SEPANJANG hari Senin kemarin, 21 Agustus 2023, di media online dan media sosial ramai diberitakan serta viral peristiwa kedatangan dua tokoh nasional, Dr Rizal Ramli dan Amien Rais ke Gedung KPK.
Ironisnya kedatangan kedua figur yang dikenal sebagai tokoh Perubahan dan tokoh Reformasi ini ditolak KPK dengan alasan mengada-ada.
Penolakan itu sendiri ternyata menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan anti korupsi dan elemen masyarakat yang mencela sikap arogan KPK yang menampik harapan dan niat baik kedatangan kedua tokoh tersebut.
Rizal Ramli, Amien Rais, beserta rombongan yang terdiri dari dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, mantan Danjen Marinir Mayjen (Purn) Suharto, mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Sunarko, aktivis Marwan Batubara, Muslim Arbi, Syafril Sofyan, Rizal Fadilah, Edy Mulyadi, dan puluhan aktivis pergerakan lainnya, tiba di Gedung KPK sekitar pukul 13.30 WIB.
Saat tiba di lokasi Rizal Ramli dan Amien Rais beserta rombongan langsung memberikan penjelasan kepada wartawan tentang maksud kedatangan mereka.
Yaitu untuk memberikan dorongan moril agar KPK tidak tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi, sekaligus juga untuk mendesak KPK supaya persoalan-persoalan KKN Jokowi dan anak-anaknya ditangani secara tuntas.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun sendiri beberapa waktu lalu telah menyampaikan berkas laporan mengenai praktek KKN anak-anak Jokowi yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh KPK.
Rombongan kemudian diarahkan untuk masuk ke pintu kaca menuju ruangan staf dan pimpinan KPK. Namun karena tingginya animo dan antusiasme rombongan untuk mendapat penjelasan mengenai tindaklanjut laporan praktek KKN anak-anak Jokowi, alih-alih mengatur agar audiensi berjalan tertib staf KPK dengan berbagai dalih mengungkapkan berbagai alasan untuk menolak.
Seorang staf mengatakan bahwa hanya dua orang saja yang dapat diterima sebagai perwakilan rombongan.
Kemudian dikatakan yang bisa diterima hanya delapan orang. Aturan ini dipatuhi oleh rombongan. Setelah itu seorang staf tiba-tiba menyatakan bahwa ruangan tidak cukup untuk menampung.
Keinginan untuk dapat bertemu dengan pejabat Humas atau juru bicara KPK juga ditolak dengan alasan sedang sibuk. Harapan dan niat baik para tokoh serta rombongan intinya ditolak mentah-mentah oleh staf KPK dengan alasan yang tidak jelas dan mengada-ada. Sementara itu di luar ruangan nampak sejumlah aparat keamanan disiagakan untuk berjaga-jaga. Sehingga menampakkan ciri represif.
Setelah sekitar satu jam menyampaikan keinginan untuk dapat bertemu dengan pimpinan KPK ditolak akhirnya rombongan meninggalkan Gedung KPK di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan itu, dengan tertib.
Kecewakah para tokoh dan rombongan ? Jawabnya, pasti.
Jika tidak ada Reformasi 1998 yang kala itu digerakkan oleh tokoh-tokoh seperti Amien Rais dan banyak tokoh lainnya, termasuk Rizal Ramli, tentu tidak akan pernah ada KPK di negeri ini.
Di era Presiden Gus Dur Undang-undang KPK mulai dirumuskan dan di era Presiden Megawati Undang-undang KPK dirampungkan untuk diberlakukan.
Embrio terbentuknya lembaga-lembaga anti korupsi dan lembaga pemberantasan korupsi itu sendiri, seperti KPK, dapat ditarik ke belakang, yaitu saat terjadinya krisis ekonomi melanda negeri ini pada 1997-1998.
Momentumnya ialah saat World Bank (Bank Dunia) menawarkan atau mengkampanyekan bantuan untuk negara-negara yang sedang mengalami krisis ekonomi, termasuk Indonesia.
Kala itu Rizal Ramli sebagai ekonom pro kerakyatan yang selalu berpandangan kritis bersama sejumlah tokoh seperti Ali Sadikin, Nurcholish Majid, Gunawan Mohammad, Prof. Lukman Soetrisno, Zumrotin, HS Dillon dan beberapa tokoh lainnya menyampaikan petisi kepada Presiden Bank Dunia, James D. Wolfenshon, oada 4 Februari 1998 di Hotel Four Seasons.
Petisi yang draft-nya disusun oleh Rizal Ramli tersebut dibacakan di Hotel Four Season, di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, di hadapan puluhan tokoh, staf Bank Dunia, media domestik dan internasional.
Inti dari isi petisi tersebut ialah mengkritik korupsi proyek-proyek Bank Dunia dan kesalahan prediksi Bank Dunia mengenai krisis ekonomi Indonesia 1998.
Dalam sebuah kesempatan kepada media massa Rizal Ramli mengungkapkan, James D. Wolfenshon mengajaknya bertemu secara empat mata di suite room Hotel Four Season.
Kepada Rizal Ramli, James D. Wolfenshon berjanji akan menindak Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Denisse de Tray, Denise bukan korup, tapi menutupi kasus2 korupsi proyek2 Bank Dunia di Indonesia.
James D. Wolfenshon juga akan mewajibkan seluruh pejabat Bank Dunia di pusat dan cabang-cabang untuk mengukuti workshop anti korupsi dan good governance selama dua minggu.
“Denisse de Tray dipecat seminggu kemudian,” kenang Rizal Ramli mengingat kejadian 25 tahun yang lalu itu.
Petisi inilah yang kemudian mendorong Bank Dunia untuk memulai program-program anti korupsi.
Bank Dunia bahkan mengajak negara-negara Uni Eropa untuk membiayai gerakan anti korupsi di Indonesia melalui “Partnership for Governance” yang kala itu HS Dillon ditunjuk sebagai ketuanya dari Indonesia.
Partnership ini yang kemudian membiayai lembaga-lembaga anti korupsi di Indonesia, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lainnya, termasuk cikal bakal lahirnya dan didirikannya lembaga pemberantasan korupsi, yaitu KPK untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.
Membaca sekelumit kisah ini tentu rakyat berharap jangan sampai KPK selamanya menjadi semacam anak durhaka yang lupa diri dan tak amanah kepada maksud dan tujuan didirikannya.
(Agt/PM – AG)
Niat Baik Tokoh ke KPK Disambut Dengan Arogansi Birokrasi
Saksikan berita liputannya.