Berikut Penjelasan Menkeu Soal APBN 2025 Defisit dan Izin Penggunaan Sisa Anggaran

Jul 2, 2025

Foto: Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta persetujuan DPR RI untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun guna menekan pembiayaan utang dalam menghadapi pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.**

Permintaan ini disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Jakarta Pusat, Selasa (1/7). Menurutnya, defisit APBN tahun 2025 yang awalnya dipatok 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp616,2 triliun, kini diperkirakan akan melebar menjadi 2,78 persen atau Rp662 triliun.

Kematian Juliana Marins di Rinjani, Brasil Ancam RI ke Jalur Hukum Internasional

Diawasi Presiden, Berikut Vonis Harvey Moeis di Kasus PT. Timah

Prabowo Resmikan Proyek Raksasa Baterai Listrik Rp97 Triliun

“Agak lebih lebar dibandingkan target awal, tapi masih cukup bisa dikelola,” kata Sri Mulyani.

Penggunaan SAL disebutnya sebagai upaya agar tambahan kebutuhan anggaran tidak sepenuhnya ditutup dengan penerbitan surat utang. Total SAL pada tahun 2024 tercatat sebesar Rp459,5 triliun, dan setelah digunakan untuk pembiayaan dan perhitungan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa), saldo kas negara akhir tahun menjadi Rp457,5 triliun.

Hingga semester pertama 2025, realisasi defisit APBN telah mencapai Rp204,2 triliun atau 0,84 persen dari PDB. Defisit ini terjadi karena belanja negara telah mencapai Rp1.406 triliun (38,8 persen dari target), sementara pendapatan hanya Rp1.201,8 triliun (40 persen).

Dalam hal pembiayaan, pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp642,2 triliun dan pinjaman senilai Rp133,3 triliun, sehingga total penerbitan utang mencapai Rp775,9 triliun. Per semester I, realisasi penerbitan utang baru mencapai Rp315,4 triliun atau 40,7 persen dari target tahunan.

Namun, pelebaran defisit ini mengundang kritik dari sejumlah anggota DPR, termasuk Dolfie OFP dari Badan Anggaran. Ia mempertanyakan konsistensi pemerintah yang sebelumnya mengusung tema efisiensi anggaran, sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, dengan target penghematan Rp306,69 triliun.

Menurut Dolfie, realisasi outlook belanja negara bahkan turun hanya sebesar Rp93,8 triliun dari target awal, sehingga sisa penghematan sebesar Rp212,89 triliun belum dijelaskan penggunaannya.

“Kenapa penghematan tidak jadi? Malah nambah utang dan minta izin gunakan SAL. Narasinya belum jelas,” kata Dolfie dalam rapat.

Dolfie juga mempertanyakan dasar hukum pembukaan blokir anggaran sebesar Rp134,9 triliun yang dilakukan Menkeu per 24 Juni 2025, di tengah narasi penghematan yang digaungkan pemerintah.

Menanggapi hal ini, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pendapatan negara mengalami gangguan, terutama akibat batalnya penerapan PPN 12 persen yang menghilangkan potensi pemasukan Rp71 triliun, serta berkurangnya dividen BUMN sebesar Rp80 triliun karena dialihkan ke lembaga investasi Danantara.

Ia juga mengungkap bahwa tanpa langkah efisiensi, defisit bisa lebih tinggi dari 2,78 persen, apalagi Presiden Prabowo Subianto mengusulkan tambahan kebutuhan anggaran sekitar Rp300 triliun untuk program-program prioritas seperti makan bergizi gratis (MBG) dan inisiatif lainnya.

“Supaya tidak menjebol defisit, maka dilakukan efisiensi, lalu direkonstruksikan sesuai kebutuhan program prioritas,” jelas Sri Mulyani.

Ia menegaskan bahwa pembukaan blokir anggaran dilakukan secara sah melalui rapat terbatas (ratas) yang memiliki kekuatan hukum, termasuk keputusan langsung dari Presiden.

Dengan dinamika tersebut, pemerintah kini berada dalam posisi menyeimbangkan kebutuhan fiskal strategis sambil menjaga agar defisit tidak melampaui batas yang masih dianggap terkendali oleh otoritas keuangan.

Sumber: Rapat Kerja Menkeu bersama Badan Anggaran DPR RI

Editor: Agusto Sulistio