Industri Nikel Morowali Mengancam Kegagalan IBSAP, FOLU Net-Sink & Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework

Pikiranmerdeka.com, Jakarta – Laporan terbaru dari AEER mengungkapkan ancaman serius pengembangan kawasan industri PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi di Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Proyek yang sering dikenal dengan kawasan industri IHIP (Indonesia Huabao Industrial Park) ini masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Luas rencana pengembangannya sekitar 7.376 hektar energi utama dari PLTU batubara captive berkapasitas 3×250 MW.

Dari hasil riset AEER, kawasan yang dikembangkan oleh PT BTIIG menyimpan 58 jenis tumbuhan dan 64 jenis satwa liar.

Banyak di antaranya endemik dan terancam punah. Lebih dari separuh, tepatnya 3.945 hektar, dari keseluruhan areal proyek BTIIG adalah kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (High Conservation Value).

Kawasan tersebut menyimpan hutan ultrabasa dan karst yang unik, habitat vital untuk spesies dilindungi, serta daerah penyangga tata air dan pencegah erosi. Tak kalah penting, beberapa kawasan ini juga merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Wana. Kawasan gua aktif seperti Gua Kumapa pun bernilai penting sebagai ruang spiritual dan sosial mereka.

“Sebagian besar wilayah yang masuk ke dalam rencana BTIIG adalah Hutan Sigendo. Hutan ini menjadi rumah bagi anoa dan babirusa. Ironisnya, sebagian kawasan direncanakan untuk lokasi penumpukan tailing” kata Riski Saputra, Peneliti AEER, dalam diskusi di Hotel Asley Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta (29/8/2025).

Dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 seharusnya menjadi tonggak penting dalam perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Apalagi IBSAP 2025–2045 selaras dengan RPJPN 2025-2045, RPJMN 2025–2029, dan komitmen global melalui Kunming–Montreal Global Biodiversity Framework. Peluncuran tiga dokumen strategis megenai keanekaragaman hayati Indonesia pada 19 Agustus lalu oleh Bappenas seharusnya juga menandakan bahwa penguatan implementasi IBSAP sudah harus dimulai.

Dalam paparannya, Anggi Pertiwi Putri, S.T., M.Env., Perencana Muda di Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, menyebutkan bahwa visi besar IBSAP sampai 2045 yaitu mengurangi ancaman keanekaragaman hayati, pemanfaatannya dengan rambu-rambu berkelanjutan dan penguatan tata kelola.

“Dalam konteks mencegah fragmentasi berlebih yang mengancam keanekaragaman hayati, IBSAP diharapkan dapat memperkuat integrasi dan ketahanan kelestarian ekosistem, menjaga perencanaan tata ruang yang lebih efektif serta memperhatikan keanekaragaman hayati tingkat ekosistem, spesies dan genetik,” kata Anggi Pertiwi Putri.

AEER menegaskan, keanekaragaman hayati perlu diintegrasikan dalam semua aspek pembangunan dan berharap dokumen IBSAP menjadi inisiatif yang penting dari pemerintah untuk mulai memperhatikan aspek ini. Pengelolaan keanekaragaman hayati berbasis lanskap tidak hanya relevan untuk konservasi, namun juga dapat berkontribusi pada pencapaian target FOLU Net Sink 2030 karena pembukaan lahan akan ditekan.

Keenam kategori High Conservation Value atau HCV menjadi acuan penting bagi perlindungan lingkungan di sektor industri ekstraktif. prinsip kehati-hatian (precautionary principle), hasil identifikasi HCV harus dianggap valid dan mengikat sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya. Maka dari itu, AEER merekomendasikan PT BTIIG untuk tidak melakukan perluasan ke wilayah yang dikategorikan sebagai area konservasi tinggi seluas 3.945 hektar. AEER juga mendesak PT BTIIG untuk menghormati dan, melibatkan masyarakat lokal di semua tahapan pembangunannya, serta mempublikasikan dokumen AMDAL.

Selain itu, AEER mengingatkan Pemerintah perlu melakukan pemetaan secara menyeluruh terhadap HCV di Kabupaten Morowali yang menjadi pusatindustri nikel. Perlindungan kawasan tersebut harus dipastikan tanpa menghilangkan akses masyarakat. Pada saat yang sama, AEER mendorong masyarakat lokal untuk memperkuat kontrol sosial melalui partisipasi publik yang aktif.

Kontributor : Amhar