Jakarta – Sebelumnya Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air, antara lain peristiwa tahun 1965-1966, hal itu ia sampaikan usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 11 Januari 2023.
Pernyataan presiden tersebut menuai pro-kontra dikalangan masyrakat, tokoh, akademisi, dll, pasalnya statemen itu dapat menimbulkan persoalan sosial politik dikemudian hari, ditengah keadaan bangsa dan negara sedang tak menentu.
Terkait pernyataan presiden tersebut, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menggelar diskusi publik pada sore tadi, Jumat 24/2/2023 di sekretariat KAMI, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dengan thema “Mengkaji Pernyataan Presiden tentang Pengakuan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu dan Dampaknya bagi Kehidupan Sosial, Berbangsa dan Bernegaraā€¯.
Sebelum masuk dalam agenda clossing statemen yang disampaikan oleh,
Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Panglima TNI Periode 2015-2017, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, didepan peserta diskusi menyampaikan pandangannya dari pengalaman sejarah kelam peristiwa tahun 1965 yang ia alami.
Menurut Prof Edi Swasono, bahwa yang melanggar HAM adalah PKI. Bapak saya dibunuh PKI tahun 1948. Saya melihatnga, dan saat itu usia saya masih 8 tahun. Di Karesidenan Madiun paling banyak korban saat itu.
Maka karena itu, TNI harus bersikap dan membantah pernyataan Presiden terkait permintaan maaf kepada PKI tersebut. Fakta sejarahnya banyak jenderal yang dibunuh, tapi kenapa tidak menjadi perhatian presiden? Yang kejam ith adalah PKI, dan saya melihat sendiri kekejaman itu, ucapnya.
“Presiden sudah beberapa kali melanggar konstitusi. Sesuai UUD 1945 harus ditindak. Jadi saya mengharap ulama dan TNI membuat pernyataan. Kenapa DPR diam saja atas pelanggaran konstitusi. Kalau tidak bisa berfungsi DPR bubarkan saja,” tegas Prof. Edi Swasono.
Edi Swasono pun menambahkan bahwa banyak pelanggaran konstitusi dilakukan oleh rezim ini. Diantaranya soal memumdurkan Pemilu. Pemiku 1 hari saja dimundurkan, maka itu sudah melanggar konstitusi. DPR tidak berfungsi karena tidak menjaga wibawa negara dan melanggar UUD 1945.
Mengakhiri paparannya, Prof Edi Swasono mengajak agar kita bersikap untuk action, terutama TNI. Orang Islam harus marah sebab idiologi komunis jelas berlawanan dengan ajaran islam, apalagi banyak korbannya dari kalangan ulama dan santri. Negara dalam keadaan bahaya. Negara akan menjadi negara komunis. “Should we do – saya menunggu action”.
“Sepasukan kambing dipimpin harimau bisa mengalahkan sepasukan harimau yang dipimpin kambing,” pungkas Prof. Edi Swasono.
Hal lain terkait pernyataan presiden tersebut, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, berpendapat bahwa masalah Pelanggaran HAM ini mendapat perhatian serius dari intenasional.
Indonesia sebagai negara anggota PBB yang mengakui perlindungan terhadap HAM tidak lepas dari sorotan dunia terhadap masalah pelanggaran HAM.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM Berat UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, serta UU No. 26 tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM.
Masalah HAM telah menjadi suatu perhatian utama dan terjadi kepentingan global. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM dalam sejumlah konvensi.
Menurut mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, bahwa sejak kasus Tim-tim selesai, maka tidak ada lagi pelanggaran HAM.
Gatot Nurmantyo dapat memahami apa yang disampaikan presiden dengan tujuan kepada dunia internasional agar dia gagal punya niat baik untuk selesaikan pelanggaran HAM. Tetapi apakah sial inj presiden mengerti? tidak tahu, atau masa bodoh?
Sejak 11 tahun yang lalu anak keturunan PKI boleh berpolitik. Namun hari ini semua lini ada anak PKI, tidak ada yang protes. Itu artinya telah terjadi rekonsiliasi secara alamiah, terang Gatot Nurmantyo.
Sekarang menurutnya bahwa yang terjadi
benar terjadi pelanggaran HAM berat dan saya sangat menyesali. Hal itu akan ditindaklanjuti oleh Menkopolkam mengunjungi para korban hingga ke luar negeri, dan yang di luar negeri boleh pulang kembali ke tanah air.
Terkait itu presiden melakukan hal sebagai kepala negara dan bukan kepala pemerintahan. Presiden tidak boleh melakukan sendiri tanpa persetujuan DPR.
Pengakuan atas pelanggaran ham berat masa lalu itu disampaiakan oleh presiden, maka berarti pelakunya adalah negara. Pertanyaannya, lalu siapa alat negara? Maka, alat negara itu maksudnya adalah ABRI (TNI Polri).
Atas hal tersebut, maka harus ada pelaku yang mengaku dan korban yang mengakui, lalu negara sebagai penengah. Ini yang akan berbahaya.
Soekarno sudah mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena telah mengamankan keluarga Bung Karno, pada saat Proklamasi Kemerdekaan ke 21.
Apakah Bandara Soekarno Hatta akan dihapus?
Pelajaran Pancasila dan Sejarah Perjuangan Bangsa sudah tidak ada. Ilmu bumi juga sudah tidak ada. Apa yang bisa diharapkan dari anak muda mencintai negara, wong wilayahnya saja gak tahu, ujar Mantan Panglima Gatot.
Maka akibatnya kemudian, TNI akan dikucilkan dalam percaturan internasional, seharusnya yang bicara ini TNI aktif, bukan saya. Saya hanya peduli saja, kata Gatot Nurmantyo.
Pada sesi clossing statemen ini, Gatot Nurmantyo sampaikan bahwa ini semua artinya pintu masuk kembalinya Partai Komunis di Indonesia. Umat Islam saat ini diperlakukan seperti tahun 1964-1965. Modusnya sama, dibunuh dimasukkan sumur untuk menghilangkan jejak.
Menurutnya, PKI paling pandai menghapus jejak. Lalu membersihkan dirinya. Terakhir menimpakan kesalahan pada orang lain, dan minta ganti rugi.
Hari ini semua terjadi. Ini semua sudah diingatkan oleh KH Hasyim Muzadi. Saya mengingatkan kepada prajurit untuk ingat sumpah jabatan.
Fakta saat ini, soal keturunan PKI bisa jadi anggota Legislatif adalah Keputusan MK bukan UU, tutup Gatot Nurmantyo.
Berikutnya mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, menyampaikan bahwa pada 11 Januari 2023, Presiden terima Tim dan mengakui ada pelanggaran HAM.
Konsekuensi dari pengakuan itu maka pemerintahan harus memulihkan hal hak mereka dalam bentuk ganti rugi.
Tidak sekadar pengakuan, dampaknya sangat luas TNI akan dicap sebagai penjahat kemanusiaan. Internasional akan dilarang terlihat dalam urusan internasional.
Pengakuan presiden kontradiktif dengan kenyataan, bahwa PKI saya mengalami sejak sekolah. Saat di HMI saya merasakan sendiri bagaimana GMNI saat itu.
Monumen dihancurkan untuk menghilangkan bukti sejarah. Kalau PKI tidak dilawan maka muslim Indonesia akan diperlakukan seperti Uighur.
“Aneh, TNI tidak bergerak saat institusinya dicap melanggar HAM,” pungkas Bachtiar Chamsyah.
Diskusi berjalan lancar, nampak terlihat publik, tokoh, akademisi, mahasiswa, masyarakat dan jurnalis yang hadir antusias menyoroti materi diskusi yang disampaikan oleh narasumber lainnya, Brigjend (Purn) Hidayat Purnomo (Ketum Gerakan Bela Negara), KH. Teten Romly Qomaruddien (PP. Persis & MUI Pusat), Ubedilah Badrun (Sosiolog Politik UNJ), yang dipandu oleh moderator Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
(agusto/pm – foto: ist)