Oleh: Agusto Sulistio, Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR Semarang Tahun 90an, Pegiat Sosmed.
Kasus dugaan mega korupsi proyek base transceiver station (BTS) yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika sekaligus politikus Partai NasDem, JGP, dan sejumlah oknum pengusaha lainnya.
Dalam perkembangannya di persidangan bahwa proyek senilai 10 triliun yang telah merugikan 8 triliun rupiah uang negara juga melibatkan oknum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menerima uang dari hasil kejahatan itu sebesar 40 milyar rupiah.
Meminjam ungkapan Tokoh Nasional juga Ekonom Senior, Dr. Rizal Ramli bahwa “kasus korupsi BTS ini merupakan konspirasi tingkat tinggi dan penyelidikan terhadap kasus tersebut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak dapat dipisahkan dari masalah politik dan pengaruh kekuasaan”.
Pendapat mantan Menkomarves dan Ekuin tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Pasalnya kasus korupsi tersebut telah terjadi lama, sekitar dua tahun lalu, namun baru terungkap dan diproses hukumnya di tahun 2023, itupun belum menyentuh sejumlah nama yang dianggap pelaku utamanya.
Kasus ini menambah catatan panjang korupsi di Indonesia, bukan saja karena motifnya yang telah merugikan uang negara dengan jumlah yang fantastis, namun diduga telah melibatkan oknum BPK yang seharusnya menjalankan fungsinya memeriksa semua lalu lintas keuangan dalam proyek ini. Jika terbukti maka kasus korupsi BTS ini merupakan situasi yang sangat serius, karena negara telah diperdaya oleh para pelaku korupsi yang diyakini banyak pihak diduga melibatkan pejabat tinggi negara lainnya yang beraroma politis.
Keterlibatan BPK dan lembaga negara lainnya merupakan situasi serius yang dapat menimbulkan keprihatinan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika terbukti bahwa pejabat negara dan lembaga pengawas seperti BPK terlibat dalam tindak pidana korupsi, maka ini adalah pelanggaran hukum yang serius yang harus diselidiki dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jokowi gagal buktikan janji kampanyenya serta menjalankan amanah reformasi membentuk pemerintahan yang bebas dari KKN. Janji kampanye presiden Jokowi memberantas korupsi fakta yang terjadi malah terus meningkat, bukan saja tingkat nilai uang kerugiannya, namun kerap oknum pejabat dan lembaga negara terlibat. Terstruktur, Masive, Sistematis dan hasil korupsinya dinikmati bersama diantara mereka (kelompok) alias bancakan.
Jokowi yang telah dua periode terpilih pada Pilpres 2014 dan 2019 menjadikan memberantas korupsi sebagai agenda prioritas disamping agenda lainnya. Secara langsung dan tegas Jokowi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tindakan konkret akan si ambil untuk mengatasi korupsi, termasuk dalam kasus korupsi BTS ini.
Berkacalah Pada Kasus Century
Terkait pencegahan dan pengungkapan kasus diperlukan peran masyarakat sipil. Civil Society memiliki peran penting dalam memantau dan mendesak pemerintah untuk bertindak dalam pemberantasan korupsi. Tuntutan masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas dapat memengaruhi kebijakan pemerintah.
Salah satu contoh peran civil society yang signifikan adalah pada kasus “Century” yang melibatkan dugaan korupsi dalam bailout bank Century. Kasus ini saat itu telah menjadi sorotan dan menjadi bagian dari perdebatan mengenai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Atas desakan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani berhenti dari jabatannya dan lewat pengadilan sejumlah oknum pejabat dan swasta dinyatan bersalah dan menjalankan hukuman. Meski ada anggapan dalam kasus Century ada pihak yang diduga tak tersentuh hukum, paling tidak dalam pengungkapan kasus ini telah membuat seorang menteri meletakkan jabatannya.
Yang penting, dalam sebuah demokrasi, akuntabilitas pemimpin terhadap janji kampanye dan tindakannya merupakan bagian integral dari proses politik.
Pemberantasan korupsi adalah usaha berkelanjutan yang memerlukan waktu dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, termasuk presiden, pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sipil. Kegagalan menekan korupsi harus diidentifikasi, dan mengambil langkah-langkah perbaikan yang menjamin terwujudnya integritas dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan.
Presidential Threshold 20% Menyebabkan DPR Lemah
Kasus korupsi di era Jokowi kian marak, ironisnya Lembaga Perwakilan Rakyat tidak menggunakan fungsinya secara serius dan sungguh sungguh untuk mengambil langkah strategis atas janji presiden soal pemberantasan korupsi yang secara nyata korupsi semakin marak dan melibatkan oknum pejabat dan lembaga negara.
Apakah kasus korupsi yang berulang di era pemerintahan Jokowi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia menganggap bukan tergolong kasus yang tidak penting ? Sehingga DPR terkesan lemah. Padahal sejumlah tokoh, pengamat dan lembaga anti rasuah telah mengatakan bahwa kasus korupsi di era Jokowi sudah masuk kategori darurat, khususnya korupsi di sektor pembangunan infrastruktur.
Sudah selayaknya dan saatnya DPR yang dipilih oleh rakyat membuktikan dirinya berius bekerja dan mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara, melayani konstituen yang telah menjadikan para anggota DPR terhormat, memiliki penghasilan besar, fasilitas memadai, memiliki fungsi pengawasandan membuat anggaran dan UU. Hidup rakyat semakin susah akibat pandemi, krisis ekonomi, kesimpulannya hidup rakyat semakin tercekik oleh ulah koruptor mencuri uang negara yang diperoleh dari pajak yang dibayar oleh rakyat.
Pasal 20A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa presiden dapat dipanggil oleh DPR untuk memberikan penjelasan atas isu tertentu.
Dalam Pasal 79B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur pelaksanaan hak angket yang merupakan salah satu mekanisme pengawasan DPR terhadap pemerintah, termasuk presiden.
Dalam hak angket, DPR dapat membentuk panitia khusus untuk menyelidiki suatu masalah yang dianggap penting. Panitia ini memiliki hak untuk memanggil pejabat, termasuk presiden, untuk memberikan keterangan dan bukti terkait masalah tersebut.
Bahkan dalam mensikapi maraknya kasus korupsi DPR bisa melakukan interpelasi yang merupakan mekanisme lain untuk mengajukan pertanyaan dan kritik terhadap kinerja pemerintah, termasuk presiden.
Lemahnya DPR diakibatkan oleh kompromi politik yang dibangun sejak dibentuk koalisi guna memenuhi syarat ambang batas PT 20% agar dapat mengusung kandidat Capres Cawapres pada pemilihan presiden sebelumnya.
Kompromi koalisi partai di pilpres berlanjut ke Gedung DPR. Partai politik yang berkuasa mempengaruhi seluruh parlemen terhadap tindakan keras yang akan diberikan kepada presiden atau pemerintah.
Kemudian proses pemanggilan presiden harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan seringkali aturan yang dibuat telah dirancang sedemikian rupa sehingga dalam prakteknya memerlukan syarat dan waktu yang panjang dan berbelit belit.
Pertimbangan hukum juga dapat memengaruhi apakah presiden dapat dipanggil atau tidak. Ada kemungkinan bahwa kasus korupsi tertentu tidak secara langsung terkait dengan presiden atau jatuh di bawah yurisdiksi penyelidikan yang berbeda. Faktanya selama ini DPR hanya memanggil bawahan presiden.
Melihat kenyataan tersebut maka perlu digaris bawahi bahwa proses politik dan hukum adalah dinamis dan dapat berubah seiring waktu.
Maka untuk mensikapi maraknya korupsi dan lemahnya penegakkan hukum masyarakat dapat memilih untuk mengajukan tekanan politik pada DPR melalui berbagai cara, termasuk demonstrasi, advokasi, atau pemilihan umum, untuk memastikan pertanggungjawaban dan transparansi dalam pemerintahan.
Kekuatan Civil Society Menjatuhkan Presiden
Ada beberapa negara di dunia yang telah mengalami situasi di mana parlemen (DPR) berhasil mengajukan mosi tidak percaya terhadap presiden dan menggulingkannya karena dianggap gagal memenuhi janji kampanye.
Amerika Selatan, Argentina pada tahun 2001, Presiden Fernando de la RĂșa mengundurkan diri setelah melewati masa jabatan yang singkat karena protes massal terkait krisis ekonomi yang parah. DPR juga turut berperan dalam peristiwa tersebut.
Korea Selatan, pada tahun 2004, Presiden Roh Moo-hyun mendekati pemakzulan oleh DPR setelah kontroversi terkait pelanggaran etika dan tindakan-tindakan yang dipandang merugikan pemerintahannya. Namun, pemakzulan tersebut tidak berhasil.
Indonesia, meskipun belum ada kasus pemakzulan yang berhasil terhadap presiden, DPR Indonesia memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses pemakzulan (impeachment) jika presiden dianggap melakukan pelanggaran serius. Hal itu terjadi pada Presiden Soeharto, di mana tekanan publik dan DPR memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri pada tahun 1998.
Kalibata, Jakarta, 29 September 2023.