Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Sejak 14 November lalu, Aceh telah kedatangan 1.222 pengungsi Rohingya yang tiba dalam tujuh gelombang dengan menggunakan perahu (UNHCR, 2023) dan kemungkinan masih ada dua perahu lagi yang akan menuju ke Indonesia (BBC-Arakan Project, 2023).
Lepas dari besarnya peran penyelundup yang memanfaatkan situasi kerentanan para pengungsi Rohingya, mereka sudah berada di Indonesia.
Indonesia mempunyai Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016, yang sejauh ini menjadi dasar pelaksanaan prosedur penanganan ketika para pengungsi masuk ke wilayah perairan Indonesia dan penanganannya dalam konteks situasi kedaruratan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kali ini mengupas tuntas permasalahan tersebut dalam wibinar diskusi publik yang dilaksanakan pada Senin, 11 Desember 2023, secara daring.
Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang fokus pada Isu Migrasi Paksa Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, berpuluh tahun etnis Rohingya mengalami penderitaan ekstrem, tidak mendapatkan kewarganegaraannya di Myanmar, dan kehilangan seluruh hak penghidupannya di negara itu.
Dengan demikian kata Nuke, mereka tidak hanya memiliki status pengungsi, mereka juga tergolong orang – orang yang stateless (orang tanpa kewarganegaraan).
“Mereka terpaksa mengungsi ke berbagai negara guna menghindari genosida di negaranya sendiri. Bangladesh sebagai negara yang berbatasan akhirnya menjadi tempat penampungan terbesarnya, yaitu di Cox Bazaar,” ujar Nuke.
Namun demikian, pada perkembangannya kata Nuke, situasi di penampungan pengungsi tersebut tidak lagi layak menjadi ruang hidup karena terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar seperti akses pada air bersih, makanan, dan perawatan kesehatan dasar akibat berkurangnya pendanaan.
“Kondisi tersebut kemudian diperparah oleh memburuknya aspek keamanan dengan adanya ancaman kekerasan kelompok tertentu untuk kemudian menebarkan teror kematian,” ujar Nuke.
Hal ini mendorong banyak pengungsi Rohingya untuk secara terpaksa lebih memilih melakukan perjalanan laut yang sangat berbahaya dalam upaya mencari tempat yang lebih aman. Kemudian, terjadi mobilitas secara besar-besaran, yang dimulai pada tahun 2015, yang ditandai sebagai peristiwa krisis Laut Andaman.
Dijelaskan Nuke, Penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini tengah mengalami tantangan yang kompleks. Pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh kali ini mendapat tanggapan pro dan kontra secara langsung maupun di media.
“Adanya resistensi tidak terlepas dari keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dalam menyediakan tempat penampungan bagi pengungsi yang jumlahnya terus bertambah serta
beragam isu yang tersebar mengenai konflik sosial yang terjadi antara masyarakat lokal Aceh dengan pengungsi Rohingya,” jelasnya.
Padahal, gelombang pengungsi diperkirakan akan terus terjadi. Sementara itu, opsi repatriasi kembali ke Myanmar masih jauh dari harapan karena adanya perang sipil dan ancaman genosida terhadap etnis Rohingya yang masih berlangsung di sana (United Nations, 2023).
Indonesia, sebagai negara berdaulat dan beradab yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menyadari tidak dapat menyelesaikan sendiri. Pemerintah Indonesia memandang perlu adanya pembagian beban (burden sharing) dan tanggung jawab bersama (collective responsibility) antara negara yang terlibat.
Di samping itu, Pemerintah tidak bisa mengabaikan posisi dan peran dari masyarakat dan pemerintah lokal yang terdampak.
“Ada kebutuhan mendesak untuk mencari solusi tepat yang komprehensif dalam penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia, untuk menghindari terjadinya tragedi kemanusiaan di wilayah yurisdiksi Indonesia,” lanjutnya.
Kegiatan ini menurut Nuke, bertujuan untuk mendapatkan gambaran atas perkembangan isu pengungsi Rohingya saat ini dan memahami posisi Indonesia dalam penanganan pengungsi Rohingya.
Kegiatan ini juga ingin mendapatkan gambaran penanganan pengungsi-pengungsi lainnya yang bersandarkan pada kebijakan kemanusiaan dan berkomitmen pada hak asasi manusia.
“Diskusi ini diharapkan dapat mendukung berbagai upaya solusi strategis dan operasional dalam penanganan pengungsi Rohingya di Indonesia,” tutup Nuke.
Sebagai informasi, peserta diskusi terdiri dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, akademisi, organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil, yang melakukan kegiatan dan pendampingan di Aceh kepada para Pengungsi Rohingya, serta kalangan publik yang memberikan perhatian pada masalah pengungsi dari luar negeri di Indonesia.
Narasumber yang hadir adalah Gading Gumilang Putra dari Jesuit Refugee Service (JRS) yang secara langsung terlibat dalam penanganan day by day di Aceh; Rafendi Djamin (Member of Governing Board, Human Rights Resource Center for ASEAN); Fitria, S.H., M.R., Ph.D (Dosen Hukum Internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang disertasinya tentang pengungsi Rohingya)
Serta Narsum lainnya yakni Peneliti Ahli Utama BRIN yang fokus pada Isu Migrasi Paksa yaitu Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA. dan dimoderatori oleh Riska F. Prabaningtyas, M. IntR.(Adv) yang merupakan Koordinator Tim Migrasi Paksa PRP-BRIN. (Amhar)