Pikiranmerdeka.com – Sejumlah Parpol yang tak lolos, siang tadi melakukan deklarasi Gerakan Lawan Political Genocide terhadap KPU (Komite Pemilihan Umum).
Deklarasi dilakukan oleh 6 parpol yang tergabung di dalam Gerakan Lawan Political Genocide di Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Senin siang (17/10).
Hadir dalam deklarasi, Ketua Umum Partai Pemersatu Bangsa – Eggi Sudjana, Partai Masyumi – Ahmad Yani, Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai) – Farhat Abbas, Partai Pergerakan Kebangkitan Desa (Perkasa) – Eko Santjojo, Partai Kedaulatan – Tutas Subagyo, dan Partai Reformasi – Syamsahril Kamal.
Presiden Jokowi harus penuhi panggilan pengadilan, bukan pamer akrab dengan “teman” di UGM
TRAGEDI KANJURUHAN: Pemerintah harus bertanggungjawab!
Ketum Parpol Pemersatu Bangsa, Prof. Eggi Sudjana, dalam keterangan resminya melalui telepon kepada redaksi Pikiranmerdeka.com, Senin malam, 17/10/2022, bahwa menurutnya keenam parpol tersebut, pada intinya membuat perlawanan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Eggi menjelaskan mengapa pihaknya menyebut ini “genocide” atau pembantaian terhadap suatu bangsa? Karena kami ini adalah Parpol yang didalamnya terdiri dari warga negara yang merubakan bagian dati suatu bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia. Adapun Parpol yang kami dirikan merupakan saluran politik sebagai hak warga bangsa negara yang dilindungi oleh konstitusi. Lalu kemudian Parpol yang kami dirikan dengan mengikuti aturan KPU, dinyatakan tidak lolos secara sepihak, atau dibantai oleh KPU.
Menurut Eggi, akibat itu parpol kami menjadi korban political genocide, dan lewat deklarasi ini bersepakat melakukan perlawanan lantaran dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon peserta Pemilu Serentak 2024 oleh KPU pada masa pendaftaran bulan Agustus lalu.
Salah satu kesalahan yang dibuat KPU, menurutnya adalah tidak diterbitkannya Berita Acara (BA) untuk parpol-parpol yang dokumen persyaratannya untuk menjadi peserta pemilu tidak dapat dipenuhi di sistem informasi partai politik (Sipol).
Cara MAFIA, mantan Ka.BAIS: jika prosedur penyelidikan awal salah, kita berharap apa?
Bambang Tri: ijazah Jokowi milik Hari Mulyono, mantan suami Idayati, kini istri Anwar Usman
Sementara keenam parpol ini menurut Bang Eggi, panggilan akrab Prof. Eggi Sudjana, telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilu jika dilakukan pemeriksaan dokumen secara fisik, alias tidak dari Sipol.
Sipol dalam proses pendaftaran, menurut Eggi tidak diatur dalam UU 7/2017, artinya Sipol tidak sesuai peraturan perundang-undangan, hanya terdapat pada PKPU, tidak mengikat.
KPU menurutnya bukan pembuat norma, tapi pelaksana norma. Namun yang memiliki wewenang membuat aturan itu adalah Presiden dan DPR (Pasal 5 ayat 1 junto pasal 20 – 21 UUD 45), jelas dalam hal ini KPU telah melampaui wewenangnya.
Bahwa KPU sudah memberlakukan sistem Sipol pada bulan Juni 2022, namun peraturannya dibuat pada bulan juli 2022. Jadi bagaimana KPU melaksanakan Sipol sebelum aturan dibuat? Jelas, dalam kontejs hukum ini bertentangan dengan azas legalitas. Oleh karena itu KPU harus sadar diri dan menganulir semua keputusannya, agar supaya parpol2 yang tidak lolos verifikasi itu harus diloloskan, karena KPU telah bertindak diluar hukum.
Kemudian Eggi katakan, bahwa dari 9 parpol yang sudah eksis, 8 parpol yang tidak lolos, sedangkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) kemudian lolos. Dari 9 parpol tersebut sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Namun ironisnya, 16 partai lainnya tak diberikan kesempatan yang sama seperti 9 parpol itu, akan tetapi pada malam itu juga (14/8/2022) kami bersama 16 parpol lainnya kemudian dibantai KPU, dinyatakan tak lolos. Jelas ini diskriminatif, bertentangan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945, setiap warga negara berkesamaan kedudukannya dalam pemerintahan dan hukum.
Menggugat Ijazah Palsu di samakan dengan Penistaan Agama?
Jenderal Dagang Narkoba, Catatan Delapan Tahun Revolusi Mental Jokowi
Selanjutnya Eggi sampaikan bahwa KPU telah melakukan kebohongan publik. Ketua KPU sebelumnya telah sampaikan bahwa parpol yang lolos maupun tidak lolos akan diberikan Berita Acara. Kemudian sampai detik ini kami sebagai parpol yang dinyatakan tidak lolos belum menerima. Maka logika hukumnya, kami dianggap mati tapi belum ada berita resmi kematiannya. Maka secara ilmu hukum, keberadaan parpol kita masih sah diakui, karena belum ada berita acara.
Lebih parah lagi, parpol ini sebelumnya sudah diverifikasi oleh Menkumham, maka kita mendapatkan SK (Surat Keputusan) lalu kenapa kita harus dibunuh lagi lewat Sipol, yang dalam UU hal itu tidak diatur.
Karenanya Eggi mensinyalir bahwa KPU telah melakukan pembantaian terhadap parpol2 secara terstruktur, sistematis melalui tahapan-tahapan yang dibuat KPU dan masive, yang kenyataannya 16 parpol dibantai oleh KPU dinyatakan gagal.
Prof Eggi tambahkan bahwa keenam parpol yang membuat gerakan perlawanan ini telah menggugat KPU ke Bawaslu, namun mereka merasa tidak mendapat keadilan dari badan penegak hukum pemilu tersebut.
Bawaslu, kata Eggi sebagaimana tugas dan kewenangannya, setelah melihat dan mendengar keterangan, seharusnya menegur dan memerintahkan KPU untuk mengeluarkan berita acara. Bahwa ada hak konstitusional yang harus diterima parpol baik yang memenuhi atau yang tidak memenuhi syarat.
“Dengan tidak diberikannya berita acara sebagai parpol yang dinyatakan gagal menurut KPU, menurut ilmu hukum, bahwa parpol kami masih memiliki nyawa atau kapasitas legal, namun disisi lain kami dinyatakan gagal. Inikan kacau, KPU nggak jelas, Pemilu yang menjadi dasar utama lahirnya kedaulatan rakyat, kualitas penyelenggaraannya macam begini?,” cetus Eggi Sudjana.
(Agt/PM – ES, Foto: Detik)