Dari Hasil diskusi Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta
Pikiranmerdeka.com – Terkait thema diskusi ‘Politik identitas: apakah Inkonstitusional dalam kampanye politik?”, pada bagian pertama, tim redaksi telah memberitakan pokok-pokok pikiran yang disampaikan para narasumber, antara lain Prof. Din Syamsuddin, DR. Ichsanuddin Noorsy dan Dr. Ahmad Yani.
Direktur Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta, Hatta Taliwang, menyampaikan bahwa penyelenggaraan diskusi ini sebagai bentuk kepedulian atas situasi yang berkembang saat ini.
Sebelumnya, jelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi, dalam Pidato Kenegaraannya (16/8) tahun lalu di Gedung DPR/MPR RI, mengingatkan agar tidak ada kampanye yang menggunakan politik identitas, karena dapat memperuncing polarisasi yang telah ada.
Hal senada pun disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam pernyataan yang dilansir dibeberapa media massa pada (7/8/2021). Saat itu Kapolri menghimbau, agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang menggunakan politik identitas dalam kampanye politiknya di Pemilu 2024.
Kapolri pun sebut bahwa perpecahan akibat politik identitas Pemilu 2019 telah terjadi di mana-mana, dan hingga saat ini suasana itu masih ada.
Disisi lain pelarangan penggunaan politik identitas dalam Pilpres tahun lalu nampak kontras. Faktanya Jokowi sebagai incumbent, menggunakan identitas ke-Islamannya untuk menarik basis dari konstituen Islam.
Ia pun mempertegas dirinya tidak anti Islam, yang ditandai dengan menjadikan KH. Ma’ruf Amin, yang juga tokoh ulama ummat Islam, sebagai kandidat cawapres, Jokowi – Maruf Amin.
Terlebih saat itu suasana Pilpres 2019 berhembus kuat dugaan Jokowi anti Islam, akibat banyaknya ulama yang ditangkap, serta pembubaran FPI dan HTI oleh Pemerintahan Jokowi.
Pada bagian kedua ini, kami sampaikan hasil diskusi yang bertajuk “Politik Identitas: Apakah Inkonstitusional dalam Kampanye Politik?” yang telah berlangsung pada
7 September 2022 lalu, yang bertempat di Hotel Ibis, kawasan Menteng, Jakarta Pusat,
Narasumber yang hadir dalam diskusi tersebut antara lain, Prof. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D., Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H, Prof. Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si, Dr. Mulyadi, Ir. H. Sayuti Asyathri, Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA.
Berikut notulensi diskusi bagian ke 2, dari para narasumber, berikut ini.
Dr. Mulyadi
1. Ketika imperialisme atau kolonialisme masuk ke nusantara, maka yang pertama kali dilakukan adalah memecah warga negara.
2. Orang islam yang taat beragama dan melawan kolonialisme disebut dengan Islam kanan, radikal, ekstrimis. Dan, yang tidak taat disebut islam kiri. Yang menerima kolonialisme disebut Islam modern.
3. Situasi saat ini di Indonesia tentang politik identitas sebenarnya adalah preferensi politik
4. Identitas politik adalah identitas yang memiliki power dan otoritas.
Ir. H. Sayuti Asyathri
1. Politik identitas merupakan anugerah dari Allah SWT. Bukan hal yang buruk sebenarnya.
2. Menurut Francis Fukuyama, ada lompatan, ada sesuatu yang disembunyikan oleh argumen politik identitas. Politik identitas berkembang seiring gagalnya demokrasi liberal di Amerika Serikat. Kemudian, timbul suatu identitas yang dianggapnya bermasalah, yakni permasalahan perkawinan lgbt/perkawinan sejenis.
3. Pada statement berikutnya, Fukuyama menggunakan alasan bahwa ada suara yang tidak didengar yakni suara yang berasal dari kalangan islam, yang merasa suara mereka tidak didengar, maka muncullah ISIS.
4. Oleh karena itu, bahwa ada suara-suara innerself yang perlu didengar, maka marilah kita gunakan kesempatan concern public untuk menggali hal-hal yang perlu didengar dan disampaikan.
5. Konsolidasi kekuatan politik yang dilakukan oleh Sukarno merupakan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi, kemudian Sukarno mengeksekusi orang-orang yang berbeda. Dalam hal ini, Sukarno sebenarnya menolak orang-orang yang beridentitas lain, hal ini karena tujuan satu partai tunggal. Liga demokrasi, adalah bentuk penentangan dari gagasan Sukarno atas partai tunggal.
6.Sukarno yang ingin menyingkirkan identitas lain menemui kegagalan, karena pekerjaan terbesar dari gerakan yang menolak identitas Islam/Islam nasionalis, terlalu banyak ditemui penolakan.
7. Konstitusi UUD Pasal 28, menghargai atas hak asasi manusia, yang isinya merupakan penguatan identitas. UU no 2 tahun 2008, asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, ayat kedua, parpol dapat mencantumkan identitas tertentu yang mencerminkan parpol.
Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA
1. Politik identitas tidak serta merta disebut inkonstitusional dalam kampanye politik. Tetapi jika identitasnya yang dilarang oleh uu, yakni identitas tetang komunis atau marxis.
2. Tetapi ada phobia dengan identitas islam, justru membenarkan identitas komunisme, dikatakannya sebagai style. Di sisi lain ada yang mengenakan kaos Habib Rizieq ditangkap.
3. Bahwa kita semua memiliki identitas, dan aneh jika kita menanggalkannya dan membuat aksioma baru. Hal ini tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa dan sebagai umat.
4. Sultan Hamengkubowono ketika membuka Kongres Umat Islam ke tujuh, menyampaikan bahwa Jamiatul Khair di tahun 1903 menyatakan membebaskan diri dari penjajahan Belanda merupakan hukum yang wajib.
5. Identitas ini menegaskan bahwa ini menjadi bingkai dasar tentang kemerdekaan Indonesia. Jong Islamic Bond yang melibatkan diri ke dalam Sumpah Pemuda, kian memperkuat bahwa identitas Islam memiliki pengaruh dalam kemerdekaan.
6. Ketika identitas menyatukan justu jangan sampai menjadikan alat pembelahan.
7. Seharusnya identitas menjadi solusi, menjadi warna, menjadi arah ke depan yang lebih baik, dan menghadirkan masyarakat madani.