Peneliti Celios, Muhammad Saleh, mengkritisi kebijakan penyaluran kredit dari bank Himbara untuk pembiayaan Koperasi Merah Putih (KMP) di desa. Menurutnya, skema ini rawan menimbulkan distorsi dan bisa mengancam stabilitas sistem keuangan nasional.
Ia menjelaskan, cicilan kredit KMP akan dibayar melalui pemotongan langsung Dana Desa oleh pemerintah pusat lewat Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Artinya, desa tidak menggunakan keuntungan koperasi untuk membayar utang, tetapi justru mengorbankan alokasi Dana Desa yang semestinya digunakan untuk program penting seperti ketahanan pangan.
Saleh juga memaparkan temuan Celios dalam laporan “Ko Peras Desa Merah Putih” (Juni 2025) bahwa setiap desa berpotensi mengalami kebocoran anggaran hingga Rp60 juta per tahun. Bahkan, sekitar 12,8% Dana Desa selama 10 tahun terakhir berisiko bocor karena skema seperti ini.
Akibat pemotongan untuk cicilan, kemampuan fiskal desa akan menurun. Hal ini berpotensi memaksa desa mengorbankan program prioritas seperti bantuan langsung tunai (BLT), operasional pemerintah desa, pembangunan infrastruktur dasar, hingga penguatan kelembagaan masyarakat.
Lebih lanjut, Saleh menilai bahwa desa tidak memiliki kendali terhadap pengambilan keputusan dan pengelolaan KMP, sehingga membuat posisi desa menjadi subordinat terhadap skema utang nasional.
Senada, peneliti Celios lainnya, Galau D Muhammad, menambahkan bahwa aspek legal skema pembiayaan KMP juga bermasalah. Menurutnya, Dana Desa adalah hak otonom desa yang seharusnya dikelola sesuai kebijakan ekonomi lokal, bukan diatur pusat.
Ia juga memperingatkan potensi risiko finansial besar bagi bank Himbara. Bila terjadi keterlambatan transfer dana, risiko yang harus ditanggung Himbara bisa mencapai Rp2,8 hingga Rp4,6 triliun per bulan. Hal ini dikhawatirkan akan mengalihkan fokus bank dari kegiatan bisnis ke beban politis yang tinggi.
Sumber: Bisnis keuangan
Editor: Agusto Sulistio