelaku mendapat penghukuman lewat hukum positif,” kata Siti.

“Pelaku bisa berlindung di balik hukum adat untuk menghindari hukum pidana.”

Terlebih, kata Siti, sejumlah penelitian di Indonesia menemukan bahwa kebanyakan struktur hukum adat di Indonesia bersifat patriarki.

“Belum ada perwakilan atau kepentingan perempuan. Pengenaan sanksi lebih berbasis kepada ganti kerugian yang nilainya jadi berapa ekor kambing, kuda, lembu atau kerbau,” imbuh dia.

Seseorang yang memiliki kekuatan ekonomi, kata Siti, bisa saja dengan mudah membayar sanksi adat.

“Denda itu tidak memperhitungkan trauma psikis yang dialami korban bertahun-tahun.”

Tetapi, tambah Siti, hukum adat berpotensi berubah karena sifatnya yang dinamis.

Usaha Velma menjadi contoh bagaimana hukum adat dapat berubah menjadi lebih berpihak kepada korban.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang memiliki aturan lebih lengkap soal pemenuhan hak korban, disebut Velma sebagai kabar yang baik.

“Ini angin segar bagi saya sebagai pendamping, juga baik bagi korban,” kata Velma.

Meski begitu, pekerjaannya sebagai satu-satunya aktivis perlindungan perempuan dan anak di Lembah Bada masih jauh dari selesai.

Dia berharap, lebih banyak perempuan mengambil peranan seperti dirinya.

“Semua perempuan dan ibu bisa seperti saya. Apalagi jika mereka ‘normal’. Maksud saya, normal pikiran dan tidak difabel seperti saya, yang memakai tongkat untuk berjalan.”