https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Prof. Din Syamsuddin, Ahmad Yani, Ichsanuddin Noorsy Soroti Politik Identitas di Pemilu 2024 (Bagian 1)

Sep 30, 2022 #Politik identitas

Dari Hasil diskusi Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta.

Pikiranmerdeka.com – Penggunaan politik identitas tak saja menabrak demokrasi, namun diyakini dapat mempersempit ekspresi dan pendapat warga diruang publik. Yang pada gilirannya akan menabrak hak-hak manusia yang telah tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara Indonesia.

Terkait itu, jelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi, dalam Pidato Kenegaraannya (16/8) tahun lalu di Gedung DPR/MPR RI, mengingatkan agar tidak ada kampanye yang menggunakan politik identitas, karena dapat memperuncing polarisasi yang telah ada.

Hal senada pun disampaikan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam pernyataan yang dilansir dibeberapa media massa pada (7/8/2021), Kapolri menhimbau agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang menggunakan politik identitas dalam kampanye politiknya di Pemilu 2024.

Derita Rakyat, proyek dipertahankan, subsidi BBM, Listrik, Gas dicabut

Kapolri pun sebut bahwa perpecahan akibat politik identitas Pemilu 2019 telah terjadi di mana-mana, dan hingga saat ini suasana itu masih ada.

Dalam faktanya, menurut berbagai sumber bahwa selama masa kampanye Pilpres 2019 tahun lalu, Jokowi sebagai incumbent, menggunakan identitas ke-Islamannya untuk menarik basis dari konstituen Islam.

Jokowi saat itu mempertegas dirinya tidak anti Islam. Ia pun mengusung KH. Ma’ruf Amin, yang merupakan tokoh ulama Islam, sekaligus kandidat cawapres Jokowi – Maruf Amin.

Suasana Pilpres 2019 kala itu berhembus kuat dugaan Jokowi anti Islam, akibat oleh banyaknya ulama yang ditangkap, serta pembubaran FPI dan HTI oleh Pemerintah Jokowi.

Menanggapi situasi yang berkembang saat ini, Direktur Institut Ekonomi Politik Sukarno Hatta, Hatta Taliwang menyelenggarakan seminar yang berjudul “Politik Identitas: Apakah Inkonstitusional dalam Kampanye Politik?”

Politik Identitas: apakah inkonstitusional dalam kampanye politik?

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi itu, antara lain Prof. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D., Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H, Prof. Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si, Dr. Mulyadi, Ir. H. Sayuti Asyathri, Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA.

Terkait thema diskusi yang diadakan di Hotel Ibis, 7 September 2022, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, berikut hasil notulensinya.

Notulensi Diskusi Publik
Thema: Politik identitas: apakah Inkonstitusional dalam kampanye politik?

Prof. Din Syamsuddin, M.A., Ph.D

  1. Penyebutan politik identitas seperti metode pendekatan dan memiting lawan secara tidak bertanggung jawab, dan sekarang berkembang sebagai phobia oleh pihak lain. Rasa ketakutan terhadap yang lain adalah bentuk dari inferioritas. Akan tetapi, politik identitas sekadar suatu bentuk kepentingan pada saat menjelang pemilu dan akan hilang seiring waktu.
  2. Sayangnya di Indonesia, politik identitas kerap dituduhkan kepada umat islam.
  3. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada diri manusia. Manusia memiliki identitas, baik skala individu maupun kelompok, dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
  4. Pada Orde Baru, politik identitas dikenal sebagai politik aliran. Politik aliran dikenalkan oleh Clifford Gertz, yakni dikotomi antara santri dan abangan. Abangan dikenal sebagai parpol nasionalis atau parpol yang tidak menggunakan simbol agama secara formalistik, dan santri berafiliasi dengan parpol bernuansa Islam. Seiring waktu, santri menyebar ke berbagai parpol.
  5. Bahwa yang menuduh pihak lain menggunakan politik identitas, justru merekalah yang menggunakan politik identitas. Mereka yang melakukan tuduhan, menganggap identitas yang berlainan adalah musuhnya.
  6. Akan tetapi, Politik identitas ada yang termanifes dan ada yang laten. Ini terkait modus ekspresi.
  7. Politik identitas dianggap sebagai kegagapan wacana global yang mengidentifikasi pasca WTC 9/11. Akan tetapi, penggunaan politik identitas ini dianggap dapat menggerakkan sel-sel yang laten dan membuat Pemerintah AS mengubahnya strateginya menjadi ‘war on terror.’
  8. Keterpilihan Obama sebagai Presiden AS, membuat islamophobia menurun di AS.
  9. Politik identitas beriirisan dengan isu yang mendiskreditkan islam. Jika islam disudutkan maka tidak baik bagi Indonesia, dan berdampak buruk bagi umat yang moderat.

Dr. H. Ahmad Yani, S.H., M.H

  1. Secara sunatullah, kita tidak dapat memisahkan orang Indonesia dengan identitasnya dan menghilangkan identitasnya. Bangsa Indonesia merdeka berkat politik identitas.
  2. Politik identitas adalah sebuah pengakuan dan identitas adalah sebuah given.
  3. Relasi agama dan negara telah diselesaiakan dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam Jakarta adalah sebuah kesepakatan. Perbedaan antara Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD, hanya berbeda 7 kalimat saja. Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tsb.
  4. Justru orang-orang yang menyebarkan isu politik identias berniat menyebarkan disharmoni dan tidak bersesuaian dengan isi Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
  5. Peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 mulai dikembangkan narasi bahwa jika umat islam tidak memilih Ahok akan dicap sebagai politik identitas. Akan tetapi, persoalan pemilihan Ahok bukan saja terkait politik identitas, melainkan rekam jejaknya.
  6. Di India kuat dengan politik identitasnya. Akan tetapi, tidak ada yang mempermasalahkan hal tersebut.
  7. Setiap orang diperkenankan menggunakan identitasnya sebagai inspirasi dan sumber nilai untuk memperjuangkan yang dipercayainya.
  8. Jangan sampai politik identias sebagai alasan untuk menutupi kebusukan politisi yang bekuasa.

Prof. Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si

  1. Identitas adalah nilai, ucapan, dan tindakan, yang melekat pada seseorang, kelompok, golongan, atau suatu bangsa, yang dikenal melalui agama, suku, profesi, yang dikenal lain, sehingga memberi persepsi tertentu.
  2. Identitas terjadi secara alami, pilihan, pemberian, ataupun capaian, yang merupakan tanda pengenal.
  3. Bahwa identitas berarti soal adaptasi, oposisi, atau mengambil cara. Bahkan identitas merupakan suatu perlawanan.
  4. Identitas bukan suatu kedirian, tetapi suatu identitas sosial.
  5. Ada orang yang memiliki identitas di dalam ingroup, tetapi posisinya berada di outgroup, karena dia adalah mata-mata. Ada orang yang memiliki identitas outgroup, tetapi posisinya berada di dalam ingroup, karena memiliki tujuan atau cita-cita yang sama.
  6. Oleh AS politik identitas diidentifikasikan sebagai ‘with us’ atau ‘against us.’
  7. Bahwa di dalam Islam dibagi menjadi empa, berasal dari kata ‘sami’na wa atho’na.’ Sami’na artinya sistem, atho’na berarti pelaku.

a. Munafik, dia mendengar tetapi dia tidak melaksanakan/melawan.
b. Mukmin, dia mendengar dan dia melaksanakan.
c. Muslim, dia tidak mendengar dan dia melaksanakan.
d. Kafir, dia tidak mendengar dan dia tidak melaksanakan.

  1. Identitas ada sejak Adam diciptakan. Kemudian terjadilah penyebaran manusia di berbagai muka bumi, muncullah perbedaan warna kulit, agama, dan mata pencaharian, dan terbentuknya elit budaya dan pemikiran.
  2. Politik identitas di Indonesia adalah agama, jika merujuk pada UUD 1945. Jika merujuk kepada abad 20, maka politik identitas pada suku dan ekonomi.
  3. Identitas di kepemimpinan ada 4 yakni: janitor, operator, fighter, leader.
  4. Kesimpulan:

a. Negara Indonesia adalah negara beragama, itu artinya beridentitas.
b. Identitas agama diakui dan dihormati.
c. Resistensi politik identitas agama karena ahistoris.
d. Bahwa penggunaan istilah yang merendahkan berupa ‘politik identitas’ adalah bentuk ketakutan pada bayang-bayang sendiri
e. Menikmati kuasa dengan karakter transaksional. Tahta untuk harta, harta untuk tahta.

(Agusto/PM – Sumber: MHT, Foto: ilustrasi)