Oleh: Agusto Sulistio, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90-an.
Efektifitas KPK dalam pencegahan dan penindakan kasus korupsi semakin diragukan. Meski menjadi lembaga independen, respon KPK terhadap dugaan Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai 349 Trilyun dan kasus mega korupsi lainnya dinilai lemah. Misalnya ketika Menkopolhukam, Mahfud MD mengungkap temuan Satgas TPPU terkait adanya import emas batangan senilai Rp. 189 Trilyun melalui Bea Cukai di tahun 2017 agar menjadi agenda prioritas untuk ditindaklanjuti. Terkait ini, Mahfud MD telah menyebut nama Heru Pambudi mantan Dirjen Bea Cukai yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Kementrian Keuangan RI.
Dalam konteks pengungkapan kasus TPPU senilai 349 Trilyun, KPK terkesan pasif dalam merespon rekomendasi Satgas Penyelesaian TPPU. KPK sebagai lembaga independen seharusnya lebih responsif terhadap kasus pencucian yang merugikan negara dan rakyat sebanyak itu. Kepekaan dan respons terhadap kasus pencucian seharusnya menjadi inti dari peran KPK, dan pasifnya KPK dalam menghadapi kasus sedemikian besar patut diduga melibatkan pejabat tinggi negara, terlebih jelang pemilihan presiden 2024 yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan anggaran dan wewenang.
Entah apa yang melatarbelakangi, dibalik kemelut kasus mega korupsi serta dugaan kasus TPPU 349 Trilyun ditengah pro kontra Pemilihan Presiden 2024, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memberikan penghargaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara Anugerah Reksa Bandha pada 22 November 2023 menimbulkan berbagai pertanyaan.
Meskipun penghargaan tersebut diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi KPK dalam pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), sorotan publik semakin intens mengingat secara fakta terdapat kontroversi seputar kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Apalagi jika dikaitkan dengan kemelut dugaan kasus Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU) Rp. 349 Trilyun yang kini ditangani oleh Satgas Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU). Total 349 T dalam kasus pencucian uang tersebut adalah jumlah terbesar sepanjang republik ini berdiri.
Pertanyaan dasarnya, apakah KPK benar-benar mencapai hasil signifikan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, ataukah penghargaan Reksa Bandha yang diberikan Menkeu Sri Mulyani ini lebih bersifat seremonial atau politis? Dalam konteks ini, peran Mahfud MD (Ketua Satgas TPPU) sebagai penunjuk arah menambah dimensi kritik terhadap kinerja lembaga antikorupsi serta dugaan adanya konspirasi dibalik kasus dugaan TPPU 349 Trilyun dan mega korupsi lainnya.
Keputusan memberikan penghargaan kepada KPK menjadi pemandangan yang lebih kompleks ketika nama Ketua KPK, Firli Bahuri, terlibat dalam kontroversi kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Presiden Joko Widodo lewat Keputusan Presiden menghentikan sementara Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, mengundang keraguan atas kebijakan memberikan penghargaan dan dampaknya terhadap citra lembaga dan pemerintah.
Dalam konteks transparansi informasi publik, dari kerumitan kasus ini civil society dan seluruh komponen masyarakat diharapkan mengkritisi ketidakresponsifan KPK terhadap kasus sebesar 349 Trilyun, terutama setelah adanya dorongan tegas dari Menkopolhukam terkait temuan penyelidikan kasus ini yang diantaranya dilakukan oleh oknum dilingkungan Kementerian Keuangan RI.
KPK perlu memberikan penjelasan dan tindakan yang lebih proaktif terkait kasus ini. Terlebih lagi, dengan meningkatnya kebutuhan untuk melibatkan lembaga antikorupsi dalam kasus sebesar ini, ketidakterlibatan yang terus-menerus dapat meragukan efektivitas dan keandalan KPK sebagai penegak hukum.
Ketidakpastian terkait efektivitas KPK dalam menangani kasus korupsi dan pencucian uang menjadi catatan serius bagi masyarakat dan pemerintah. Masyarakat berhak mengetahui apakah langkah-langkah pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, ataukah perlu adanya reformasi dan peningkatan kinerja lembaga antikorupsi.
Dengan demikian, melibatkan KPK secara lebih proaktif dan transparan dalam kasus TPPU 349 Trilyun menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan pemberian penghargaan dan kasus-kasus kontroversial tidak menggerus kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tersebut.
Jangan sampai kasus mega korupsi yang telah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat menguap dan hilang begitu saja oleh karena adanya kelemahan hukum akibat kekuatan politik yang dikesankan sebagai bentuk pembiaran negara, kemudian upaya melemahan civil society sebagai kekuatan kontrol kekuasaan, yang dapat menimbulkan dugaan melanggengkan kepentingan pribadi atau kelompok, khususnya terkait suksesi pemilihan presiden 2024 mendatang.