Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi salah satu tokoh pemerintahan yang paling vokal mendorong pemanfaatan Artificial Intelligence (AI). Ia melihat AI sebagai teknologi masa depan yang bisa diterapkan di berbagai sektor, termasuk pendidikan.
Sejak dilantik, Gibran telah menyuarakan rencana besar: mulai tahun ajaran 2025, pelajaran tentang AI akan diperkenalkan di semua jenjang pendidikan, dari SD hingga SMA. Rencana ini ia ungkapkan usai bertemu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pada Mei 2025.
Namun, belakangan muncul pernyataan berbeda dari Menteri Abdul Mu’ti yang menuai perhatian publik. Saat menerima Anugerah Konservasi 2025 dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), ia menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak negatif teknologi digital, termasuk AI.
Dalam pidatonya yang viral, Abdul Mu’ti menilai AI justru berisiko “mematikan akal sehat” dan membuat manusia tidak semakin cerdas, tetapi semakin culas. Ia merujuk pada buku World Without Mind karya Franklin Foer yang mengulas bagaimana teknologi bisa menjauhkan manusia dari kebijaksanaan.
Ia juga menyampaikan gejala sosial yang kini menguat, seperti “virus viralitas” dan “epidemi narsisme” istilah yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk terus mengejar popularitas di media sosial tanpa refleksi mendalam. Pernyataan ini menimbulkan tafsir bahwa sang menteri meragukan urgensi AI dalam pendidikan.
Kontroversi pun mencuat di media sosial. Beberapa warganet mempertanyakan ketidaksepahaman antara Wapres dan Menteri yang seharusnya berada dalam satu garis kebijakan.
“Pak Wapres semangat dorong AI, Pak Menteri bilang AI bikin manusia culas. Ini gimana?” tulis salah satu netizen
Meski begitu, pemerintah tetap melanjutkan rencana pengajaran AI di sekolah. Hanya saja, mata pelajaran ini akan bersifat pilihan, bukan kurikulum wajib.
Abdul Mu’ti bukan satu-satunya pejabat yang mengkritisi AI. Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, juga menyatakan bahwa AI berpotensi membuat masyarakat malas berpikir.
Polemik ini menggambarkan dinamika internal dalam pemerintahan Prabowo–Gibran: antara dorongan untuk melompat ke era digital dan kehati-hatian terhadap dampak sosial yang ditimbulkan.
Apakah pemerintah akan mampu menyelaraskan visi ini ke depan? Ataukah perbedaan pandangan ini justru akan membuka ruang dialog kritis tentang arah pemanfaatan teknologi di Indonesia?
Sumber: Suara.com
(Hen/PM)