https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

RUU KUHP penghinaan Presiden antara pasal karet dan bayang-bayang subversif

Jul 17, 2022

Oleh: Agusto Sulistio

Proses pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Kitab Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) masih berlangsung. Menurut rencana proses pembahasan akan dilakukan kembali setelah masa reses DPR-RI selesai, sekitar akhir Agustus 2022.

Terkait RUU KUHP terjadi pro-kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Dari pantauan yang dihimpun dari berbagai media, mayoritas perdebatan, salah satunya terfokus pada  soal aturan / draft penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Penolakan terkait RUU tersebut telah menimbulkan berbagai gejolak di Masyarakat, seperti terjadinya aksi demonstrasi yang dilakukan sejumlah Mahasiswa di berbagai daerah.

Ditengah keadaan ekonomi nasional yang telah berduka akibat naiknya harga-harga dan langkanya beberapa bahan kebutuhan rakyat, kita dihadapkan dengan aturan tentang wibawa presiden. Sehingga terasa semakin sulit dan terancam saat kita ingin mengevaluasi, menilai atau mengkritik kualitas kerja pemimpin atas keadaan yang dirasakan sehari-hari oleh kita.

Seiring dengan keadaan sehari-hari masyarakat, pembahasan aturan itu masih terus berlangsung antara pihak Pemerintah dibawah Kementerian Hukum dan HAM dengan DPR-RI.

Meski penyampaian pendapat warga masih terjadi namun RUU ini menyisakan kekhawatiran dan kegelisahan ditengah keadaan hidup yang kian berat ini.

Ironisnya Pemerintah masih mempertahankan pasal tersebut, hal itu terlihat saat Edward Omar Sharif Hiariej Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham),  Rabu (6/7/2022), menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) kepada Komisi III DPR RI.

Dalam keterangannya, ia mengatakan, salah satu isu krusial yang masih dipertahankan adalah penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, Edward memastikan ada penjelasan tambahan mengenai perbedaan kritik dan penghinaan.

Sejauh mana kritik dan penghinaan yang dimaksud oleh Wamenkumham tersebut? Bahwa dalam kenyataannya ditengah pembahasan RUU tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, RUU ini masih menimbulkan perdebatan, pertanyaan dan kekhawatiran publik.

Kekhawatiran RUU pasal penghinaan presiden ini akan menjadi pasal karet. Pasal yang bisa setiap saat membungkam kebebasan berpendapat masyarakat sebagai mana yang telah dijamin oleh UUD 1945. Pasal yang bisa berbuat atas nama negara kepada mereka yang mengkritik atau menyampaikan pendapatnya atas kinerja pemimpin atau pemerintah.

Aturan yang mengatur kehormatan dan wibawa pemimpin negara ini, jika pengambilan keputusannya tak diatur sebaik mungkin dengan melibatkan masyarakat luas, maka keputusan yang lahir bisa saja tidak mewakili kepentingan masyarakat luas, dan cenderung bertentangan dengan konstitusi tentang kebebasan berpendapat.

Hal itu akan mengingatkan kita kepada masa-masa kelam disaat Pemerintah melindungi kekuasaannya dengan menerapkan pasal karet dengan pemberlakuan UU Subversif, seperti yang pernah diberlakukan dimasa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

Saat itu ruang kehidupan demokrasi, menyampaikan pendapat masyarakat tersumbat dan dibatasi oleh aturan yang jelas mengingkari HAM, Demokrasi dan Konstitusi. Hingga akhirnya setiap kritik dan pendapat publik selalu berurusan dan dengan hukum, dan tak sedikit mereka dijebloskan ke penjara.

*Sekilas UU Subversif*

UU Subversi sejak lama bersifat konvensional sejak diundangkan dalam bentuk Penetapan Presiden No. 11 tahun 1963. Bentuk peraturan yang demikian bukan hal yang aneh karena sebelumnya banyak ditemukan pada masa Orde Lama. Dalam prakteknya bahkan hampir setara undang-undang.

Setelah Orde Lama tumbang, pemerintah Orde Baru berupaya melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, memang ada tindakan-tindakan untuk meninjau kembali berbagai Penpres yang dibuat Orde Lama. Dalam kaitan itu pemerintah bersama DPR masih menganggap perlu mempertahankan Penetapan Presiden Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi 1963. Hal itu dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 dan menetapkannya menjadi undang-undang.

Saat itu diawal Orde Baru UU Subversif nampaknya dimaksudkan untuk mengadili pelaku-pelaku peristiwa gerakan 30 September. Dengan demikian undang-undang yang berasal dari Penpres itu sangat efektif dan fungsional. Tetapi setelah keadaan normal kembali, penerapan undang-undang tersebut menjadi tidak efektif dan melebar, sehingga hampir ruang menyampaikan pendapat dan berekspresi dimuka umum yang dijamindalam UUD 1945 menjadi hal yang tahu dan terlarang.


Apabila dugaan RUU KUHP kemudian menjelma menjadi pasal karet atau UU Subversif, akibat diputuskan tanpa memperhatikan konstitusi negara terkait kebebasan berpendapat, serta berpedoman pada HAM dan Demokrasi, maka sesungguhnya negara telah melakukan praktek hukum yang lebih kejam dari praktek ekonomi kapitalisme dan oligarki sekalipun, sebab prinsip hidup warga negara dihilangkan dan kekuasaan akan bertindak lebih sewenang-wenang.

Kembali ke pokok persoalannya, pembahasan yang saat ini masih berlangsung antara Pemerintah dan DPR, agar kedepannya penerapan pasal ini tidak menimbulkan gejolak sosial dan tidak menodai konstitusi UUD 1945, maka Pemerintah dan DPR harus segera membuka ruang pendapat publik secara luas dengan benar dan transparan.

Sehingga pasal penghinaan presiden (RUU KUHP) ini dapat memberikan penjelasan secara detai, serta batasan aturan yang komprehensif dan memiliki kepastian hukum yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara tentang jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi dimuka umum.