https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Siasat KPU Mempermulus Jalan Partai Politik

Jun 28, 2023

Oleh: Brahma Aryana
Mahasiswa Fakultas Hukum UNUSIA & Divisi Monitoring KIPP Indonesia

Rapat Dengar Pendapat (RDP) di parlemen pada 29 Mei 2023 saat itu menjadi salah satu momen unik dalam proses pelaksanaan pemilu kali ini. Pembuat peraturan kampanye (dalam hal ini KPU) dan yang hadir sebagai pemberi masukan (Bawaslu, DKPP, komisi II DPR, dan Kemendagri) kurang menempatkan perhatian yang serius pada pembahasan dana kampanye dan praktik berkampanye.

Bagaimana tidak? Pengaturan yang sudah jelas berguna sebagai sarana transparansi dan akuntabilitas dana kampanye, yaitu Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), justru ingin dihapuskan oleh KPU.

Mereka para anggota Komisi II yang biasanya mengkritik setiap rancangan peraturan yang dibuat KPU, justru dalam momen tersebut tidak mengomentari sepatah kata pun untuk menanggapi dihapuskannya LPSDK. Apakah mungkin agar memudahkan mereka yang ingin nyaleg kembali, sekaligus mempermudah kerja-kerja operator parpol nantinya ketika LPSDK ini dihapuskan?

Para pihak yang hadir dalam RDP tersebut pun terlalu fokus untuk membahas dan mengulas kekokohan kotak suara yang nantinya akan dipergunakan dalam Pemilu 2024.

Tidak salah memang. Namun juga tidak sepenuhnya benar. Karena dihapuskannya LPSDK atas usul KPU itu cukup membahayakan. Sebab, hal tersebut akan menghilangkan sakral dalam mengimplementasikan pelaksanaan asas jujur dan akuntabel untuk pelaksanaan pemilu.

Pelaporan dana kampanye yang dipublikasikan secara transparan dan akurat ini, berguna untuk memenuhi prinsip akuntabilitas. Akuntabilitas itu sendiri merupakan hal yang prinsipil dalam proses demokrasi procedural. Prinsip akuntabilitas memastikan tanggungjawab partai politik dan calon bahwa dalam mendapatkan dan membelanjakan dana kampanye itu berlangsung rasional, sesuai etika, dan tidak melanggar peraturan (Supriyanto & Wulandari, 2013).

KPU Terlalu bersemangat Mengakomodir Kepentingan Parpol?

Sebenarnya, kompetensi para pihak yang hadir (Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan Anggota Komisi II DPR) dalam RDP tersebut sangat mempuni untuk mengomentari usulan dihapuskannya LPSDK oleh KPU. Hal ini karena, alasan dari dihapuskannya LPSK pun sangat mudah untuk dipereteli ulang.

Pertama, KPU beralasan bahwa LPSDK tidak diatur dalam UU Pemilu. Dari alasan pertama ini, KPU seakan amnesia atas kebijakan yang sempat dijalankannya pada saat mempergunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) sebagai syarat utama lolosnya parpol saat pendaftaran. Padahal, penggunaan Sipol tidak diatur dalam UU Pemilu. Mengapa terjadi inkonsistensi penalaran hukum ketika mengusulkan dihapuskannya LPSDK?

Memang, secara normatif LPSDK tidak diatur secara rigid dalam UU Pemilu. Mengingat, begitulah defaultnya sebuah peraturan. Ia senantiasa bersifat umum. Namun dalam hal ini, KPU baik secara personal maupun kelembagaan, kurang memahami esensi demokrasi kekinian. Terlebih di era digitalisasi politik, di mana sekat format sudah tidak lagi memiliki tempatnya.

Secara teoritis, KPU merupakan lembaga negara independen dan memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri (self regulatory agencies), sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya kemudian, apakah penyerahan LPSDK bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sekalipun tak pernah disebutkan secara spesifik dalam UU Pemilu?

Padahal, ketentuan mengenai besaran sumbangan dana kampanye, diatur cukup rigid dalam Pasal 326 dan 327 UU Pemilu. Yaitu, jika sumbangan dana kampanye Pemilu dan Pilpres berasal dari Badan Hukum Usaha, maka jumlahnya maksimal 25 miliar untuk satu kali menyumbang. Sedangkan, jumlah sumbangan dana kampanye untuk Pemilu dan Pilpres kategori perseorangan, dibatasi maksimal 2,5 miliar.

Lantas, bagaimana masyarakat dapat mengetahui secara gamblang, bahwa para peserta pemilu yang berkampanye nanti menerima sumbangan dana kampanye yang sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, jika LPSDKnya dihapuskan?

Kedua, jika memang alasan dari dihapuskannya LPSDK itu karena masa kampanye yang terlalu sempit, itu sudah jadi konsekuensi dari tersendiri bagi parpol sebagai pembuat laporan dan bagi KPU sebagai verifikator. Kerumitan dalam arena politik memanglah demikian. Dan, seharusnya, pengerjaan LPSDK tentu suatu hal yang mudah bagi parpol. Karena pengerjaan LPSDK sudah pernah dilakukan sebeleumnya oleh parpol. Jadi, sangat aneh jika LPSDK mempersulit kinerja parpol.

Lagi pula, sudah sejak lama, masukan dari masyarakat sipil dan pegiat pemilu yang mengkritisi pelaksanaan kampanye yang hanya 75 hari itu. Sudah jelas bahwa tidak akan efektif untuk pelaksanaan kampanye. Konsekuensinya bukan hanya LPSDK yang jadi korbannya. Tetapi juga, tidak tegasnya Bawaslu untuk menindak para peserta pemilu yang melakukan kegiatan yang bernuasa kampanye dan memasang alat peraga kampanye sebelum waktu kampanye dimulai.

Sampai saat ini, belum ada satu pun pelanggaran atas hal tersebut. Padahal, dilingkungan sekitar kita, sudah banyak alat peraga kampanye yang merusak

Ketiga, KPU beralasan bahwa LPSDK itu sudah termuat dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), serta juga tercantum dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam). Padahal secara nomenklatur, antara LPSDK dengan LADK dan LPPDK saja sudah berbeda. Artinya, berbeda pula substansi pelaksanaan dan kegunaannya.

Secara filosofis, LPSDK dipergunakan sebagai dorongan bagi peserta pemilu bertindak jujur dalam melaporkan penerimaan sumbangannya, setelah laporan penerimaan sejak LADK diserahkan hingga pertengahan masa kampanye. Selain itu, LPSDK juga berguna sebagai instrumen pengawasan secara paralel dari masyarakat, sekaligus dapat mempengaruhi kecenderungan pilihan yang akan ditentukan oleh pemilih pada saat hari pencoblosan nanti.

Alasan diakomodirnya LPSDK dalam LADK dan LPPDK inilah yang sulit untuk dipahami dipahami. Bahkan, secara formiil dan materiil pun, ketiga jenis laporan itu tidak dapat disejajarkan. Karena, secara formil, LADK dan LPPDK merupakan suatu laporan dana, sebelum, dan setelah masa kampanye.

Sedangkan, LPSDK dilakukan ketika masa kampanye berjalan. Kemudian, LADK berisi sumber perolehan dana awal peserta pemilu yang ada dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK), lalu LPPDK sendiri merupakan keseluruhan penerimaan dan pengeluaran peserta pemilu, selama masa kampanye.

Jadi, dalam LPSDK lah termuat satu-satunya instrumen yang dipergunakan oleh pemilih untuk melakukan pengecekan dari aspek transparansi dan keterbukaan peserta pemilu.

Kendatipun KPU tetap memerintahkan para peserta pemilu untuk melaporkan segala dana yang masuk untuk berkampanye ke dalam Sidakam, apakah sudah terjamin bahwa masyarakat dapat diberi kebebasan mengakses informasi pada Sidakam?

Mengingat sistem informasi yang sudah-sudah, seperti Sipol dan Silon saja, masyarakat sulit mengakses. Bahkan Bawaslu yang dijamin kewenangannya untuk mengawasi segala pelaksanaan pemilu pun, juga dibatasi.

Dalam hal ini, jika kita menengok sedikit pada pemilu sebelumnya, masyarakat dapat dengan bebas mengakseses hasil transparansi sumbangan dana kampanye yang diterima oleh peserta pemilu, karena dalam hal ini, LPSDK yang disetorkan kepada KPU, kemudian dipublikasikan oleh KPU untuk dicermati oleh masyarakat.

Osteoforosis Kualitas Pemilu

makin melemahnya kinerja KPU dalam menunjukan komitmennya terhadap penyelenggaraan pemilu yang antikorupsi dan akuntabel ini lah yang perlu dipertanyakan. Karena pasca pemilu, selalu jadi pengalaman buruk bagi masyarakat. Selain berkembangnya polarisasi, turut juga melahirkan koruptor dengan berbagi modus operandi.

Pada tahun 2022, Transparency International Indonesia (TII) menyampaikan laporan yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami tantangan serius dalam upaya melawan korupsi. Indeks Persepsi Korupsi berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 110 dari 180 dari negara yang disurvei.

Skor tersebut merupakan penurunan paling drastis sepanjang pengukuran indeks yang dilakukan di Indonesia. Hal itu terjadi karena respon terhadap praktik korupsi cenderung lambat, bahkan memburuk akibat tidak adanya terobosan kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk praktik korupsi politik.

Mengingat, salah satu titik rawan penyelenggaraan Pemilu 2024 adalah meningkatnya potensi pelanggaran aturan dana kampanye. Walaupun, tentu saja mesin dan aktor politik yang berkompetisi memerlukan dana yang sangat besar untuk memastikan kemenangan.

Terlebih, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menemukan adanya indikasi penggunaan uang peredaran narkoba untuk kontestasi Pemilu 2024 di sejumlah daerah. Sebelumnya pada bulan Februari lalu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengungkapkan potensi pendanaan pemilu dari hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jumlah yang berpotensi pun sangat fantastis, karena Kepala PPATK tersebut menyebutkan di kisaran triliunan rupiah. Menurutnya, salah satu pidana asal TPPU adalah dari sektor kejahatan sumber daya alam, seperti pertambangan.

Pelaporan dana kampanye merupakan hal penting dalam praktik demokrasi procedural, baik di tingkat pusat, maupun daerah. Menurut Gilbert, pelaporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye ini dapat mendukung tegaknya peraturan dana kampanye, mengontrol korupsi, dan menginformasi pemilih (Gilbert, M. D. Campaign Finance Disclosure and the Information Tradeoff, 2012).

LPSDK jadi salah satu instrumen kunci untuk mencegah TPPU dan kejahatan koruptif lainnya terjadi. Dan, jika memang jadi disahkan, Bawaslu perlu bekerja ekstra untuk mengawasi proses pelaporan dana kampanye yang menjadi pincang setelah LPSDK dihapuskan. Tidak hanya itu, Bawaslu juga perlu melakukan koordinasi yang intens dengan PPATK untuk mencegah tindak pidana pencucian uang – yang sebagaimana kerap menjadi temuan dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

DKPP pun dalam hal ini perlu berkonsentrasi penuh. Karena, dugaan terhadap pelanggaran penyelenggara pemilu sudah semakin kental terasa. Dari mulai gugup-gagapnya Bawaslu dalam mengawasi dan memproses temuan. Sampai kepada kesewenangan KPU membuat peraturan yang tidak memenuhi asas pelaksanaan pemilu.

Di kala keadaan kualitas pemilu yang semakin keropos ini, masyarakat tentu hanya bisa berharap kepada mereka yang menyandang status sebagi wakil rakyat. Jangan sampai kesibukan ingin kembali berkuasa, sampai melupakan substansi kata Perwakilan Rakyat dalam DPR. Hal ini agar kata tersebut tidak jadi sebatas nama nomenklatur saja, namun, implementasinya nyaris kurang mewakili suara rakyat dan malah justru sibuk untuk kembali-memperpanjang kuasa pada 2024.

(Agt/PM)