Oleh: Agusto Sulistio.
Pemilu langsung di Indonesia telah menghadirkan wajah politik yang kompleks. Ide parpol idiologis yang diklaim pro-rakyat sering kali terasa hanya menjadi narasi saat jelang Pemilu, meninggalkan pertanyaan seputar konsistensinya. Undang-undang yang mengatur sistem pemilu di Indonesia perlu diperhatikan agar harapan rakyat terwujud sesuai dengan janji para partai. Yang pada kenyataannya masih menyisakan sikap oportunis, menjadikan rakyat sebagai alat politik dan legitimasi. Kemiskinan masih menjadi objek proposal mencari keuntungan sekelompok elit kekuasaan dan oposisi. Sebab oposisi pun dalam kenyataannya kadng tak selalu ikhlas, murni dan serius mengedepankan kepentingan rakyat.
- Parpol dan Janji 5 Tahun Sekali
Parpol yang mengusung ideologi pro-rakyat seringkali hanya terasa nyata saat mendekati Pemilu. Namun, undang-undang apa yang mendukung konsistensi partai dalam mewujudkan agenda pro-rakyat setelah kampanye dan pelaksanaan pemilu selesai?
- Realitas Koalisi dan Kebijakan Pemerintah
Perkembangan parlemen periode 2019-2024 mencatat pembentukan koalisi besar yang mendukung pemerintah. Namun, sejauh mana koalisi ini mampu menjalankan peran sebagai parpol idiologis yang memperjuangkan aspirasi rakyat? Analisis logis diperlukan untuk memahami dampak kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk yang kontroversial seperti kenaikan harga BBM. Mengingat wacana hak angket pasca pilpres 2024 curang membahana di ruang publik. Apakah serius dan konsisten akan dijalankan, atau hanya memberi angin surga dihadapan rakyat yang sedang berkeringat deras oleh panasnya suhu politik.
- Peta Kekuatan Partai di Parlemen
Dengan melihat peta kekuatan partai di DPR-RI, terlihat dominasi partai koalisi pemerintah. Pertanyaannya, bagaimana partai-partai ini memastikan peran mereka sebagai wakil rakyat yang independen, bukan sekadar kaki tangan kekuasaan? Apakah wacana hak angket serius diwujudkan, mengingat parpol koalisi di parlemen masih terikat dalam dukungan dalam janji politik dengan kekuasaan hingga akhir jabatan presiden Jokowi periode 2019 – 2024.
- Politik Pilpres 2024: Antara Kekerasan dan Prediksi
Situasi politik jelang Pilpres 2024 semakin kompleks. Bagaimana undang-undang dan regulasi yang ada dapat mengantisipasi dan menanggapi klaim kecurangan sebelum pemilihan dilaksanakan? Apakah capres-cawapres dan koalisi parpolnya memiliki landasan hukum untuk menyuarakan keraguan terhadap integritas pemilihan? Disisi lain jauh sebelum pilpres 2024 digelar pada 14 Februari 2024 masing-masing kubu kandidat capres-cawapres (khususnya 01 dan 03) telah menyebut akan terjadi kecurangan yang sistematis, masif dan terstruktur dalam pelaksanaan pemilu 2024, khususnya pilpres.
- Tantangan Wacana Hak Angket di Parlemen
Dalam konteks kondisi politik yang semakin sulit dan ketidakpuasan rakyat, apakah wacana hak angket di parlemen bisa menjadi solusi? Undang-undang mana yang dapat mendukung atau menghambat implementasi hak angket dalam menyikapi kebijakan dan tindakan pemerintah?
Realitas kekuatan politik di DPR-RI,
pendukung Anies-Cak Imin: Nasdem 59 kursi, PKB 58, PKS 50, Total 167. Prabowo-Gibran: Gerindra 78, Golkar 85, PAN 44, Demokrat 54, total 261 kursi. Ganjar-Mahfud: PDIP 128, PPP 19, Total 147 kursi. Dari fakta ini dapat terlihat bagaimana pasangan pendukung 01 dan 03 dapat meraih suara mayoritas di parlemen, sementara koalisi pendukung Prabowo Gibran secara nyata mendominasi. Maka jalan menuju Hak Angket sulit diharapkan tanpa adanya dukungan kuat dan besar dari parlemen jalanan.
Kesimpulan
Rakyat, yang semakin merasakan kesulitan hidup, kini memiliki pertanyaan besar: apakah wacana hak angket di parlemen dapat memberikan solusi konkret? Penulisbmencoba merinci hubungan antara janji-janji politik, undang-undang yang mengatur, dan realitas politik di Indonesia, dengan harapan agar rakyat tidak lagi menjadi penonton dalam tarian kekuasaan, melainkan dapat memandu elite politik menuju kebaikan bersama.
Pasar Kenari, Salemba, Jakarta Pusat, 21 Februari 2024 – 14:01 Wib.