Agus Sudjatmoko, S.H., M.H., menilai penerapan pasal dalam dakwaan jaksa masih bermasalah

Sep 27, 2025

Pikira merdeka.com, Jakarta, 26 September 2025 – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi impor gula yang menjerat 8 terdakwa, termasuk Direktur Utama PT Berkah Manis Makmur (BMM), Hans Falita Utama, dan Tony Wijaya. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Denie Arsan Fatrika dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.
Dalam persidangan, dua saksi ahli dihadirkan, yakni Dr. Erdianto, ahli hukum pidana dari Universitas Negeri Riau, serta Khusnul Khotimah dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Keterangan keduanya menjadi sorotan utama dalam membedah aspek hukum dan perhitungan kerugian negara.
Pandangan Ahli Hukum Pidana
Dr. Erdianto menegaskan, tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama tidak harus berada dalam lokasi atau waktu yang sama. Menurutnya, hal yang lebih penting adalah adanya kesamaan kehendak dan tujuan untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
“Korupsi bersama-sama tidak mensyaratkan dilakukan dalam satu tempat atau satu waktu. Selama ada kehendak dan tujuan yang sama, itu sudah cukup memenuhi unsur,” ujar Erdianto di hadapan majelis hakim.
Kritik Kuasa Hukum Terdakwa
Di sisi lain, kuasa hukum terdakwa Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko, S.H., M.H., menilai penerapan pasal dalam dakwaan jaksa masih bermasalah. Agus menyoroti penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang ditempatkan dalam bentuk primair-subsidair.
Menurut Agus, jika dakwaan primair Pasal 2 tidak terbukti, maka otomatis pasal subsider Pasal 3 juga tidak relevan untuk dibuktikan. Ia menekankan bahwa kedua pasal tersebut seharusnya ditempatkan dalam posisi alternatif, bukan subsidair.
“Kalau pasal primair tidak terbukti, maka pasal subsider menjadi gugur. Itu yang salah dalam penyusunan dakwaan. Harusnya jaksa memilih bentuk alternatif, bukan memaksakan subsider,” jelas Agus.
Selain itu, Agus juga mengkritisi dakwaan jaksa yang menyebut adanya rangkaian perbuatan tindak pidana, namun tidak mengaitkannya dengan Pasal 65 KUHP tentang pembarengan perbuatan. Hal ini menurutnya menimbulkan ketidakjelasan hukum.
Perhitungan Kerugian Negara
Sementara itu, saksi ahli dari BPKP, Khusnul Khotimah, memaparkan hasil audit yang menyebutkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp578 miliar. Kerugian tersebut, menurut Khusnul, antara lain berasal dari mekanisme impor yang tidak sesuai ketentuan serta dugaan manipulasi harga yang menimbulkan selisih signifikan.
Namun, kuasa hukum terdakwa menilai perhitungan tersebut tidak jelas dasar kausalitasnya. Agus mencontohkan, jika perizinan impor diterbitkan oleh pejabat berwenang, maka pihak pemohon tidak bisa dianggap menyimpang.
“Kalau kami mengajukan izin sesuai prosedur, lalu dikeluarkan pejabat terkait, bagaimana itu bisa disebut menyimpang? Sama seperti warga negara yang membuat SIM dengan persyaratan yang ada—kalau diterbitkan, ya sah. Kalau ada kesalahan, itu ada pada pejabat yang mengeluarkan, bukan pemohon,” tambah Agus.
Pasal yang Didakwakan
Dalam kasus ini, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa menyebut, perbuatan para terdakwa menimbulkan kerugian besar bagi negara melalui praktik impor gula yang tidak sesuai aturan.
Sidang dijadwalkan akan berlanjut pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi fakta.