Oleh: Teuku Gandawan Xasir*
Perdebatan tentang mazhab ekonomi sering kali hanya menjadi wacana elitis yang menjauh dari realitas rakyat. Padahal, bagi Indonesia hari ini, yang terpenting bukan soal teori Keynesian, monetaris, atau liberalisme pasar, melainkan sejauh mana kebijakan ekonomi mampu menggerakkan roda aktivitas masyarakat dan menumbuhkan produktivitas nasional. Dalam konteks ini, langkah Menteri Keuangan Purbaya yang berani menggelontorkan dana besar demi menggerakkan ekonomi patut diapresiasi, meski nominal Rp200 triliun yang disiapkannya bisa diperdebatkan. Namun substansinya jelas: APBN dan Inisiatif Pemerintah adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pernah berada di jalur produktif walau fluktuatif pada periode 1968-1998, alokasi APBN difokuskan pada kegiatan yang menumbuhkan basis produksi dan aktivitas rakyat. Infrastruktur yang dibangun kala itu bukan jalan tol mahal yang steril dari kegiatan ekonomi, melainkan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang menjadi jalur hidup masyarakat. Di sepanjang jalan itu tumbuh pasar, bengkel, warung, dan berbagai kegiatan ekonomi rakyat. Macet bukan karena padat kendaraan pribadi, tapi karena hidupnya aktivitas ekonomi. Pembangunan memang masih sentralistik dan Jawa-sentris, namun fokusnya produktivitas nasional. Tak heran pertumbuhan ekonomi kala itu sempat mencapai dua digit.
Namun, era 2000-2014 membawa perubahan besar melalui desentralisasi fiskal. Banyak daerah tiba-tiba memiliki dana besar tanpa kesiapan teknokratik untuk mengelolanya. Mereka gugup merancang pembangunan yang berdampak dan akhirnya menjadikan APBD sebagai alat belanja rutin, bukan alat produksi. Akibatnya, geliat ekonomi daerah tak berkembang. Hari ini kita melihat dengan nyata ketika transfer dari pusat macet, daerah langsung panik dengan menaikkan pajak dan retribusi secara membabi buta – menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap potensi ekonomi lokal. Akibatnya, peran APBN sebagai motor pertumbuhan nasional melemah. Pusat masih menjalankan proyek nasional, tetapi efeknya semakin terbatas. Pemerintah daerah kehilangan arah pembangunan yang produktif.
Situasi makin rumit pada periode 2015-2024. APBN terus membesar, tetapi efektivitasnya menurun. Fokus pembangunan infrastruktur bergeser ke proyek-proyek besar seperti jalan tol yang secara ekonomi justru kurang inklusif. Jalan tol memiliki pintu terbatas; ekonomi hanya bergerak di titik-titik tertentu seperti rest area. Bahkan, sebagian besar armada logistik lebih memilih jalur non-tol karena biaya tol tak sebanding dengan efisiensi waktu. Di sisi lain, ketergantungan terhadap impor pangan dan energi justru meningkat, sementara perbankan lebih memilih bermain aman di instrumen surat berharga ketimbang menyalurkan kredit produktif.
Inilah konteks yang menjelaskan mengapa Purbaya mengambil langkah “di luar nalar”. Ia diminta menumbuhkan ekonomi di tengah sistem fiskal yang stagnan dan lembaga keuangan yang enggan menanggung risiko. Kebijakan untuk memaksa bank-bank BUMN (Himbara) menyalurkan dana pemerintah yang mengendap di kas negara adalah usaha membangunkan mesin ekonomi yang tertidur. Tentu, kebijakan ini berisiko. Tidak semua bank menghadapi masalah likuiditas, dan tidak semua sektor siap menyerap kredit. Namun langkah ini menunjukkan satu hal penting: ada keberanian untuk bertindak di tengah kebuntuan. Dalam kondisi stagnasi, keberanian seperti inilah yang diperlukan.
Langkah percepatan ekonomi seharusnya dilengkapi dengan program padat karya dan bantuan sosial produktif yang mampu langsung menyentuh masyarakat bawah. Dua hal ini terbukti efektif memicu perputaran uang dan meningkatkan daya beli. Namun, pelaksanaannya membutuhkan kreativitas dan profesionalitas pemerintah daerah – yang sayangnya masih lemah. Banyak daerah tidak siap mengeksekusi program produktif karena terbiasa mengandalkan transfer pusat.
Presiden Prabowo telah menegaskan arah kebijakan: meningkatkan pertumbuhan dan mengefisienkan alokasi anggaran. Artinya, program yang tidak berjalan baik atau tidak produktif harus segera dialihkan ke sektor yang lebih berdampak. Di sinilah relevansi kebijakan Purbaya – bukan soal mazhab ekonomi apa yang ia anut, tetapi bagaimana ia berupaya mendisiplinkan fiskal dan menggerakkan ekonomi nyata. Dalam ekonomi modern, setiap alokasi fiskal memiliki ongkos. Bila tidak efektif, ongkos itu menjadi beban sia-sia bagi negara. Mungkin langkah Purbaya belum sempurna dan hasilnya belum terlihat, namun paling tidak ia mencoba menyalakan kembali mesin yang selama ini mati suri. Karena itu, mari kita hentikan perdebatan soal mazhab ekonomi dan mulai mendukung setiap upaya yang sungguh-sungguh menghidupkan produktivitas nasional. Indonesia tidak membutuhkan teori baru, yang kita butuhkan adalah keberanian, efektivitas, dan kerja nyata.
Depok, 13 Oktober 2025
*Teuku Gandawan Xasir – Konsultan dan pakar di Institut Strategi Indonesia, praktisi teknologi dan komunikasi korporasi, alumnus ITB yang fokus pada isu kemandirian energi, pertahanan nasional, dan tata kelola industri berdaulat.
(Agt/PM)