Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Ketua Aksi dan Advokasi PIJAR Semarang tahun 1990an
Publik bertanya-tanya mengapa parpol sekelas Golkar, GERINDRA, Demokrat, PAN, PBB, dll, mau menerima dan mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres dari Koalisi Indonesia Maju.
Padahal keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat umur menjadi Calon Presiden tidak relevan, hal ini telah banyak disampaikan oleh tokoh, pakar hukum, akademisi, dll. Apalagi ketua Hakim MK merupakan adik ipar Jokowi, yang merupakan paman dari Gibran.
Ironisnya lagi Presiden RI, Ir. Joko Widodo tidak melarang putra sulungnya maju sebagai Cawapres. Atas sikap ini muncul berbagai opini, bahwa Jokowi dianggap menggunakan politik dinasti sebagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Apa sebenarnya yang membuat parpol-parpol tersebut mau menerima Gibran sebagai cawapres, padahal sebetulnya parpol tersebut juga memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengajukan cawapres.
Mencari Dukungan dan Penyanderaan Papol.
Untuk mempertahankan kekuasaan, rezim sering menggunakan strategi memberi proyek pembangunan kepada partai politik baik di koalisi maupun oposisi sebagai cara untuk menciptakan loyalitas parpol terhadap rezim penguasa.
Cara tersebut mengakibatkan rezim dan partai politik terlibat dalam negosiasi. Dari berbagai kasus yang terungkap, ada kesepakatan diam-diam antara pemerintah dan partai-partai politik. Kesepakatan tersebut mungkin melibatkan alokasi dana untuk proyek pembangunan besar yang dapat digunakan oleh partai politik untuk kepentingan mereka, seperti pembiayaan kampanye atau program sosial.
Proyek pembangunan yang dijanjikan dilaksanakan dengan harapan bahwa partai politik yang menerima dana akan mendukung rezim penguasa atau setidaknya tidak secara terbuka menentangnya.
Dengan menerima proyek pembangunan, partai politik diharapkan akan menjadi lebih loyal terhadap rezim penguasa karena mereka memiliki insentif finansial untuk melakukannya. Ini bisa membantu rezim untuk mempertahankan mayoritas parlemen atau meminimalkan perlawanan politik.
Elit parpol yang terjerat pada kasus korupsi, maka langkah politiknya akan tersandera oleh rezim penguasa, sehingga elit parpol tersebut tidak bisa melakukan pembangkangan terhadap rezim penguasa
Rezim penguasa dapat menggunakan ancaman penuntutan hukum terhadap elit partai yang terlibat dalam korupsi sebagai alat tekanan. Mereka dapat mengancam untuk memperpanjang penyelidikan atau mengenakan hukuman yang lebih berat jika elit tersebut tidak mematuhi keinginan rezim.
Teori The Prince, Machiavelli
Pada abad ke 16 filsuf asal Italia, Niccolo Machiavelli yang lahir pada tahun 1469 telah menulis karya sastra politik berjudul “The Prince”. Isi buku ini mengemukakan pandangan tentang bagaimana seorang penguasa harus mempertahankan dan memperluas kekuasaannya.
Pandangan Machiavelli dapat diartikan bahwa Jokowi sebagai penguasa harus mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
Dari sumber terpercaya bahwa Teori “The Prince” memiliki fokus utama pada pemeliharaan dan perluasan kekuasaan penguasa. Bahwa tujuan utama seorang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan dan kestabilan negara, dan penguasa harus siap untuk menggunakan berbagai metode apapun yang diperlukan untuk mencapainya.
Realpolitik, bahwa dalam politik, penguasa harus mempertimbangkan kepentingan negara di atas segalanya. Ini bisa berarti mengabaikan moralitas atau etika dalam pengambilan keputusan politik.
Dalam ini Machiavelli menyebut bahwa penguasa harus bersedia menggunakan kebohongan, manipulasi, dan bahkan kekerasan jika diperlukan untuk mencapai tujuannya. Ia bahkan menyatakan bahwa penguasa seharusnya lebih baik terlihat berwibawa daripada terlalu baik.
Teori The Prince menekankan pentingnya penguasa untuk memiliki kendali absolut atas kekuasaan dan sumber daya negara. Hal ini memastikan penguasa memiliki kontrol penuh atas militer, administrasi, dan ekonomi negara.
Salah satu contoh negara yang mengikuti sebagian pandangan Machiavelli adalah Uni Soviet, kekuasaan berada di bawah Joseph Stalin.
Saat itu Stalin menerapkan kebijakan tangan besi, menghilangkan lawan politik, mengadakan pengusiran, dan memperkuat kontrolnya atas negara dengan tujuan mempertahankan kekuasaannya.
Meskipun Stalin adalah seorang pemimpin otoriter dan brutal, ia berhasil mempertahankan kendali atas Uni Soviet selama beberapa dekade.
Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 30/10/2023, 13.36 Wib.