Oleh: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era 90an.
Pemilu presiden 2024 di Indonesia telah memasuki babak baru yang penuh ketegangan, dengan gugatan pilpres yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01, Anies-Muhaimin, dan pasangan calon nomor urut 03, Ganjar-Mahfud, terhadap kemenangan yang diumumkan oleh pasangan calon nomor urut 02, Prabowo-Gibran. Gugatan ini telah membawa suasana politik Indonesia ke titik puncaknya, dengan perdebatan sengit di masyarakat dan di lingkaran politik.
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi mengumumkan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dalam pilpres 2024, ketegangan semakin meningkat di Indonesia. Sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan utama, di mana berbagai argumen dan bukti diajukan untuk menentukan keabsahan hasil pemilihan.
Salah satu elemen yang memanaskan suasana sidang adalah amicus curiae yang disampaikan oleh Megawati Soekarno Putri, Ketua Partai PDI-P dan pengusung pasangan calon nomor urut 03, Ganjar-Mahfud. Dalam amicus curiae-nya, Megawati menyoroti dugaan kecurangan yang dilakukan oleh pasangan Prabowo-Gibran selama pelaksanaan pilpres. Namun, yang membuat perhatian khusus adalah fakta bahwa amicus curiae Megawati disampaikan melalui tulisan tangan menggunakan tinta berwarna merah.
Tinta merah yang digunakan oleh Megawati dalam amicus curiae-nya tidak hanya menjadi topik pembicaraan di ruang sidang, tetapi juga di ruang publik. Warna merah memiliki makna simbolis yang kuat, sering kali dikaitkan dengan darah, keberanian, dan perlawanan. Dengan menggunakan tinta merah, Megawati mungkin ingin menekankan urgensi dan keberanian dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam proses hukum.
Namun, penggunaan tinta merah juga dapat menimbulkan persepsi yang beragam di masyarakat. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai tindakan dramatis yang memperpanjang ketegangan politik, sementara yang lain mungkin menginterpretasikannya sebagai tindakan simbolis yang menegaskan komitmen terhadap perjuangan politik yang mereka yakini.
Saat ini, masyarakat Indonesia menanti dengan tegang keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan pilpres yang diajukan oleh pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, yang rencananya akan diumumkan Mahkamah Konstitusi ada hari senin pagi besok 22/4/2024. Sidang gugatan ini tidak hanya menentukan nasib pemimpin negara selama lima tahun ke depan, tetapi juga menentukan arah demokrasi Indonesia ke depannya. Semua pihak diharapkan untuk menjaga kedamaian dan menghormati proses hukum, tanpa meningkatkan ketegangan yang sudah melanda bangsa ini.
Tulisan Tangan Amicus Curiae Berwarna Merah
Dari berbagai sumber informasi yang penulis telusuri, tidak ditemukan ada catatan atau contoh bahwa amicus curiae harus ditulis tangan dengan tinta warna merah di berbagai negara. Praktek pengajuan amicus curiae biasanya mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pengadilan setempat atau lembaga hukum yang bersangkutan.
Umumnya, amicus curiae disusun dalam format resmi yang menggunakan teknologi modern seperti komputer, dan dicetak dalam warna hitam atau biru untuk memastikan kejelasan dan kesesuaian dengan persyaratan pengadilan. Penggunaan tinta warna merah dalam dokumen hukum tidak umum dan mungkin tidak dianjurkan karena dapat mengaburkan atau membuat sulit dibaca.
Dengan demikian, jika ada kebutuhan khusus atau persyaratan yang meminta penggunaan tinta warna merah dalam amicus curiae, hal tersebut kemungkinan akan diatur secara khusus oleh pengadilan atau lembaga hukum yang bersangkutan, dan bukan merupakan praktek umum di berbagai negara.
Sejatinya Amicus Curiae
Dalam kasus-kasus sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi diberbagai negara, peran amicus curiae tidak dilakukan secara langsung oleh Ketua Partai politik yang merupakan pengusung capres-cawapres yang bersengketa dalam persidangan. Sebagai contoh, dalam kasus “Bush vs Gore” (George W. Bush dan Albert Arnold Gore Jr /Al Gore) di Amerika Serikat pada tahun 2000, meskipun James A. Baker III, yang merupakan ketua kampanye George W. Bush, memainkan peran penting dalam mendukung kepentingan Bush di Mahkamah Agung AS, dia tidak secara resmi bertindak sebagai amicus curiae.
Hal yang sama terjadi dalam konteks kasus pemilihan presiden di Kenya pada tahun 2017. Meskipun terdapat sengketa antara kandidat presiden petahana Uhuru Kenyatta dan oposisi yang dipimpin oleh Raila Odinga, amicus curiae yang terlibat dalam kasus tersebut tidak secara langsung diinisiasi oleh ketua partai politik pengusung kandidat-kandidat tersebut.
Perlu kita pahami bersama, amicus curiae pada umumnya adalah pihak ketiga yang memberikan pendapat atau informasi kepada pengadilan dalam kasus yang sedang dipertimbangkan. Mereka dapat berasal dari berbagai latar belakang, termasuk organisasi advokasi, kelompok kepentingan, atau individu ahli dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, dalam konteks sidang gugatan pilpres, peran amicus curiae biasanya tidak secara langsung dijalankan oleh ketua partai politik pengusung capres-cawapres yang bersengketa.
Pentingnya Amicus Curiae
Di Amerika Serikat, dalam kasus “Bush vs Gore” pada tahun 2000, meskipun tidak ada peran langsung dari amicus curiae dalam menentukan hasil akhir, namun membantu menghadirkan berbagai sudut pandang hukum yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung. Begitu pula di Kenya pada tahun 2017, di mana amicus curiae berkontribusi dalam menyampaikan pandangan hukum dan bukti tambahan kepada Mahkamah Agung Kenya, yang pada akhirnya memutuskan untuk mengulang pemilihan presiden.
Dalam konteks Indonesia, keberadaan amicus curiae dalam sidang sengketa pilpres tahun 2024 yang saat ini seluruh masyarakat Indonesia sedang menanti hasil keputusan MK pada 22 April 2024 besok, yang diharapkan dapat memberikan tambahan nilai dalam memastikan proses hukum yang adil dan transparan. Para ahli hukum, aktivis hak asasi manusia, dan kelompok masyarakat sipil dapat berperan sebagai amicus curiae dengan menyediakan analisis hukum, bukti-bukti, dan argumen yang relevan untuk membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang bijaksana.
Akan tetapi seluruh komponen bangsa harus mengingat bahwa pengaruh amicus curiae tidak boleh dipandang sebagai faktor tunggal yang menentukan hasil akhir, namun keputusan MK harus didasarkan pada hukum, bukti-bukti yang disajikan, dan pertimbangan yang komprehensif dari berbagai pihak yang terlibat dalam perselisihan pilpres.
Di tengah situasi yang tegang dan polarisasi politik yang meningkat, langkah-langkah untuk memperkuat independensi lembaga peradilan, memastikan keadilan dalam proses hukum, dan mendorong partisipasi aktif amicus curiae dapat membantu menjaga stabilitas keamanan, politik dan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia.
Kalibata City, Minggu 21 April 2024 – 20:45 Wib.