https://pikiranmerdeka.com

Wujudkan Demokrasi

Tamparan Keras Untuk Sri Mulyani dan Heru Pambudi Ditengah Pusaran Dugaan Kasus TPPU Rp.349 Trilyun

Des 6, 2023 #Agusto Sulistio

Oleh: Agusto Sulistio, Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR Era 90-an.

Keputusan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memberikan penghargaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam acara Anugerah Reksa Bandha pada 22 November 2023, Ketua KPK, Firli Bahuri, diberikan penghargaan khusus oleh Sri Mulyani dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Rionald Silaban.

Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi terhadap kontribusi KPK dalam pengelolaan Barang Milik Negara (BMN), sejalan dengan strategi nasional dalam pencegahan korupsi. Namun, keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengingat kontroversi seputar kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Sorotan publik terhadap kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang semakin meningkat, membuat masyarakat mempertanyakan keputusan memberikan penghargaan kepada lembaga antikorupsi. Kinerja KPK dinilai masih memunculkan pro kontra, terutama dalam hal penanganan kasus-kasus korupsi yang belum memuaskan.

Penting untuk mempertanyakan apa yang melatarbelakangi keputusan Sri Mulyani dalam memberikan penghargaan ini. Apakah KPK benar-benar mencapai hasil signifikan dalam pencegahan korupsi, ataukah penghargaan ini lebih bersifat seremonial? Pertanyaan tersebut menggugah opini publik terkait efektivitas KPK sebagai lembaga antikorupsi di Indonesia ditengah kemelut dugaan kasus TPPU senilai 389 Trilyun.

Penghargaan tersebut perlu dijadikan dasar kritis mengevaluasi apakah langkah-langkah yang diambil oleh KPK sudah sesuai dengan harapan dan tujuan pemberantasan korupsi. Analisis mendalam perlu dilakukan untuk memahami kontribusi nyata KPK dalam memitigasi risiko korupsi di tingkat nasional.

Dalam konteks transparansi informasi publik, masyarakat berhak mengetahui apakah langkah-langkah pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, ataukah perlu adanya reformasi dan peningkatan kinerja lembaga antikorupsi yang lebih komprehensif.

Pemberian penghargaan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, kepada Ketua KPK, Firli Bahuri, terdapat pro kontra di masyarakat. Penulis menyatakan bahwa penghargaan ini tidak sesuai dengan realitas, karena kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dinilai belum mencapai hasil positif dalam pencegahan dan penindakan kasus korupsi. Proses penyelidikan KPK juga disorot karena dianggap masih tebang pilih dan belum menyentuh pelaku utama.

Hal itu juga disampaikan Menko Polhukam, Mahfud MD, yang mengakui adanya pelanggaran di lembaga eksekutif dan yudikatif yang melemahkan penegakan hukum di Indonesia. Transparency International juga mencatat dugaan penyimpangan di bea cukai dan perpajakan sebagai faktor penurunan Indeks Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 menjadi skor 34.

Menjadi wajar kemudian perlunya mempertanyakan relevansi penghargaan Reksa Bandha yang diberikan Sri Mulyani kepada Firli Bahuri. Berdasarkan fakta yang ada, kinerja KPK dinilai belum memberikan prestasi membanggakan dalam memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ironisnya, praktik korupsi terus meningkat secara sistematis dan melibatkan oknum pejabat negara.

Tamparan keras untuk Sri Mulyani

Keputusan memberikan penghargaan kepada KPK disoroti karena membawa dampak negatif. Nama Firli Bahuri, yang mendapatkan penghargaan, kemudian terseret sebagai tersangka kasus pemerasan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Presiden Joko Widodo merespons dengan menghentikan sementara Firli Bahuri sebagai Ketua KPK melalui Keputusan Presiden pada 24 November 2024. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kebijakan pemberian penghargaan dan dampaknya terhadap citra lembaga dan pemerintah.

Dalam konteks pengungkapan kasus dugaan Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai 349 Trilyun, KPK terlihat pasif dalam merespon rekomendasi Satgas Penyelesaian TPPU. Meskipun lembaga independen, KPK seharusnya lebih responsif terhadap kasus pencucian yang merugikan negara dan rakyat sebanyak itu.

Menkopolhukam Mahfud MD, juga sebagai ketua Satgas TPPU, menegaskan bahwa temuan Satgas harus menjadi prioritas bagi lembaga terkait. Satgas menyelidiki keterlibatan Dirjen Bea Cukai pada tahun 2017 dalam impor emas batangan senilai Rp. 189 Trilyun, yang diduga menyebabkan kerugian pemasukan pajak negara.

Terkait hal ini publik diharapkan mengkritisi ketidakresponsifan KPK terhadap kasus sebesar 349 Trilyun, terutama setelah dorongan tegas dari Menkopolhukam tersebut. Sementara kepekaan dan respons terhadap kasus pencucian seharusnya menjadi inti dari peran KPK, pasifnya dalam menghadapi kasus sedemikian besar mengejutkan banyak pihak.

Ke depannya, diharapkan KPK dapat memberikan penjelasan dan tindakan yang lebih proaktif terkait kasus TPPU ini. Seiring meningkatnya kebutuhan untuk melibatkan lembaga antikorupsi dalam kasus sebesar ini, ketidakterlibatan yang terus-menerus dapat meragukan efektivitas dan keandalan KPK sebagai penegak hukum.

“Sekjen Menkeu Diduga Terlibat”

Dalam kasus dugaan Tindakan Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai 349 Trilyun yang diungkap oleh Satgas TPPU, Menkopolhukam Mahfud MD mencatat dua nama pejabat Kementerian Keuangan, Heru Pambudi dan Sumiyati, terkait transaksi senilai Rp 189 triliun yang merupakan dari rangkaian TPPU 349 T, pada impor emas batangan tahun 2017. Menariknya disini mantan Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi kemudian menjadi Sekjen Menteri Keuangan, pertanyaan tentu semakin kompleks.

Mahfud MD menjelaskan bahwa laporan PPATK terkait dugaan TPPU ini diterima oleh Heru Pambudi saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu. Namun, Heru Pambudi mengklarifikasi bahwa laporan tersebut berkaitan dengan penyelidikan DJBC terhadap tindak pidana kepabeanan pada awal 2016 dan pihaknya telah melakukan tindak lanjut setelah menerima laporan pada 2017.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memberikan penjelasan bahwa temuan senilai Rp 189 triliun tersebut berasal dari tindakan pencegahan ekspor emas yang dilakukan DJBC pada Januari 2016. Proses penyelidikan dan peradilan kemudian berjalan dari 2017 hingga 2019, di mana Bea Cukai (BC) awalnya kalah, tetapi kemudian memenangkan kasasi. Pada peninjauan kembali (PK) tahun 2019, BC kembali kalah, dan pengadilan memutuskan tidak terbukti tindak pidana kepabeanan.

Namun, ketika tindak pidana kepabeanan tidak terbukti, penyelidikan terkait TPPU 349 T tidak dapat dilanjutkan sesuai keputusan pengadilan negeri. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kelemahan sistem hukum Indonesia, di mana sebuah keputusan pengadilan bisa menghentikan penyelidikan terhadap dugaan pencucian uang sebesar Rp. 349 Trilyun.

Dari hal itu wajar kemudian untuk menyoroti peran KPK sebagai lembaga independen harus memastikan kelanjutan penyelidikan atas dugaan TPPU tersebut, khususnya apa yang disampaikan Mahfud MD, terlepas dari keputusan pengadilan tidak ditemukan tindak pidana kepabeanan. Terkait hal ini diperlukan proses hukum yang lebih transparan dan mendesak agar lembaga terkait yang tergabung dalam Satgas TPPU 349 T, yakni KPK, Polri, Kejaksaan, dll terus memproses kasus ini tanpa adanya intervensi politik, khususnya menjelang Pilpres 2024.

Catatan sejarah kita terkait kasus korupsi, jangan lagi terulang adanya pengaliran dana TPPU ke tim pemenangan capres pada periode sebelumnya, maka perlu menekankan tanggung jawab Presiden Jokowi dan lembaga terkait untuk memastikan bahwa TPPU 349 Trilyun tidak terlewatkan dan menguap begitu saja akibat adanya kepentingan politik.